BANDA ACEH – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh memvonis tiga terdakwa perkara korupsi dana Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) Bener Meriah tahun 2013 masing-masing 1 tahun penjara, Rabu, 23 Agustus 2017. Putusan hakim tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu 4 tahun penjara dan denda Rp350 juta.
Sidang perkara dana program swakelola yang dilaksanakan Komite Bener Maju tersebut dibuka Hakim Ketua Faisal Mahdi, S.H., M.H., didampingi Hakim Anggota Deny Saputra, S.H., dan M. Fatan Riyadhi, S.H., sekitar pukul 11.00 WIB. Terdakwa Juanda, mantan Kadis Sosial Bener meriah mengenakan baju batik biru duduk di bangku 'pesakitan'. Ia ditemani penasihat hukum Sulaiman, S.H., dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA).
Dua terdakwa lain, anggota Komite Bener Maju, Jawahardi memakai baju batik coklat, dan Zahirianto mengenakan kemeja biru pudar. Keduanya didampingi penasihat hukum Hamidah, S.H. Sementara Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Bener Meriah dihadiri Puji Ramadian, S.H.
Berdasarkan putusan nomor 9/Pid.Sus/TPK-2017/Pn.Bna yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Faisal Mahdi, menyatakan ketiga terdakwa terbukti secarah sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai pasal 3 jo pasal 4 jo pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Majelis hakim menghukum terdakwa Juanda, Jawahardi dan Zahirianto masing-masing 1 tahun penjara dipotong masa tahanan yang sudah dijalani, dan denda masing-masing Rp50 juta subsider (pengganti denda) 3 bulan masa kurungan. Majelis hakim juga menghukum para terdakwa membayar uang pengganti, yaitu untuk terdakwa Juanda Rp41 juta, Jawahardi Rp83 juta lebih dan Zahirianto Rp63 juta lebih. Apabila tidak dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, harta benda terdakwa akan disita oleh kejaksaan. Jika nilai harta benda tidak mencukupi, diganti masa kurungan, untuk Juanda 5 bulan, Jawahardi 7 bulan dan Zahirianto 5 bulan.
Usai mendengarkan putusan tersebut, para terdakwa melalui penasihat hukumnya mengatakan, “pikir-pikir dulu”. JPU Rahmadian juga mengatakan hal sama.
Usai persidangan, Hamidah kepada portalsatu.com mengatakan, pihaknya keberatan dengan putusan majelis hakim, karena ia meyakini kliennya, Jawahardi dan Zahirianto tidak melakukan perbuatan seperti dituntut oleh jaksa. “Masa kurungan 1 tahun dengan denda dan uang pengganti, tentu ini sangat berat. Walaupun di persidangan saya bilang pikir-pikir dulu, tapi saya dan klien akan ajukan banding,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Juanda yang mengaku merasa dizalimi dalam kasus ini. Apalagi, kata dia, majelis hakim mengaitkan dirinya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam pelaksanaan program RTLH 2013 tersebut. Padahal faktanya, kata dia, dirinya hanya sebagai pembina sesuai SK Gubernur Aceh dalam kepengurusan Komite Bener Maju.
“Saya KPA bila dananya masuk ke rekening dinas, faktanya dana program RTLH sebesar Rp1,9 miliar masuk ke rekening Komite Bener Maju. Ketuanya Marzuki dan bendaharanya Samidi. mereka yang bertanggung jawab tentang semua pengeluaran dana. Semua bukti sudah saya paparkan dalam persidangan sebelumnya, tapi jelas hakim seperti mengabaikan fakta-fakta persidangan,” ujar Juanda.
Juanda juga merasa kecewa karena hakim tidak memerintahkan penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap penerima dana Rp41 juta yang menurutnya jelas-jelas diungkap oleh saksi diterima sejumlah oknum polisi di Bener Meriah dan oleh mantan Wakil Bupati Bener Meriah.
Pada sidang sebelumnya, JPU menjelaskan, hasil audit BPKP Perwakilan Aceh, proyek swakelola senilai Rp1,9 miliar bersumber dari APBA tahun 2013 tersebut ditemukan kerugian negara mencapai Rp 257 juta. Dana tersebut diperuntukkan merehabilitasi 100 unit RTLH di 9 kecamatan di Kabupaten Bener Meriah. Namun berdasarkan pengakuan saksi ahli Ramli Puteh, mantan auditor BPKP, tidak ada kerugian negara dalam program tersebut.
Untuk diketahui, Juanda bersama Jawahardi dan Zahirianto ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Bener Meriah pada 23 September 2016. Waktu itu Juanda sudah menjabat sebagai Kepala BKPP.
Pada sidang pledoinya, terdakwa Juanda mengaku dirinya sudah dizalimi oleh oknum polisi dan jaksa. Pasalnya, ia mengaku tidak pernah menikmati dana tersebut sepeserpun. Ia menduga dirinya dijerat dengan kasus tersebut karena saat itu sedang melakukan validasi data honorer fiktif di sejumlah SKPK di Bener Meriah.[]