Minggu, Juni 30, 2024

Kasus Ekstasi, Wanita Cantik...

KUTACANE – Polres Aceh Tenggara memasukkan Indah Sri Jeline (24), warga Desa Pulonas,...

Azhari Tinjau UPTD PDAM...

SUBULUSSALAM - Penjabat (Pj) Wali Kota Subulussalam, Azhari, S.Ag. M.Si meninjau UPTD PDAM...

Mantan PPS Ungkap KIP...

ACEH UTARA - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Utara ternyata belum menyalurkan uang...

Abu Razak Lepas Atlet...

BANDA ACEH – Ketua Umum KONI Aceh, H. Kamaruddin Abu Bakar, melepas atlet...
BerandaOpiniHasrat Seksual di...

Hasrat Seksual di Negeri Syariah

Oleh: Fifi Desi Maharani
Mahasiswi Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Aceh merupakan daerah yang sangat istimewa, di mana Aceh sendiri dikenal sebagai Seuramoe Makkah (Serambi Makkah). Dalam sejarah panjang, masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam, hal ini yang kemudian menjadi identitas budaya dan kesadaran jati diri mereka.

Sejarah Islam di Nusantara juga berawal dari Samudera Pasai, sebuah kerajaan di Aceh yang pernah mengalami masa kejayaannya dengan menjalani syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dimuat secara hukum dalam Undang-Undang No 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Aceh dan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Undang-Undang  inilah yang kemudian menjadi dasar kuat bagi Provinsi Aceh untuk menjalankan Syariat Islam secara menyeluruh (Kaffah).

Penerapan Syariat Islam di Aceh meliputi bidang Aqidah, Syar’iyah, dan Akhlak. Dari ketiga bidang tersebut meliputi ibadah, ahwal al’syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), syiar, dakwah, dan pembelaan Islam.

Meskipun mendapat label syariah, bukan berarti menutup kemungkinan bahwa di Aceh tidak terjadi kejahatan jarimah. Salah satu kejahatan jarimah yang terjadi di Aceh adalah kasus pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual terjadi seperti fenomena gunung es, di mana kasus yang timbul di permukaan hanya sedikit dan banyak kasus yang tidak terbuka sama sekali.

Hal ini disebabkan karena budaya di Indonesia yang beranggapan bahwa pelecehan seksual merupakan aib yang memalukan, sehingga banyak korban tidak berani untuk terbuka dan memilih untuk tidak melaporkan kasus ini ke ranah hukum. Tidak hanya itu, banyak dari beberapa kasus kekerasan seksual yang sering disalahkan adalah korban dari kekerasan seksual itu sendiri.

Biasanya, masyarakat sekitar akan menyalahkan cara berpakaian korban yang terlalu terbuka atau dinilai kurang pantas sehingga menarik perhatian dan mengunang nafsu lawan jenis. Hal ini disebut dengan victim blaming. Victim blaming merupakan keadaan di mana seseorang cenderung menyalahkan korban atas tindakan yang tidak ia perbuat.

Kekerasan seksual dapat terjadi karena beberapa faktor tertentu seperti, kekuasaan, konstruksi sosial, target sosial, dan relasi kuasa yang tidak setara. Dalam prespektif Islam, hasrat seksual dianggap sebagai bagian dari alamiah manusia serta merupakan sesuatu  yang fitrah dari setiap diri seseorang dan harus dipenuhi secara halal dan layak.

Islam tidak pernah melarang hasrat seksual, tetapi mengatur dan membatasi setiap perbuatan itu sendiri demi menjaga kehormatan, keadilan, dan kesetaraan dalam pernikahan. Ketentuan aktifitas seksual dalam Islam, hanya dapat dilakukan hanya dengan satu hubungan yaitu hubungan pernikahan yang sah dengan mengikuti syarat serta ketentuan  yang sudah Allah SWT tetapkan. Dimana Allah menciptakan manusia disertai dengan hawa nafsu. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Ali-Imran ayat 14 :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

Artinya:

Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.

Di Aceh sendiri, meskipun telah mendapat branding negri syariah, nyatanya kasus kekerasan seksual kerap sekali terjadi. Kekerasan seksual menyebar luas diseluruh kalangan, baik tua maupun muda, dan yang menjadi pelaku kekerasan seksual acap kali justru orang-orang  terdekat dan mereka yang diharapkan bisa menjadi pelindung, contoh dan suri tauladan seperti tokoh agama, guru, dosen, TNI, saudara, Polri, aparat gampong, pejabat publik, atau bahkan aparat penegak hukum sekalipun.

Apabila hasrat seksual itu sudah muncul, tidak akan pandang bulu, maka segala cara akan dicoba untuk menuntaskannya. Negeri syariah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi bayang-bayang ketakutan bagi sebagian orang. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual di Aceh, baik itu yang termuat di media massa maupun tidak.

Contoh kasus yang tidak termuat di media massa seperti yang terjadi di salah satu kabupaten Aceh, di mana seorang paman dengan teganya memperkosa keponakannya sendiri yang masih berusia 8 tahun demi memuaskan hasrat seksualnya.

Tidak hanya itu masih di tempat yang sama ada seorang oknum tokoh agama di mana ia merupakan pemilik pondok pesantren, tetapi justru malah mencabuli santriwati-santriwati yang ada di pondok pesantren itu. Bagaimana ia bisa melakukannya? Tentu saja dengan adanya perbedaan relasi kuasa yang ada, yang dimana ia menggunakan jabatannya sebagai pimpinan pondok pesantren untuk menekan para santriwati untuk mau melakukan keinginan bejatnya itu.

Untuk kasus yang dimuat di media massa contohnya seperti yang dilansir di Kabar Aceh, ”Seorang pria di Gayo Lues lecehkan dan perkosa adik ipar”. Seorang pria berinisial MD ditangkap polisi lantaran tega memerkosa adik ipar yang masih di bawah berumur berinisial JN. Perbuatan keji itu terjadi di Desa Persada Tongra, Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues.

Kapolres Gayo Lues, AKBP Setyawan Eko Prasetiya SH SIK melalui Kasatreskrim Iptu. Abidinsyah SH, Jumat 17 Mei 2024 pada media ini menjelaskan, pelaku pelecehan seksual dan pemerkosaan ini, dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah, sehingga penyidik melakukan penangkapan kepada terlapor dan menetapkannya sebagai tersangka. Ini sesuai Pasal 47 Jo Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, tentang Hukum Jinayat. Dan berita serupa lainnya.

Kesimpulan

Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan kerap terjadi di Aceh, walaupun Aceh dikenal sebagai daerah yang berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Aceh juga termasuk daerah yang tingkat kekerasan seksualnya cukup banyak.

Kekerasan seksual menyebar luas di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan oknum tokoh agama, guru, dosen, TNI, Polri, dan aparat penegak hukum. Untuk kasus-kasus ini yang paling sering disalahkan adalah korban itu sendiri, seperti korban berpakaian terbuka atau dinilai kurang pantas.

Faktor-faktor seperti kekuasaan, konstruksi sosial, target sosial, dan relasi kuasa yang tidak setara juga mempengaruhi kejadian kekerasan seksual. Islam tidak melarang hasrat seksual, tetapi mengatur dan membatasi perbuatan demi menjaga kehormatan, keadilan, dan kesetaraan dalam pernikahan. Dalam Islam, penyaluran hasrat seksual hanya boleh dilakukan dengan satu hubungan, yaitu hubungan pernikahan yang sah.[]

Baca juga: