LHOKSUKON – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Utara melalui UPTD Museum Islam Samudra Pasai bekerja sama dengan Centre for Information of Samudra Pasai Heritage (Cisah) menggelar seminar Hasil Kajian Sebaran Batu Nisan Samudra Pasai, di Hotel Lido Graha Lhokseumawe, Sabtu, 14 Agustus 2021. Kegiatan tersebut diikuti para guru sejarah, mahasiswa Antropologi, sejarawan, pimpinan dayah, dan kepala sekolah, dengan menerapkan protokol kesehatan.
Adapun narasumber atau pemateri seminar tersebut, yaitu Peneliti Sejarah Islam (Epigraf), Tgk. Taqiyuddin Muhammad, dan Peneliti Cisah, Mizuar Mahdi. Seminar itu dipandu Kepala Museum Islam Samudra Pasai, Nurliana NA.
Nurliana NA menjelaskan seminar ini dilatar belakangi oleh pentingnya mengetahui dan menganalisa informasi apa yang disampaikan dari masa lalu melalui tinggalan arkeologis yang sudah beratus tahun dan masih bisa disaksikan hingga saat ini. “Kemudian bagaimana informasi yang sangat penting itu untuk kita hadirkan sebagai nilai yang memberi kekuatan pada identitas dan jati diri masyarakat Aceh terutama masyarakat Aceh Utara,” ujarnya.
“Batu nisan berinskripsi yang luar biasa menjelaskan tentang tokoh-tokoh masa Kerajaan Samudra Pasai, beserta sebarannya menjadi bukti sejarah kegemilangan Islam di Nusantara bahkan Asia Tenggara,” tambah Nurliana.
Wakil Ketua Cisah, Sukarna Putra, mengatakan seminar Hasil Kajian Sebaran Batu Nisan Samudra Pasai juga bertujuan melahirkan sebuah rekomendasi tentang batu nisan tinggalan kerajaan Islam tersebut yang bisa dijadikan sumber terpenting dalam penelusuran dan penulisan sejarah.
“Makanya yang diundang menjadi peserta seminar ini adalah para guru sejarah, mahasiswa Antropologi, sejarawan, pimpinan dayah, dan aktivis, yang semua itu merupakan agen perubahan dalam penyampaian metodelogi secara ilmiah,” ujar Sukarna Putra.
Tgk. Taqiyuddin memaparkan batu nisan Aceh dengan berbagai aspek yang meliputinya, ternyata, merupakan sumber material sejarah Aceh yang kaya, dan dalam waktu yang sama, lebih mampu menjelaskan watak (karakteristik) kenyataan di masa lampau Aceh.
Menurut Tgk. Taqiyuddin, batu nisan Aceh muncul dalam ledakan terhebatnya dalam kurun waktu abad ke-9 Hijriah (ke-15 M) sampai ke-10 Hijrah (ke-16 M). Meski muncul dalam kepadatan yang signifikan sepanjang pantai utara sampai pantai barat Aceh, namun ledakan terbesarnya mengambil tempat di kawasan Aceh Utara, khususnya, dalam abad ke-9 Hijriah sampai permulaan abad ke-10 Hijriah, dan di kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh.
“Selain jumlah kemunculannya yang sangat fenomenal, batu-batu nisan itu menghasilkan data-data epigrafis yang begitu kaya, yang merupakan salah satu keistimewan paling menonjol dari batu-batu nisan dalam kurun waktu tersebut,” ungkap Tgk. Taqiyuddin.
Tgk. Taqiyuddin menjelaskan, sebagai benda warisan budaya, batu nisan Aceh memiliki banyak aspek yang dapat diperhatikan. Dari berbagai aspek tersebut dapat dihasilkan berbagai informasi atau petunjuk-petunjuk untuk suatu informasi terkait sejarah.
Tgk. Taqiyuddin mengatakan sejarah Islam Samudra Pasai sangat penting dipelajari bersama, karena cukup banyak ilmu pengetahuan yang bisa didapatkan dari perjalanan kesultanan pada masa lalu. Sultan Malik As-Shalih, pendiri Kerajaan Islam Samudra Pasai merupakan salah seorang tokoh terpenting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara.
Tgk. Taqiyuddin menilai rekonstruksi atau menelusuri kembali sejarah kesultanan di Aceh perlu dilakukan. Rekonstruksi dimaksud untuk meneliti dan menyusun kembali sebagaimana sejarah itu sendiri.
“Perlu kita ketahui bahwa situs sejarah masa kesultanan saat itu, sampai saat ini masih ada peninggalannya berdasarkan hasil kajian dari peneliti sejarah. Tujuannya adalah agar generasi penerus kita bisa mengetahui bagaimana kerajaan Aceh masa lalu. Kalau sejarah itu diabaikan maka sangat disayangkan,” ujar Tgk. Taqiyuddin.
Oleh karena itu, kata Tgk. Taqiyuddin, hasil penelitian tersebut harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah untuk melestarikan situs-situs sejarah secara maksimal.
“Selain nisan, peninggalan sejarah Samudra Pasai ada koin emas atau dirham. Pada masa kejayaannya, Kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan sekaligus penyebaran agama Islam. Ilmu pengetahuan inilah yang perlu kita sampaikan kepada generasi muda di Aceh supaya mereka tahu persis bagaimana sejarah tersebut. Karena dari kisah itu tidak hanya mengetahui sejarah, tetapi banyak ilmu yang bisa kita terapkan pada diri kita untuk perubahan ke depan,” tegas Tgk. Taqiyuddin.[](*)