Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaInspirasiTeknoJangan Mau Jadi...

Jangan Mau Jadi Korban Pandemi Hoaks

Oleh Nurul Muhdiyah*

Hidup di era digital seperti sekarang ini bisa dibilang cukup gampang. Apa yang diinginkan dapat diperoleh secara mudah dengan memanfaatkan berbagai platform digital. Berbagai platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, hingga aplikasi pengirim pesan seperti WhatsApp sangat digandrungi masyarakat khususnya kalangan anak muda.

Keberadaan berbagai platform itu memungkinkan mereka untuk melakukan banyak hal dari rumah mulai dari berbelanja, membeli makanan, transaksi perbankan, dan aktivitas lainnya yang mengandalkan teknologi informasi.

Di masa pandemi seperti saat ini penggunaan perangkat teknologi bisa dibilang menjadi berkali-kali lipat lebih masif dibandingkan sebelumnya. Hampir sebagian besar masyarakat mengandalkan aktivitasnya pada perangkat teknologi. Contoh kecilnya, ibu-ibu rumah tangga yang sebelumnya barangkali menggunakan ponsel “tit tut” yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berikirim pesan teks, kini mau tak mau harus memakai ponsel cerdas karena tuntutan keadaan. Kalau tidak, maka mereka tidak bisa mendampingi anak-anaknya untuk mengakses materi sekolah yang sejak pandemi dilakukan secara daring.

Sayangnya, tuntutan penggunaan produk-produk teknologi tersebut tidak dibarengi dengan edukasi memadai sehingga tak jarang keberadaan ponsel pintar itu malah menjadi “pintu masuk” arus informasi yang tidak valid alias hoaks. Kondisi ini menimbulkan persoalan tersendiri di kalangan masyarakat di tengah pandemi seperti ini. Tanpa sadar mereka menjadi korban sasaran penyebaran hoaks. Di sisi lain tidak menutup kemungkinan mereka malah menjadi penyebar hoaks itu sendiri. Tak lain karena informasi-informasi masuk begitu mudahnya ke ruang-ruang pribadi kita melalui berbagai aplikasi tadi. Lalu dengan modal informasi dari ponsel itu disebarkan kepada orang lain tanpa melalui proses penyaringan.

Itulah sekelumit yang disampaikan Mentor Google Inisiatif Indonesia, Dr. Hendra Syahputra, dalam diskusi bertajuk “Akses Informasi untuk Mengurangi Dampak Covid-19 terhadap Perempuan”, diselenggarakan Ihan Nurdin, salah satu dari lima jurnalis perempuan di Indonesia yang menerima fellowship Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara—UNESCO. Diskusi berlangsung di Banda Aceh, Minggu, 13 September 2020.

Diskusi ini menarik karena memaparkan bagaimana fenomena masyarakat saat ini semakin dimanjakan dalam menerima informasi. Masyarakat bukan lagi sebagai “pencari” informasi, tetapi cenderung pasif dalam menerima informasi. Munculnya produk-produk atau tren baru dalam sekejap menjadi viral karena ramainya perbincangan di media sosial. Contohnya fenomena bersepeda dan menanam bunga yang saat ini sedang happening.

Munculnya banyak media/platform berbasis internet di satu sisi memang memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi. Namun, di sisi lain juga kerap membuat kita lupa bahwa tidak semua yang ada di internet itu sahih atau terpercaya. Banyak situs-situs dikelola kelompok-kelompok yang sengaja memanfaatkan situasi demi mengeruk keuntungan pribadi saja. Alih-alih membuat masyarakat cerdas, kehadiran informasi-informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan malah memunculkan pandemi hoaks yang mengerikan. Oleh karena itu, masyarakat selaku konsumen produk informasi perlu benar-benar jeli dan cerdas dalam mengakses informasi-informasi yang tidak disajikan badan publik yang notabenenya jauh dari hoaks.

Setiap menerima suatu informasi hendaknya kita perlu berhati-hati, perlu memahami substansinya dengan baik, apalagi saat ini konten-konten berita bisa diproduksi siapa saja. Berbeda dengan masa-masa sebelum internet booming seperti dewasa ini, konten-konten yang hadir di media massa sudah melewati sejumlah tahapan sebelum sampai ke tangan publik. Mau tidak mau kita harus sedikit ekstra mengeluarkan tenaga untuk mencari tahu siapa “operator” di balik beredarnya informasi-informasi tersebut. Kenali konten-konten hoaks yang cenderung menyebarkan kebencian dan fitnah, mengadu domba, menyebarkan ketakutan, atau ketidakpercayaan pada pemerintah.

Dalam konteks pandemi saat ini misalnya, banyak masyarakat yang terprovokasi dan menganggap bahwa Covid-19 merupakan konspirasi elite dan misi segelintir orang di dunia ini. Atau anjuran memakai masker yang diasumsikan tak lebih dari sekadar permainan politik dagang.

Efeknya bisa dilihat dari tingginya ketidakpatuhan masyarakat pada anjuran-anjuran pemerintah seperti memakai masker, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan untuk mencegah tersebarnya virus korona. Kondisi ini berdampak pada tingginya angka positif Covid-19 di Indonesia, khususnya di Aceh.

“Banyak orang tidak mau memakai masker dan menganggap itu adalah bagian dari perang dagang. Anggaplah itu perang dagang, tapi kita jangan sampai menjadi korbannya,” kata Hendra, yang juga Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry.

Oleh karena itu, untuk informasi-informasi mengenai Covid-19 ada baiknya mengakses langsung dari sumber-sumber terpercaya seperti media arus utama yang sudah terverifikasi. Bisa juga melalui website yang telah disediakan badan publik melalui situs-situs resmi pemerintah.

Badan publik sebagaimana dijelaskan Komisioner Komisi Informasi Aceh (KIA), Nurlaily Idrus, yang juga narasumber dalam kegiatan itu merupakan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang berfungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pendapatan dan belanja negara da/atau anggaran pendapatan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD dan/atau pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Informasi-informasi dikelola badan publik, kata Nurlaily, sangat jauh dari hoaks karena proses penyajiannya semata-mata demi kemaslahatan publik sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Melalui undang-undang ini negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan; mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak; mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; serta meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi berkualitas.

Dan sebagai upaya untuk memenuhi informasi publik tersebut, pemerintah menyediakan informasi-informasi yang bisa diakses melalui situs-situs resmi seperti covid19.go.id atau www.who.int yang menyajikan berbagai informasi serta-merta sebagai salah satu informasi pengecualian terkait wabah. Masyarakat juga bisa mengecek berbagai hoaks yang sudah diidentifikasi pemerintah melalui website kominfo.go.id. Bisa juga melalui cekfakta.com, yakni situs yang dibangun secara kolaboratif oleh berbagai media di Indonesia untuk memerangi hoaks. Di level provinsi, setiap instansi yang ada di Satuan Kerja Pemerintah Aceh semuanya sudah memiliki website yang bisa diakses melalui internet. Situs-situs itu bisa diakses selama 24 jam. Nah, kalau kita mau sedikit meningkatkan literasi digital kita, maka kita tidak akan menjadi korban hoaks. Yuk![]

* Penulis adalah mahasiswi UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Baca juga: