Selasa, September 17, 2024

Mahasiswa PSDKU USK Gayo...

BLANGKEJEREN - Ratusan mahasiswa Program Studi di Luar Kampus Utama Universitas Syiah Kuala...

Tujuh Organisasi Deklarasikan Komite...

BANDA ACEH – Tujuh organisasi mendeklarasikan Komite Keselamatan Jurnalis (KKI) Aceh di Banda...

Sejumlah Akun Palsu Catut...

BANDA ACEH - Sejumlah akun palsu yang mengatasnamakan H.M. Fadhil Rahmi, Lc., M.Ag.,...

Sambut Maulid Nabi, Jufri...

ACEH UTARA - Menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1446 Hijriah atau...
BerandaNewsEmpuknya Kursi Itu

Empuknya Kursi Itu

HARI ini publik kembali disuguhkan cerita pilkada 2017. Kabarnya Doto Zaini berencana maju lagi di pilkada ke depan. Di media sosial berseliweran komentar. Ada yang netral. Hampir tidak ada yang positif. Ada yang menganggap bahwa statemen ini lebih karena gubernur menggertak. Menggertak anak buahnya agar fokus bekerja. Lebih untuk mengendalikan loyalitas para pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh.

Tentu cara ini perlu kita lihat efektivitasnya. Kita akan lihat kinerja aparatur sampai akhir tahun ini. Tapi selebihnya wacana beliau maju takkan dipercaya publik. Pasalnya sepanjang tiga tahun ini jelas sekali beliau amat lemah kontrol terhadap kinerja anak buahnya.

Tindakan yang paling signifikan dalam mengelola birokrasi adalah mutasi. Sepanjang 3 tahun ini telah belasan kali mutasi. Mulai eselon 1 yaitu sekda sampai ke eselon empat. Hasilnya, ya seperti yang kita lihat tiga tahun ini. Terhadap keinginan beliau maju lagi, sah-sah saja sebagai hak demokrasi. Namun tentu banyak pihak percaya beliau tidak akan terpilih. Bila begini, sungguh ini akan menjadi pukulan telak bagi mantan Menteri Luar Negeri GAM ini.

Nah kenapa kalimat ini beliau ucapkan kemarin? Boleh jadi beliau terpancing dengan pemberitaan media. Atau ini adalah jawaban ketakutan orang sekelilingnya. Mereka yang saat ini sedang menikmati empuknya duduk di samping kursi gubernur, amat takut ini akan berakhir.

Mereka yang selama ini menjadi decicions maker atau pembisik utama gubernur sedang galau. Mereka pasti amat takut kehilangan. Bahkan mereka mulai berpikir kemana akan pergi setelah kekuasaan ini berakhir. Sehingga membuat bermacam pertimbangan.

Tapi mereka harus sadar, kondisi carut marut perilaku pemerintah saat ini tidak lepas dari andil mereka. Bukalah aturan tentang kewenangan gubernur baik di aturan nasional maupun di UUPA. Jelas sekali bagaimana fungsi dan tugas gubernur. Tidak ada disitu diterangkan tugas pembisik walaupun dengan segala label jabatan. Maka seharusnyalah mereka memberi masukan yang benar. Karena mereka pasti tahu pemerintah ini sedang oleng. Dan dalam kasus ini tidak bisa menyalahkan siapapun selain pemilik otoritas itu sendiri.

Makanya bila segala tindakan gubernur diiyakan para pembantunya, maka berlakulah kisah “kancil pilek di depan raja hutan”. Mengaku tidak bisa merasakan apapun demi menyelamatkan diri. Alangkah mirisnya Gubernur Aceh punya banyak intelektual di sekelilingnya. Tapi terus saja berkinerja negatif.

Gubernur bukanlah birokrat tulen. Beliau juga bukan orang yang berpengalaman di pemerintahan. Maka tugas pembantunyalah memberi masukan yang benar. Bukan malah menjerumuskan. Ada sisa masa pemerintahan ini kurang dari dua tahun lagi. Akankah pemerintah ini mengakhiri tugasnya dengan happy ending? Atau akan dikenang sebagai pemerintah yang gagal. Sadarkah gubernur tentang hal ini?

Lihat saja daya serap anggaran yang rendah. Silahkan lihat tahun-tahun sebelumnya. Dinas mana yang selalu berapor merah? Tapi apa tindakan beliau untuk dinas tersebut sampai kini. Dinas-dinas basah itu aman-aman saja walau berkinerja buruk. Apakah gubernur tidak tahu ini?

Jadi ungkapan kekecewaan beliau buat siapa? Patut diduga bukan kinerjalah yang menjadi acuan gubernur. Ada tiga SKPA selalu berkinerja buruk. Dinas Bina Marga, Dinas Pengairan dan Dinas Pendidikan. Sampai saat ini hanya Kepala Dinas Pendidikan yang sudah dicopot dan dirombak. Sementara Dinas Bina Marga dan Dinas Pengairan masih dipimpin oleh orang yang sama. Bahkan pernah merangkap untuk dua dinas tersebut. Sedangkan kinerjanya selalu buruk. Tapi Kadisnya selalu dapat promosi. Kenapa bisa begini?

Kalau alasan mutasi untuk perbaikan kinerja, maka amatlah layak publik menilai bukan kinerja menjadi acuan penilaian. Tapi bagaimana pendekatan dan lain-lain yang mempengaruhi. Kasus ini menjawab bahwa gubernur sedang dikelola oleh sekelompok orang. Beliau tidak berdaya karena keterbatasan fisik yang sudah uzur. Oleh karenanya, wacana beliau maju lagi amatlah menyedihkan. Kita takut di sisa waktu kekuasaannya akan dihabiskan untuk tujuan politis saja. Dan ini akan memperdalam kegagalan beliau.

Kita berharap kepada para orang dekatnya berpikir lebih rasional. Bilapun ini bertujuan menggertak anak buahnya tidak ada gunanya. Para pejabat bukanlah orang bodoh yang tidak punya kalkulasi politik. Mereka juga amat sadar bagaimana menjaga kesinambungan jabatan mereka.

Tanpa tekanan dengan acuan yang jelas, mereka pasti akan ikut arah angin. Bukannya mereka tidak tahu bahwa mereka tidak berkinerja. Tapi mereka juga tahu buat apa berkinerja kalau tidak dihargai. Bahkan bisa menjadi ancaman fitnah “leupah maju”. Lebih baik menari berdasarkan musik daripada berimprovisasi yang bisa kehilangan harmonisasi.[]

Baca juga: