BANDA ACEH – Kupiah meukutop, salah satu kerajian tradisional Aceh yang kini kembali ngetrend, sejak beberapa tahun lalu mulai merambah pasar nasional, bahkan internasional, sekelas bos maskapai internasional Air Asia, Tony Fernandes pernah memesan kupiah meukutop ini.
Adalah Verawaty, salah satu dari beberapa pengrajin kupiah meukeutop yang ikut membuat kerajian khas Aceh ini kembali menggeliat. Ia bersama ibu-ibu dari Gampong Kreatif Aceh di Lampeneurut, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar rutin memprodusi kupiah meukeutop.
Verawaty merupakan salah satu founder Gampong Kreatif Aceh sekaligus owner Vee Design. Dari tangan Verawaty inilah lahir kerajinan kupiah meukutop rajut yang pertama pada tahun 2017, dan kemudian diajarkan ke masyarakat sekitar yang kini menjadi karyawatinya.
“Kami bukan hanya memproduksi kupiah Aceh saja, tapi lewat Gampong Kreatif Aceh kami juga ada produk pemberdayaan ekonomi masyarakat fashion Aceh, tas Aceh, aneka kuliner Aceh, kue dan cemilan tradisional Aceh, handycraft Aceh dan lain-lain.” jelasnya.
Verawaty menambahkan, cara untuk membuat peci khas Aceh itu mudah, kain dipotong kecil-kecil lalu dijahit jadi satu, mulai dijahit dari vertikal maupun horizontal, sehingga berbentuk lingkaran, kemudian baru disulam atau dianyam. Dipinggiran bawah kupiah, terdapat motif anyaman dikombinasikan warna hitam, hijau, merah dan kuning. Anyaman serupa terdapat di bagian tengah, yang dibatasi lingkaran kain hijau di atasnya dan kain hitam di bawah.
Ditanyai soal pandemi apakah ada kendala di pasaran, Verawaty mengatakan tidak ada sedikitpun pengaruh pandemi bagi usahanya. “Ya karena kitakan melakukan pemasarannya lewat media sosial, tapi yang menjadi kendala adalah kalahnya pasar kami dengan produk luar yang menggunakan mesin,” tambahnya.
Usaha Verawaty di Gampong Kreatif Aceh masih menggunakan cara manual atau secara handmade. Satu kupiah saja bisa membutuhkan waktu hampir 16 hari, sedangkan produk luar yang menggunakan mesin dalam satu hari bisa memproduksi 10 buah kupiah. “Inilah yang membuat kami kalah di pasaran,” akunya.
Verawaty kini mulai merasakan dampaknya, pesanan kupiah yang mereka terima tidak lagi sebanyak dulu. Terlebih harga untuk satu kupiah meukutop yang mereka tawarkan terkesan lebih mahal ketimbang kupiah meukutop yang viral akhir-akhir ini.
“Kami menjual kupiah mekeutop dengan harga kurang lebih Rp 300 ribu. Tetapi saya berani jamin, kupiah yang kami hasilkan ini bisa bertahan sampai puluhan tahun dan kupiah kami ini ada all size-nya karna kami membuat secara handmade dan dibuat oleh pengrajin asli. Sementara kupiah meukutop yang booming hari ini, dengan mudah bisa didapatkan di pasar dan dibanderol dengan harga cukup murah, yakni Rp 50 hingga Rp100 ribu,” ungkapnya.
Dalam proses pemasaran produk, Verawaty sangat terbantu oleh adanya promosi mulut lewat mulut yang dilakukan oleh para pelanggannya. 99 persen pelanggannya melakukan repeat order dan 98 persennya menjadi marketer untuk produk mereka.
“Di antaranya termasuk para pelaku usaha perhotelan di Banda Aceh. Kami beberapa kali mendapatkan pelanggan dari mereka. Sejauh ini belum ada bantuan pemerintah yang dikuncurkan kepada kami, makanya kami di sini berharap semoga pemerintah dapat memberikan perhatian yang lebih untuk semua usaha kerajinan yang ada di Aceh, disini kami hanya membutukan alat dan dikasih skill yang lebih untuk bisa bersaing pada produk luar,” harapnya. [Zulfikri]
Baca Juga: Harga Cabai Rawit Gayo Lues Makin ‘Pedas’, Ini Kata Petani