Ketika sampai di desa pesisir tersebut, Hasan Tiro dijemput oleh Muhammad Daud Husin dan pasukannya. Baru pada pukul enam sore, dia menuju ke gunung. Satu bulan berada di hutan, Hasan Tiro mulai menyusun segala strategi gerilya. Puncaknya pada tanggal 4 Desember 1976, saat ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di Gunung Halimon, Pidie.
Hasan Tiro punya alasan dalam memilih tanggal 4 Desember sebagai hari deklarasi. Menurutnya, tanggal tersebut punya landasan historis dan simbolis. Pada tanggal 3 Desember 1911 Tengku Chik Maat di Tiro sebagai pemimpin pejuang Aceh melawan Belanda syahid dalam peperangan dengan Belanda di Alue Bhot, Tangse, Pidie.
Dengan meninggalnya Maat di Tiro, Belanda mengklaim Aceh telah kalah dan menetapkan tanggal 4 Desember sebagai hari runtuhnya Aceh. Tiro membantah anggapan itu. Dia mengatakan, perjuangan Maat di Tiro diteruskan kembali oleh orang-orang yang selamat dalam pertempuran di Alue Bhot. Tengku Chik Maat di Tiro adalah paman Hasan Tiro.
Hasan Tiro pernah memberikan ceramah kepada pengikutnya pada tanggal 11 Februari 1977. Di hadapan pengikut GAM di sebuah bukit, Hasan Tiro membakar semangat para pejuang dengan ceramahnya tentang tanah Aceh. Ia menyebut Aceh sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan, tanpa mengakui nama lain.
Tahun pertama GAM, pengikut-pengikut Hasan Tiro kebanyakan dari keluarga Tiro sendiri dan beberapa mantan pengikut Teungku Daud Beureueh. Angkatan pertama seperti Teungku M Daud Husin (Daud Paneuk), Teungku Taleb, Usman Lampoh Awe, Zaini Abdullah dan Ilyas Abet.
Dari bekas pengikut Daud Beureueh, ada Malik Mahmud Al-Haytar, anak dari pengikut setia Abu Daud Bereueh, Mahmud Al-Haytar. Malik mau bergabung dengan Aceh Merdeka karena punya ikatan sejarah dan emosional.
Sejak keberangkatan Hasan Tiro pada tahun 1979 ke luar negeri, ia pernah kembali beberapa kali ke Aceh. Yang terakhir adalah pada bulan Juni 1990. Setelah tahun itu, Hasan Tiro baru kembali lagi ke Aceh pada 11 Oktober 2008. [**]