Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaNewsRanup, Adat dan...

Ranup, Adat dan Falsafah

Oleh Taufik Sentana

Ketika seorang penjual ranup atau penghias ranup sedang merangkai bentuknya menjadi beragam varian, yang terbetik di benak penulis adalah kesetiaan dan keuletannya pada kegiatan tersebut. Meskipun kegiatan membentuk daun sirih tadi sudah menjadi hal yang biasa dan berlangsung automatis, tetap membutuhkan kesabaran: dari mencari dan memilih daun sirih yang bagus, mengolah pinangnya serta mesti duduk berjam jam untuk merangkainya menjadi pas untuk dikonsumsi dengan ragam rasa dan bentuk. Adapun yang paling membutuhkan ketelitian dan inovasi adalah rangkaian ranup yang dimaksudkan sebagai antaran/kelengkapan adat pernikahan, misalnya berbentuk angsa atau kopiah khas Linto Aceh.

Tentang kesetiaan yang penulis singgung di atas, seorang penjual ranup, merelakan dirinya untuk bisa bertahan di tengah derasnya laju modernitas dan gaya hidup instan. Memang sudah jarang kita jumpai generasi milenial yang memesan ranup untuk konsumsi dalam jamuan kelompok saat kongkow di cafe/warung. 

Dalam hal ini kiranya sudah diperlukan suatu mekanisme promosi tertentu dalam kehidupan remaja untuk terlibat perihal melestarikan budaya ranup, baik untuk konsumsi, seremoni adat dan bahkan potensi ekonomi dengan bertani sirih, misalnya.

Sebab, sebagai unsur adat, sangat urgen untuk dilestarikan, apalagi ia dapat menopang ekonomi keluarga. Biasa ranup konsumsi dijual seharga Rp 500 per buah. Sedangkan untuk antaran dan acara adat, tergantung jumlah serta kerumitan bentuknya saat dirangkai.

Dari segi konsumsi, budaya pajoe ranup merupakan bagian interaksi sosial yang dapat mencairkan suasana, membangun keakraban. Saat mengunyahnya, itu semacam olahraga wajah yang paling simpel. Disamping manfaat lainnya untuk menghilangkan bakteri di mulut atau di perut. Dan rasanya yang pedar, pahit, terkadang (bisa jadimanis, tanpa tambahan gula dan kacang) serta  warnanya yang merah, seakan mengisyaratkan tentang kehati-hatian dalam  mengeluarkan ucapan.

*Peminat Kajian Sosial Budaya
Menetap di Aceh sejak 1997. Mulai mengenal budaya makan sirih (dari Nenek) sejak kecil di Medan, dalam kultur Melayu Deli.

Baca juga: