Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaNewsCerita Warga Tentang...

Cerita Warga Tentang Eksploitasi Sumur Minyak Peninggalan Belanda

Sebagian rumah warga Desa Pasir Putih, di pekarangannya tampak lubang. Warga menyebut lubang itu sumur minyak tradisional. Sumur-sumur minyak itu sudah dipagari dengan garis polisi oleh pihak kepolisian sebagai tanda larangan melintas di jalur pembatas tersebut. Garis polisi dipasang setelah kebakaran sumur minyak di desa itu, Rabu, 25 April 2018, dinihari.

Insiden itu menewaskan lebih 20 warga, puluhan lainnya luka-luka dan kini dirawat intensif di sejumlah rumah sakit. Sejumlah rumah warga menjadi arang. Warga setempat kemudian mengungsi ke tempat aman lantaran lokasi tersebut dinyatakan masih berbahaya.  

Sumur yang terbakar tersebut masih menyemburkan minyak mentah dan air, meskipun api sudah padam total secara alami sejak Kamis. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT  Pertamina EP bekerja sama dengan instansi terkait sedang mengatasi persoalan itu. Rencananya akan dilakukan penutupan lubang dan mengontrol gas yang keluar melalui pipa flare. (Baca: Kata SKK Migas Soal Penanganan Kebakaran Sumur Minyak di Aceh Timur)

Peninggalan Belanda

Warga Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, Syahirman (43), menjelaskan bahwa sumur minyak di desa itu merupakan sumur tua peninggalan Belanda yang kemudian dikelola oleh pihak Pertamina. “Setelah mereka (Pertamina) tidak mengelolanya, lalu diambil alih oleh pihak perusahaan Asamera Oil. Karena terjadinya konflik berkepanjangan (di Aceh), sehingga Asamera Oil meninggalkan lokasi itu,” ujar Syahirman kepada portalsatu.com, Sabtu 28 April 2018.

“Setelah itu masuklah perusahaan Pacific Oil. Kemudian mereka membuat gelombang seismik. Akan tetapi, hasilnya dangkal pengeborannya (sumur) tersebut, sehingga ditinggalkan lokasi pengeboran,” kata Syahirman.

Saat itu, Syahirman melanjutkan, masyarakat setempat sedang mengalami kesulitan ekonomi lantaran anjloknya harga sawit, karet dan komoditas lainnya. “Sehingga masyarakat mencari cara bagaimana untuk mengembangkan perekonomian kebutuhan sehari-hari. Artinya, masyarakat di sini bukan secara langsung dan tiba-tiba melakukan kegiatan ini (penambangan minyak),” ujarnya.

Dia menyebutkan, mulanya ada seorang warga mengebor sumur untuk memperoleh air yang akan digunakan menyiram tanaman di kebun dan kebutuhan lainnya. “Saat bersamaan (sumur itu) mengeluarkan minyak dari proses pengeboran itu. Maka disitulah munculnya sumur minyak dimaksud. Namun, saya sampai saat ini tidak mengebor sumur minyak di lahan (pekarangan rumah) pribadi, karena takut dan berbahaya bagi anak-anak,” kata Syahirman. 

Berapa jumlah sumur minyak?

Jumlah sumur minyak tradisional di Desa Pasir Putih ternyata sangat banyak. Sebagian di antaranya selama ini dikelola warga. Menurut pengakuan beberapa pekerja/penambang kepada portalsatu.com, eksploitasi minyak mentah yang dilakukan warga secara tradisional di desa itu sudah berlangsung sejak enam tahun lalu. 

“Jumlah sumur minyak khususnya di desa ini cukup banyak, perkiraan mencapai 100 lebih, termasuk sumur yang gagal mendapatkan (minyak) dari hasil pengeboran. Artinya, sebagian (sumur tua) tidak mengeluarkan minyak. Sedangkan sumur aktif yang selama ini dikelola diperkirakan ada puluhan sumur yang dibor, karena tidak semua sumur berhasil diambil minyak mentah itu,” ungkap Syahirman, yang juga salah seorang penambang di sumur minyak itu tapi bukan di lahan miliknya.

Dia mengatakan, sumur minyak yang dibor secara manual tersebut memiliki kedalaman sekitar 200 meter, pipa yang digunakan berukuran 4 inci. “Dari kedalaman 200 meter tersebut, pipa yang dibutuhkan mencapai 41 batang. Karena masing-masing pipa panjangnya sekitar 6 meter,” ujar Syahirman.

Syahirman mengakui, titik pengeboran minyak itu merupakan lahan pribadi milik masyarakat. Namun, dia menolak menyebutkan nama-nama warga pemilik lahan tersebut. 

Siapa pembeli minyak itu?

Menurut Syahirman, dalam sehari warga bisa mendapatkan minyak mentah dari sumur tua itu dua sampai tiga drum plastik berukuran 220 liter. “Itu pun tergantung, tidak selalu banyak yang berhasil diperoleh minyak mentah. Setelah itu dijual kepada agen yang mau membeli,” katanya.

“Pembelinya berbagai macam daerah, ada yang dari Tanjung Pura, Sumatera Utara. Mereka mengambil sendiri ke lokasi sumur minyak, karena sudah diketahui adanya proses pengeboran minyak maka mereka (agen) terus memantau perkembangan di lokasi. Tetapi saya tidak tahu siapa pembeli tersebut, karena tidak berlangganan dari salah seorang agen dimaksud,” ungkap Syahirman.

Syahirman menyebutkan, harga jual minyak mentah tersebut tergantung harga pasar, Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per drum. “Untuk bermewah-mewah dari hasil penggarapan minyak ini tidak juga, tetapi mencukupilah untuk kebutuhan hidup,” ujarnya.

Ada yang melarang penambangan sumur minyak itu?

Syahirman mengatakan, sebelumnya memang ada upaya dari pihak berwenang meminta warga menghentikan penambangan sumur minyak tersebut. “Tetapi dari satu sisi bahwa mata pencaharian masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari fokusnya memang di sini. Tidak bisa dibendung terlalu signifikan terhadap aktivitas masyarakat di sekitaran itu,” katanya.

“Aktivitas ini hanya dilakukan oleh orang dewasa, masyarakat setempat, tidak dibolehkan bagi anak-anak untuk ikut membantu, karena berbahaya. Artinya, anak-anak tidak bekerja, dan insiatif kita memberi kepada mereka barangkali 1 liter minyak untuk dijual supaya ada uang jajan sehari-hari,” ujar Syahirman.

Menurut Syahirman, selain warga setempat, pekerja atau penambang sumur minyak itu berasal dari sejumlah daerah di Aceh. “Kalau dari luar seperti Medan,” katanya.

Dia mengatakan, setiap sumur minyak yang dibor bertahan satu sampai dua bulan. “Setelah itu tidak bisa digunakan lagi karena sudah masuk air ke dalam pipa. Lalu dibor lagi di samping bekas sumur minyak yang telah digarap sebelumnya. Untuk modal yang dikeluarkan hanya berkisar Rp10 juta hingga Rp15 juta, cuma proses kecil-kecilan saja karena untuk kebutuhan hidup,” ujar Syahirman.

“Selain menambang, masyarakat di sini tidak tahu mau mengembangkan potensi apa. Kalau bercocok tanam seperti sawah, kebun itu tidak mencukupi bagi perekonomian, karena tidak semua warga memiliki lahan kebun sawit, karet dan sawah berhektare-hektare. Bertani juga membutuhkan modal banyak, bagaimana kita mendapatkan modal sedangkan sumber pencahariannya pun tidak mencukupi biaya hidup,” kata dia.

Apa harapan warga setempat kepada pemerintah?

Menurut Syahirman, masyarakat meminta agar pemerintah tidak menutup secara permanen lokasi sumur minyak tersebut. Apabila itu dilakukan, kata dia, akan terjadi penganguran bagi warga sekitar. Dia meminta pihak terkait supaya membina masyarakat setempat bagaimana mengelola sumur minyak itu dengan baik.

“Kami bersedia didampingi untuk pembinaan. Yang dibutuhkan masyarakat adalah pembinaan secara ilmu pengetahuan berkenaan Migas. Kalau ditutup maka kemungkinan masyarakat akan menuntut. Kejadian kebakaran (sumur minyak) ini karena musibah. Memang kita tahu berbaya, tapi apa mau dikata karena ekonomi cukup sekarat, bimbinglah kami dengan baik,” ujar Syahirman.

Baca juga: Gubernur: Tutup Sementara Pengeboran Minyak Ilegal di Aceh Timur

Syahirman menambahkan, masyarakat Desa Pasir Putih sudah memahami tata cara penambangan minyak mentah dari perut bumi. Namun, kata dia, mereka membutuhkan safety dan peralatan kerja yang maksimal. “Tentunya dengan cara mendapatkan bimbingan dari pihak terkait berdasarkan usulan masyarakat atau penambang di daerah setempat,” katanya.

“Kita sudah mampu memproduksi minyak mentah. Ilmu ini ditemukan bukan berdasarkan ilmu pengetahuan seperti orang berpendidikan tinggi. Akan tetapi, kita menemukan tata cara tersendiri walaupun secara manual (tradisional). Dengan biaya atau modal yang dikeluarkan sealakadar, ternyata masyarakat mampu menguasai hal itu,” ujar Syahirman.

Syahirman berulang kali menegaskan, intinya lokasi sumur minyak itu jangan sampai ditutup. Menurut dia, apabila dilakukan penutupan maka akan muncul permasalahan baru di tengah masyarakat.

“Karena kita tidak ingin lagi terulang akan terjadinya pencurian dan perampokan, masyarakat sangat khawatir terhadap hal tersebut. Kita berharap pihak terkait serta pemerintah agar bisa mengambil kebijakan yang pro terhadap rakyat. Bimbinglah masyarakat dengan bijaksana,” ungkapnya.[]

Penulis: Muhammad Fazil

Lihat pula: Ini Kata Nurzahri DPRA Soal Sumur Minyak Tradisional di Aceh Timur

Baca juga: