`“Penyerang Newcastle Aleksandar Mitrovic dihadiahi kartu merah oleh wasit seusai melakukan tekel berbahaya kepada bek Francis Coquelin.” Itu merupakan sepenggal kalimat dari berita Arsenal kontraNewcastle, Agustus lalu.
Sekilas tidak ada yang aneh dengan kalimat tersebut, yang hanya menjelaskan pemain Newcastle mendapatkan kartu merah karena melakukan pelanggaran keras terhadap pemain Arsenal. Namun, menurut saya, ada hal yang perlu diselisik lebih lanjut, yaitu pada bagian “dihadiahi kartu merah”.
Dalam KBBI, kata hadiah mempunyai makna “pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan)”: ia menerima bermacam-macam hadiah pada perayaan ulang tahunnya kemarin. “Ganjaran (karena memenangi suatu perlombaan)”: panitia menyediakan hadiah uang dan piala bagi pemenang pertama. “Tanda kenang-kenangan (tentang perpisahan) cendera mata”; pada pesta perpisahan itu, kami menyampaikan hadiah untuk yang pergi.
Berdasarkan pengertian itu, dapat disimpulkan bahwa hadiah ialah suatu pemberian atas prestasi seseorang, yang tentu dalam hal positif. Misalnya, hadiah atas prestasi menjadi juara Liga Champions dan hadiah karena memenangi Piala Presiden. Namun, dalam pertandingan sepak bola, kartu merah bukanlah wujud penghargaan, apalagi penghormatan atas prestasi, melainkan wujud hukuman karena pelanggaran yang terlalu keras terhadap pemain lain.
Jika mengacu pada arti sesungguhnya, penggunaan kata hadiah yang sesuai dengan konteks sepak bola ialah dihadiahi penalti dan dihadiahi tendangan bebas. Pasalnya, pemain telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjebol gawang lawan, tetapi dilanggar sehingga pantas saja wasit memberikan hadiah penalti.
Dalam kasus lain, Anda juga mungkin pernah mendengar frasa dihadiahi pukulan dan dihadiahi tendangan. Sama halnya dengan pembahasan dihadiahi kartu merah, pukulan dan tendangan bukan sebuah pemberian karena prestasi, melainkan hukuman atau bentuk tindak kekerasan.
Kemunculan kata konotasi tersebut bukanlah hal baru. Bentuk kata seperti itu justru dapat memberikan kesan yang lebih. Pasalnya, kita tahu bahwa bahasa itu bersifat dinamis. Berkembang sesuai dengan tuntutan penuturnya. Misalnya, dalam kasus lain pada berita Bayern Muenchen “menggilas” Arsenal 5-1. Menurut KBBI, kata kerja aktif menggilas berarti “menindih sambil menggelinding; melindas”: sepeda itu kemarin melindas buah semangka pedagang yang tumpah. “Menghaluskan (memipihkan, menghancurkan) dengan cara menindih dan dengan gerakan menggelinding; menggiling”: ia sedang menggilas cabai. “Membersihkan dengan cara melindas (cucian, pakaian)”: ibu sedang menggilas pakaian.
Tentunya, secara definisi, penggunaan kata kerja aktif menggilas tidak cocok digunakan dalam konteks tersebut. Namun, karena bahasa bersifat dinamis, kata kerja menggilas akhirnya mempunyai makna lain jika digunakan pada konteks itu, yaitu mengalahkan lawan secara telak hingga tak berdaya.
Begitu pula dengan penggunaan kata kerja pasif dihadiahi. Jika mengacu ke arti yang sesungguhnya, kata tersebut memang tidak cocok. Namun, karena bahasa bersifat dinamis, penggunaan diksi dihadiahi memiliki arti lain, yaitu menjelaskan bahwa itu merupakan sebuah sindiran bagi sang pemain yang mendapatkan kartu merah. Mungkin juga penggunaan diksi itu bertujuan agar berita tersebut menjadi lebih menarik dan memunculkan kesan “wah” bagi pembaca.[]
*Sumber: Ridha Kusuma Perdana, Media Indonesia, 8 Nov 2015, Staf Bahasa Media Indonesia