Ada satu perkara dalam berbahasa yang tak henti-hentinya merundung negeri ini. Ia adalah pengoplosan bahasa. Lebih spesifik: bahasa Indonesia yang dioplos dengan bahasa asing, terutama sekali bahasa Inggris.
Makin ke sini, oknumnya makin banyak saja. Yang tadinya hanya orang-orang tertentu (seperti nyonya besar, tuan besar, pelancong asing, selebriti), sekarang sudah dilakukan pula oleh pegawai kantoran, pejabat pemerintahan, remaja-remaja “alay” yang hidupnya mengandalkan uang jajan, dan bahkan wartawan.
Sehingga, makin ke sini, makin tak ada istimewanya lagi rasanya bahasa Melayu yang susah-susah diberi nama dengan bahasa Indonesia ini. Padahal, untuk tuak atau vodka saja kita tak mau menenggak yang oplosan, bukan?
Karena pelakunya makin jamak, bahasa oplosan pun kian menjamur dan mudah sekali ditemukan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam bentuk tulisan, kita tinggal membuka saja laman media sosial atau situs-situs internet untuk menemukannya. Sedangkan dalam lisan, kita bisa mendengarnya di mana-mana dalam pelbagai bentuk, mulai dari obrolan ringan di kafe hingga pidato resmi di tanah lapang.
“Kita harus concern dalam memerangi peredaran narkoba,” kata Gubernur A.
“Maaf, saya ada meeting dengan kepala kantor siang ini,” ujar pegawai B.
Bahkan, dalam kasus yang tak jarang, bersamaan dengan majunya (katakanlah maju) peradaban dan perkembangan zaman, kadar pengoplosan bahasa bisa mencapai 50 persen hingga membuat bahasa itu tak lagi jelas bahasa apa.
Contohnya beberapa hari lalu. Seorang remaja asal SMA Negeri 2 Palembang bernama Rahmad Septiaji menulis begini: “Kalo failed surprise suasana jadi berasa flat….”
Saya terkekeh. Sebenarnya si remaja itu bermaksud mengatakan:
“Kalau kejutannya gagal, suasana jadi terasa datar.” Tetapi akibat pengoplosan yang kelewat nekat, bahasa si remaja jadi “berasa weird“, eh (jadi ikut-ikutan), terasa aneh, maksudnya.
Barangkali si remaja itu terilhami oleh selebriti bernama Cinta Laura. Barangkali juga si remaja sedang gandrungnya belajar bicara dalam bahasa Inggris.
Atau barangkali ia sedang mempersiapkan diri untuk ikut pertukaran pelajar ke negara berbahasa Inggris. Entahlah. Jawaban yang pasti hanya akan didapat dengan bertanya langsung kepadanya.
Jose Rizal, pahlawan Filipina yang terkenal itu, pernah berkata,
“Barangsiapa yang tidak mencintai bahasanya sendiri, maka dia lebih buruk daripada binatang dan ikan busuk.”
Kalimat yang sungguh terdengar sinis, tetapi sekaligus menunjukkan nasionalisme yang mendalam.
Kita boleh saja tak sepaham dengan Jose Rizal. Tetapi setidaknya kita perlu sesekali menengok bagaimana orang Prancis memperlakukan bahasanya.
Mereka, setidaknya menurut sejumlah sumber, tidak pernah mencampuradukkan bahasa mereka. Seluruh kata dalam kalimat, mereka ucapkan dengan bahasa Perancis tulen, termasuk istilah-istilah teknis, yang kalau dalam bahasa Indonesia sudah pasti “tidak terelakkan” untuk dipakai mentah-mentah, seperti “server”, “ring road”, dan “drive thru” –untuk contoh yang disebutkan terakhir, sempat membuat mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan bingung memilih padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Lagipula, salah kaprah jika menganggap pencampuradukan bahasa sebagai sesuatu yang keren. Justru, pencampuradukan bahasa akan semakin memperjelas ketidakmampuan berbahasa yang baik dan benar.
Maka, jika kita sudah punya kata “panekuk”, “rapat”, “acara”, untuk apa kita mesti repot-repot mengucap “pancake”, “meeting”, dan “event”?
Dan Nelson Mandela pun bilang begini:
“If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart.”
Sumber: Tribun Medan