Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaInspirasiSastra Bukti Sayang...

[CERPEN] Bukti Sayang Bukan Warisan Utang

Bukti Sayang Bukan Warisan Utang

Oleh: Siti Hajar

“Mak, ini semua catatan hutang bapak yang dari kemarin coba kutelusuri bersama Rahmat,” Safran menyerahkan kertas putih lusuh tulisan tangan acak adul kepada mamaknya—Ruhana. Safran adalah anak pertama Ruhana dan Bang Mantri. Adiknya yang kedua bernama Rahmat, seterusnya ada Sulaiman, Fathun, Mawar, dan Dahlia.

Sepuluh hari sudah, Bang Mantri meninggal dunia. Bukan hanya duka kehilangan, tetapi juga sakit hati yang tak terbilang karena Bang Mantri tidak hanya meninggalkan istrinya menjadi janda serta enam anaknya, tetapi dia juga meninggalkan utang yang tak terbilang banyaknya.

Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Bukan hanya angka nominalnya tinggi, tetapi jumlah warung yang mencatat utang mereka pun lebih dari 20 warung. Semua penjual yang ada di Kampung Meurandeh ini ada utangnya Bang Mantri. Warung Kak Husna, warung kopi Keude Simpang, toko beras dan telur milik Haji Bardan juga ada. Kios Bang Man, Kios Kak Rini, Depot bensin Bang Usop, keude sayur Kak Fatma dan Bengkel sepeda Lem Baka pun ada hutang keluarga Bang Mantri.

Pusing kepala Ruhana, melihat daftar dan angka yang tertera di sana.

Perempuan yang kini tampak lebih tua dari usia biologisnya itu sadar bahwa dirinya pun ikut andil dalam perutangan Bang Mantri. Bagaimana tidak, saat Bang Mantri memberitahu kalau mereka sudah tidak punya uang lagi, selalu kata-kata yang keluar dari mulut Ruhana adalah, “Utang dulu aja, Bang, di warung Kak Rini.” Besoknya, saat enggak ada beras, “Utang saja dulu di toko Haji Bardan.” Selalu saja begitu.

Ruhana sangat mencintai suaminya, pun demikian dengan Mantri kepada Ruhana. Cinta mereka tidak memandang usia, harta benda dan status sosial. Bang Mantri sudah sepuh saat menikahi Ruhana dan memiliki delapan anak dari istrinya yang lain. Sementara Ruhana saat itu baru berumur tidak lebih dari 20 tahun. Awalnya Ruhana kasihan melihat Bang Mantri hidupnya terlunta-lunta dan kerap singgah di rumahnya untuk berbincang-bincang dengan ayahnya.

Bang Mantri dengan nama asli Perdamaian, dipanggil Mantri karena bisa mengobati orang sakit, terutama yang berhubungan dengan sakit tulang dan penyakit kulit. Namun, demikian Bang Mantri menolak dipanggil tabib apalagi dukun. Maka kemudian orang-orang memanggilnya Mantri. Nama itulah yang melekat pada suami Ruhana itu sampai ajalnya tiba.

Dulu ayah Ruhana sering mengajak Bang mantri makan di rumah mereka, tidak jarang laki-laki tua itupun sering menginap di sana. Dia tidur di bale-bale samping rumah Ruhana.

Saat itu juga tidak tahu mengapa kulit Ruhana dipenuhi bentol-bentol merah seperti jerawat di sekujur tubuhnya. Bang Mantrilah yang akhirnya mengobati sakitnya Ruhana.

Nasib gadis yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan itu dari kasihan berubah menjadi cinta kepada Bang Mantri.

“Bang Mantri itu lucu, dia sering bikin ulok. Aku suka saat dia bikin cerita lawak,” kisah Ruhana saat ada yang bertanya alasan mengapa jatuh cinta pada Bang mantri.

Walau mereka saling sayang, tetapi pernikahan mereka tanpa restu ayahnya. Ayah mana yang dengan ikhlas, merelakan gadisnya menikah dengan laki-laki yang hampir seusianya.

Sementara itu, ibunya tidak mau pusing dengan pilihan anaknya. “Semua terserah kamu, yang menjalani hidup ini nantinya adalah kamu sendiri. Terserah ….”

Makanya saat keluarga Ruhana terdesak mengalami krisis keuangan yang berulang sejak awal menikah hingga Bang Mantri menutup mata, Ruhana malu untuk minta tolong kepada orang tuanya.

“Mak, apa kita cukup uang untuk membayar utang-utang bapak ini?” tanya Safran membuyarkan lamunan Ruhana. Kertas catatan tadi masih di tangannya. Anak pertama yang kini akan menjadi pengganti bapaknya mulai mengambil peran. Membantu mengurus utang-utang bapaknya.

“Mana cukup Safran, uang sumbangan dari tetangga kita dan beberapa orang yang mengenal bapakmu sudah habis untuk bayar utang makcikmu, yang juga tidak sedikit. Kalau adikmu minta jajan pun, Mak pusing, tidak tahu ambil uang darimana,” keluh Ruhana. Rasanya beban di bahunya jauh lebih berat dibandingkan Gunung Seulawah.

“Jadi bagaimana ini, Mak?” Safran anak laki-laki yang sudah baligh ini paham apa yang akan dialami bapaknya di akhirat jika masih ada hutang di dunia yang belum beres.

“Aku takut kalau kita lama baru bisa melunaskan utang-utang bapak. Bapak akan kena azab di akhirat sana, Mak!” Mata Safran mulai mengembun. Safran tidak rela, ayah yang sangat mencintainya mendapat hukuman dari Allah gara-gara utang yang belum bisa mereka lunasi.

Hari ini mungkin tidak ada lagi orang semiskin mereka di negeri yang katanya melindungi fakir miskin dan anak terlantar ini.

“Andai Bang Mantri semasa hidup memiliki tanah, kita bisa usahakan bantuan gampong untuk membangun rumah untuk janda dan anak yatim beliau. Namun, jangankan mampu beli tanah, makan sehari-hari saja mereka harus utang sana-sini, kasihan.” Ini adalah kata-kata Keuchik Kampung Meurandeh tempat mereka tinggal sementara.

Benar saja selama ini mereka tinggal di kebun orang yang mereka sewa dua juta Rupiah pertahun. Bang Mantri membuat rumah darurat yang dinding dan atapnya dari terpal yang berwarna biru, sementara lantai adalah tanah basah yang ditutupi dengan terpal bekas. Bayangkan saja kalau musim hujan, Bang Mantri harus menggali parit agar air hujan tidak membuat becek lantai tanah liat mereka.

Ruhana benar-benar perempuan yang tahu diri. Tidak pernah terdengar kata-kata keluhan keluar dari mulutnya. Ini diakui oleh tetangganya Kak Mehra. Bahkan saat dia dan anak-anak harus makan dengan kuah bayam tok ditambah garam, dia tidak protes kepada suaminya.

“Mak si Safran itu tidak pernah menceritakan bagaimana pahitnya hidup keluarga mereka. Kecuali sudah benar-benar putus dan tidak ada lagi orang yang mau memberi mereka utang, baru dengan malu-malu Kak Ruhana bertanya, apa saya ada simpanan beras.” Ini kisah Kak Mehra tentang Ruhana saat tetangganya penasaran sekaligus heran dengan cara hidup Ruhana.

“Memang sudah begini takdir kami. Tidak ada guna mengeluh, kami juga tidak minta untuk hidup miskin sama Allah. Kami yakin ini adalah ujian sekaligus jalinan takdir yang harus kami terima.” Ini salah satu model ratapan Ruhana.

Ayahnya yang dulu tidak merestui Ruhana menikah, hari ini ketika anaknya menjadi janda, akhirnya menerima bahwa Ruhana kembali menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak mungkin menutup mata melihat derita anak dan cucu-cucunya. Bagaimanapun kondisi hidupnya, dia adalah darah dagingnya. Anak-anak Ruhana adalah penerus garis keturunannya.

“Ruhana, kau tak perlu segan kepada ayah dan ibumu. Kini Mantri sudah tidak ada, pulanglah ke rumahmu, rumah orang tuamu. Buang gengsimu!” kata Pak Gani di sela-sela sengalan napasnya.

“Dulu, kau tidak mau menyibukkan kami, karena alasan menjaga marwah suamimu. Kamu tidak ingin terlihat menderita di depan kami. Hingga tak ada beraspun tidak mau mengatakan kepada kami. Kalian sengaja tinggal jauh, agar tak risau ayahmu ini. Ayah tahu … kau cukup bertanggung jawab dengan jalan hidup yang kamu pilih. Kau memang gadisku, yang mewarisi sifat keras kepala dariku. Aku kecewa sekaligus bangga denganmu, Ruhana.” Pak Gani kini terbatuk. Dengan segera Ruhana mengambil gelas dan diisikannya air putih, kemudian diserahkan kepada ayahnya.

Setelah sekian lama tidak pernah lagi mendekap tubuh ringkih ayahnya, kini tubuh itu dipeluk Ruhana erat, walau tubuh tua itu bau balsem.

Sakit rematik yang diderita Pak Gani membuat beliau tidak bisa jauh dengan ramuan mint bercampur herbal itu. Aroma yang sangat menyengat, bau minyak kayu putih bercampur cengkeh dan kayu manis. Bagi orang tua mungkin menyegarkan, tetapi tidak bagi anak muda. Ini adalah aroma khas nenek-nenek.

“Maafkan Aku, Ayah!” Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Ruhana. Perempuan tangguh yang kini harus berpikir keras bagaimana caranya melunaskan utang-utang peninggalan suaminya.

Ruhana yang kini bertubuh tambun itu bingung karena tidak pernah bekerja apapun sejak dia menikah. Selama ini dia hanya mengurus suami dan anak-anaknya. Kalau pun ada, hanya bantu-bantu Bang Mantri menanam sayur di sekeliling gubuk mereka.

“Aku tidak menyangka deretan hutang yang harus kubayar, bang! Sungguh kamu tegaaa … katanya kamu sayang dan mencintai aku. Tapi, tidak juga dengan warisan hutang yang harus kubayar,” ratap Ruhana menyayat hati di sepertiga malam.

“Allah beri hamba petunjuk!”  Ruhana tidak putus harap. Allah pasti tidak akan membiarkan hambanya terus menderita.

***

Tak disangka, keesokan harinya Ruhana dikejutkan dengan kehadiran seorang laki-laki muda mendatangi gubuk terpal mereka.

Anak muda itu memperkenalkan diri sebagai anak dari Haji Ma’un. Beliau adalah orang yang pernah diobati sakit oleh suami Ruhana dan sudah lama meninggal. Anaknya baru saja menemukan surat dari meja kerja ayahnya yang berpesan untuk mencari keluarga Bang Mantri, dan beliau menghadiahkan sebidang tanah untuk keluarga itu.

Ternyata Allah mendengar doa-doa Ruhana, janda Bang Mantri yang beruntung karena budi baik suaminya, walau dia miskin harta, tetapi tidak pernah putus asa dan selalu berprasangka baik kepada Allah Sang Maha pemberi rezeki.[]

***

Bionarasi

Siti Hajar adalah seorang penulis yang tinggal di kota Banda Aceh, lahir di Pidie pada tanggal 17 Desember. Menulis beberapa buku yang sudah cetak, di antaranya kumpulan cerpen, “Kisah Gampong Meurandeh” Novel, Sophia dan Ahmadi, Patok Penghalang Cinta. Dia juga menulis beberapa novel anak, di antaranya The Spirit of Zahra, Mencari Medali yang Hilang, Petualangan Hana dan Hani. Ophila si Care Taker. Dan buku Non Fiksi, Empati Dalam Dunia Kerja (Bagaimana Menjadi Bos dan karyawan yang Elegan).

Beliau bisa dihubungi melalui email: sthajarkembar@gmail.com

Baca juga: