BANDA ACEH – Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal, angkat bicara terkait wacana revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Syakya memberikan beberapa masukan terkait revisi UUPA. Pertama, perlu ditinjau kembali pasal-pasal dalam UUPA yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Ada beberapa pasal, misalnya, terkait dengan calon independen yang dibatasi hanya bisa satu kali,” ujarnya ditemui portalsatu.com di Banda Aceh, Kamis, 23 Februari 2023.
Kedua, kata Syakya, soal berkurangnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh menjadi 1% dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional mulai tahun 2023 sampai 2027. Sebelumnya, sejak 2008 sampai 2022, Dana Otsus Aceh sebesar 2% dari pagu DAU nasional. “Bila tidak ada revisi UUPA, berpotensi sumber Otsus akan hilang,” katanya.
Syakya menyebut Dana Otsus Aceh menjadi satu konsensus dari sebagian masyarakat supaya pemerintah pusat bersedia memperpanjang Otsus, sebagaimana yang telah dilakukan pemerintah kepada Papua. “Papua mendapatkan perpanjangan Otsus selama 20 tahun ke depan dengan besaran 2,25%, naik 0,25% dari sebelumnya,” ucapnya.
Hal ketiga, kata Syakya, mungkin ada harapan anggota legislatif dari partai lokal dan mantan kombatan GAM agar butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang belum tertampung dalam UUPA dapat diakomodir. “Dapat dimasukkan dalam draf revisi UUPA. Apakah dengan penambahan pasal atau bisa disisip dalam pasal-pasal yang sudah ada,” ujarnya.
Menurut Syakya, dalam draf revisi UUPA, tiga poin itu penting ditampung sebagai bentuk evaluasi terhadap UU No. 11 tahun 2006.
Implementasi UUPA tersendat
Syakya menilai sejauh ini implementasi UUPA yang paling lancar hanya penyaluran Dana Otsus, setiap tahun ditransfer pemerintah pusat kepada Pemerintah Aceh. Sementara yang lain, misalnya pelimpahan kewenangan, masih banyak tersendat.
Salah satunya, kata Syakya, sektor pertanahan. Meskipun Pemerintah Aceh telah mendirikan Dinas Pertanahan, namun kewenangan dan tata kelola agraria dan pertanahan di Aceh sampai saat ini masih di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Begitu juga terkait kewenangan seperti pengelolaan sumber daya alam, perizinan dan pertambangan,” ujar Syakya.
Bahkan, kata Syakya, yang terbaru surat edaran dari Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI menyebutkan bahwa penanaman modal asing menjadi kewenangan pemerintah pusat.
“Artinya, itu bentuk-bentuk pelimpahan kewenangan yang sudah diberikan kepada Aceh oleh pemerintah pusat, namun tidak secara total diimplementasikan,” ungkapnya.
Bargaining Aceh tak lagi strategis
Tersendatnya implementasi UUPA, kata Syakya, mungkin suatu variabel yang kemudian membuat upaya lobi-lobi dilakukan Aceh mandek. Karena, Jakarta menganggap bahwa bargaining politik Aceh hari ini tidak lagi strategis dan kuat.
Kesannya, kata Syakya, pemerintah pusat tidak serius dalam persoalan Aceh. Sebab tak ada dampak politik yang signifikan, dan tidak memiliki dampak keamanan sebagaimana yang masih terjadi di Papua.
“Pusat menganggap Papua masih menjadi ancaman bagi keamanan negara, atau kekuatan gerakan pemberontak di sana masih kokoh dan kuat. Sehingga semua keinginan rakyat Papua itu terkesan diakomodir oleh pusat. Sementara Aceh, semakin ke sini, kepentingan masyarakat Aceh malah semakin tidak direspons secara positif oleh pemerintah pusat,” ujar Syakya.
Syakya menilai hal itu terjadi karena para elite Aceh sudah terpecah-pecah. Kesan yang muncul saat ini sulit sekali untuk bisa menyamakan persepsi dan perbedaan pandangan antarelite Aceh.
“Baik pimpinan partai politik, partai lokal dan partai nasional, maupun pimpinan DPR Aceh dengan anggota DPR Aceh, bahkan antara DPR Aceh dengan eksekutif, susah mengkonsolidasi. Teramat susah bagi Aceh saat ini untuk bisa satu sikap, satu suara dan satu upaya dalam melakukan lobi-lobi terkait UUPA misalnya. Ini yang susah,” ungkap Syakya.
Faktor lain, menurut Syakya, kurangnya dukungan publik terhadap implementasi UUPA menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat. Dia menilai saat ini dukungan rakyat terhadap perjuangan UUPA semakin melemah.
“Rakyat Aceh sudah merasa skeptis dengan isu-isu perjuangan implementasi terhadap poin-poin UUPA. Karena rakyat menganggap bahwa perjuangan itu hanya untuk kepentingan para elite. Tidak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh rakyat. Masalah itulah yang membuat kekuatan Aceh menjadi melemah, sebab antara rakyat dan para elitenya tidak lagi terkonsolidasi,” tegas Syakya.
Syakya melihat selama ini banyak agenda strategis yang diusung para elite Aceh tidak mendapatkan dukungan secara penuh dari rakyat. “Bahkan, terkesan rakyat membiarkan begitu saja, tidak mau terlibat. Sudah sedemikian skeptisnya rakyat, sehingga posisi bargaining Aceh itu semakin melemah,” ungkapnya.
Menurut Syakya, hal ini dipicu persoalan janji-janji politik para elite Aceh semasa kampanye yang tidak pernah diwujudkan. Rakyat juga menganggap komitmen-komitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat seperti diingkari. Berawal dari situ, kemudian muncul rasa skeptis rakyat.
“Padahal, dulu dapat dilihat dan dirasakan di awal-awal perdamaian, dukungan rakyat Aceh terhadap GAM dan terhadap partai lokal, khususnya Partai Aceh sangat luar biasa besarnya. Namun, seiring perjalanan waktu, harapan rakyat seringkali menjadi harapan palsu. Akhirnya rakyat memilih menjadi apatis, skeptis, dan resisten terhadap agenda-agenda politik para elite di Aceh. Ini yang menjadi persoalan saat ini,” pungkas Syakya Meirizal.[](Adam Zainal)