Bila di Romawi ada Diurnarius sebagai pegawai yang menyampaikan berita-berita resmi kerajaan, di Aceh ada Bakeutôk juru warta yang dilindungi undang-undang. Keduanya sama-sama menjalankan tugas yang dalam dunia modern sekarang dikenal sebagai jurnalis.
Dalam dunia kewartawanan di Indonesia dikenal dua istilah yang memberikan makna serupa, yakni jurnalistik dan pers. Pemahaman dan penempatan dua kata ini bisa saling menggantikan. Artinya, pers sama dengan jurnalistik dan jurnalistik adalah pers. Kedua istilah tersebut memiliki riwayat masing-masing dalam pemakaiannya di dunia kewartawanan.
Bagaimana sebenarnya awal mula pemakaian kedua kata ini pada tempat yang sama dengan pemahaman yang sama pula? Inilah yang akan coba dibahas dengan kadar yang ala kadarnya dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya di bawah ini.
Baca Juga:Residen Aceh Memecat Para Pegawai Terlibat Perang Cumbok.
Mengapa Jurnalistik?
Penggunaan istilah jurnalistik menurut catatan sejarah diambil dari media yang dikeluarkan oleh kaisar Romawi, yaitu acta diurna. Media kerajaan ini berupa sebuah papan pengumuman yang dipasang di pusat kota Romawi. Isinya berupa berita-berita resmi kerajaan dan titah raja. Setiap orang bisa membaca dan mengutipnya. Acta diurna ini lebih bersifat sebagai corongnya kerajaan. Dalam dunia modern sekarang dikenal sebagai Humas atau Public Relation (PR).
Di Romawi pada masa itu selain diurna juga dikenal diurnarius atau diurnari yaitu orang yang ditugaskan untuk mencari dan memublikasikannya. Chrestus dan Caelius Rufus merupakan dua orang yang sangat terkenal dalam tugas ini di Romawi. Kata diurnarius dan diurnari ini kemudian dalam perkembangannya menjadi jurnalistik atau jurnalis dalam dunia modern sekarang.
Kemudian ada juga istilah pers dan press. Pers berasal dari bahasa Belanda dan Press dari bahasa Inggris yang bermakna tekan. Sejarah penggunaan kata ini lebih pada proses cetak. Adalah Gutenberg yang pada tahun 1450 memperkanalkan sistim cetak huruf dengan kayu. Huruf-huruf dari kayu disusun berdasarkan kata yang hendak dicetak kemudian menggiling kertas pada rangkaian huruf tersebut. Cara Gutenberg inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya penerbitan berkala di negara-negara Eropa.
Baca Juga: Dewan Perjuangan Daerah Aceh Dibentuk.
Ada Juga Bakeutôk
Tak jauh beda dengan Romawi, pada zaman Kerajaan Aceh juga dikenal orang yang mengabari suatu peristiwa atau menyampaikan pesan raja. Orang ini disebut Bakeutôk yang bermakna orang yang membawa kabar. Orang yang membawa kabar ini merupakan orang-orang pilihan yang memiliki keahlian berbicara dan bercerita.
Bakeutôk merupakan orang-orang yang tangguh. Dalam bekerja membawa kabar, sebagai pegawai kerajaan mereka juga diikat dengan undang-undang atau Qanun Al Asy yang merupakan sarakata peraturan dalam negeri Aceh. Ikatan ini dilakukan agar pembawa kabar tersebut tidak dicelakai orang dalam perjalanannya membawa berita-berita kerajaan ke seluruh penjuru negeri Aceh.
Dalam pasal 9 Qanun Al Asy disebutkan, jika pegawai kerajaan itu mendapat celaka atau mati teraniaya pada suatu kampung, mukim, atau sagi, maka raja bertitah menyuruh orang kaya Sri Maharaja Lela atau wakilnya, dengan membawa alat senjata pergi memeriksa serta meminta orang jahat itu pada hulubalang setempat. Hulubalang wajib mencari pelaku kejahatan itu dan menangkapnya.
Kemudian dalam pasal selanjutnya (10) dijelaskan bahwa satu orang hamba raja mati, tujuh orang gantinya diambil dari ahli warisnya pelaku kejahatan tersebut untuk diserahkan kepada raja. Terhadap ketujuh orang itu raja bisa berbuat apa saja dengan kadar hukuman yang sewajarnya.
Makanya, Bekeutôk dalam menjalankan tugas sangat disegani, ia diterima dengan baik di negeri-negeri yang dilalui dalam setiap daerah taklukan Kerajaan Aceh. Ia merupakan “jembatan” penghubung informasi antara pusat Kerajaan Aceh di Bandar Aceh Darussalam (kini Banda Aceh) dengan negeri-negeri atau kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi bagian dari taklukan Kerajaan Aceh.[]
Baca Juga:Pembangunan Universitas Syiah Kuala Tak Direstui Pusat.