Pada 22 Maret 1946 Markas Komando Divisi V TRI diperintahkan untuk dipindahkan dari Banda Aceh ke Bireuen. Pemindahan dilakukan karena tentara Sekutu/NICA sudah menduduki Sabang.
Komandan Divisi V TRI Kolonel Husein Jusuf menjelaskan bahwa pemindahan itu dilakukan karena Kota Banda Aceh terancam dari serangan Sekutu/NICA yang bermarkas di Pulau Weh, Sabang, sementara Bireuen dinilai sebagai daerah strategis untuk menyusun strategi dan perang gerilya, jika Sekutu/NICA berhasil mendarat ke Aceh.
Selain itu Residen Aceh kemudian juga melarang barang-barang logistik dari daratan Aceh dibawa ke Sabang, sehingga tentara Sekutu/NICA kekurangan pangan. Embargo logistik sukses dilakukan oleh Residen Aceh, hingga kemudian sejarah membuktikan Sekutu/NICA tidak pernah bisa masuk ke daratan Aceh hingga Indonesia benar-benar merdeka.
Pada hari yang sama Residen Aceh melarang rakyat Aceh melakukan hubungan dengan Pulau Weh, Sabang yang telah diduduki Sekutu/NICA sejak 25 Agustus 1945. Maklumat larangan ke Sabang itu ditandatangani oleh Residen Aceh, TT Muhammad Daodsyah.
Dalam maklumat tersebut ditegaskan, semua perahu dan tongkang serta alat pengangkutan laut yang melewati Selat Malaka, yang dicurigai, diperiksa secara teliti baik muatan maupun penumpangnya oleh angkatan laut dan penjaga pantai.
Kepada para pawang (nahkoda) dan para penumpang kapal yang akan berangkat keluar dan yang akan masuk ke Aceh, atau kapal-kapal yang akan mendekati pantai dan kuala dalam daerah Aceh, harus memberitahu kedatangan dan kepergiannya kepada pengawal pantai dan angkatan laut Aceh di daerah terdekat. Pawang dan kapal yang melanggar maklumat tersebut diancam dengan hukuman berat, perahu/kapal dan segala muatannya dirampas.
Untuk menjalankan maklumat tersebut Residen Aceh juga mewajibkan kepada para Asisten Residen, para Kontroler, Kepala Negeri, polisi, pengawal pelabuhan dan angkatan laut, untuk memastikan peraturan dalam maklumat itu dijalankan sepenuhya. Kepada mereka juga diwajibkan, bila terdapat pelanggaran untuk mengambil tindakan tegas, para pelanggar juga diminta untuk dihadapkan ke pengadilan untuk diadili.
Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak mampu dimasuki oleh Sekutu/NICA, hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu alasan Presiden Soekarno menjuluki Aceh sebagai daerah modal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih jelas tentang itu bisa dibaca dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan yang ditulis oleh Teuku Alibasjah Talsya, salah seorang pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh.[]