Oleh: Yulia Erni*
Selain sembako, harga diri juga bagian lain dari kebutuhan pokok manusia. Banyak yang mengamini kalimat tersebut dalam sebuah training bertema “Menyambut Asian Games 2018” di Gedung AAC Dayan Dawood, Juli 2018 oleh seorang tutor nasional Bali, Fahmi Fahrezi.
Saya pun terpancing menambah, selain sembako, eksistensi juga bagian lain dari kebutuhan pokok manusia. Begitulah kira-kira kalimat tepat untuk menggambarkan kehidupan dunia digital yang tengah bergejolak ini.
Wajar, sebagai manusia normal ingin mendapat pengakuan atas keberadaan melalui pencarian jati diri. Ada dan tidak ada kita, memiliki pengaruh atau tidak untuk setidaknya lingkungan sekitar. Oleh karenanya, menjadi eksis di sosial media adalah salah satu alternatif tercepat juga praktis. Tak ada salahnya. Sebab setiap teknologi yang hadir, banyak kecanggihan dan manfaat selama bijak dalam mengaplikasikan.
Namun, bagaimana jika ternyata kebijakan versi si pengguna justru membahayakan keselamatan jiwa? Mengapa begitu marak mencari eksistensi di dunia maya sebagai sebuah tren meski berisiko tragis di dunia nyata?
Kecelakaan tragis yang menimpa keluarga artis berinisial VA baru-baru ini masih menjadi trending topic berita. Banyak yang menyikapi bahwa kecelakaan di jalan tol juga wajar. Bagaimana pun, tak semua hal bisa dikendalikan. Lagi pula kecelakaan maut serupa bukan kali pertama menimpa artis. Sebut saja dua keluarga seniman beken tanah air, Dul, putra Ahmad Dhani dan mendiang istri pedangdut Saiful Jamil di dua ruas tol berbeda.
Kecelakaan maut keluarga artis VA pekan lalu diduga murni kecerobohan seorang supir pribadi berdarah muda karena melanggar Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pasal 23 Ayat 4 Tentang Batas Kecepatan Maksimum Lalu Lintas Jalan Bebas Hambatan, yang menginjak tekanan laju kendaraan 180 kilometer/jam, atau dua kali batas kecepatan maksimum. Fakta ironis lain, peristiwa terjadi tak lama setelah sang supir membagi unggahan via akun sosial media.
Boleh jadi, di samping agar sampai tujuan dengan durasi singkat, hadir juga sebuah potret eksistensi bertajuk perjalanan menyenangkan lewat sebuah konten. Padahal jika merujuk pada pengalaman lakalantas, jalan bebas hambatan juga memiliki titik rawan kecelakaan yang jika tanpa konsentrasi jauh lebih berbahaya dan berisiko tinggi dibanding jalan raya.
Sempat ada pernyataan bahwa supir mengantuk. Hal itu dibantah oleh eks Menpora sekaligus pakar telematika Roy Suryo “Tidak mungkin. Jika mengantuk, kecenderungan kecepatannya memelan, ini kecepatannya sangat tinggi dan lama.”
Meski pihak kepolisian telah menerima hasil tes urine terhadap supir berinisial TJ negatif narkoba, namun kasus ini secara resmi tetap dinaikkan ke dalam penyidikan. Belum usai menguak tabir dan simpang siur berita, muncul lagi cerita kontroversi di mana supir pribadi artis VA sempat bermain handphone saat menyetir.
Tak terhindar, sebuah unggahan akun sosial media pribadi miliknya semakin memperkuat bukti tak terelakkan dan hal itu akhirnya dibenarkan oleh ia sendiri. Secara kronologi, kecelakaan maut tersebut murni karena kelalaian supir yang dianggap tidak profesional sehingga menyebabkan kehilangan nyawa orang lain.
Kecelakaan maut akibat kelalaian penggunaan gadget semakin marak terjadi. Dalam rentan Oktober 2021, tiga pemuda Lampung Utara tewas tenggelam saat melakukan selfie di tempat wisata Curup. Dua hari setelahnya, bocah di Cianjuk terlindas truk saat membuat sebuah konten Youtube.
Sungguh miris, jika eksis berakhir tragis. Sosial media yang harusnya digunakan untuk hal positif, belakangan lebih sering digunakan untuk hal negatif. Sebenarnya kasus serupa telah lama menyita perhatian berbagai kalangan dan pakar, seiring sosial media semakin rentan melahirkan rentetan peristiwa pilu.
Ada apa sebenarnya dengan sosial media? Mengapa banyak pengguna tersandung kasus di sana? Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Profesor Henri Subiakto mengungkapkan bahwa: Dunia maya memfasilitasi kita semua dari perhatian orang lain dan ekonomi. Yang dijual oleh pengguna adalah penonton serta jumlah like, tanpa memperhatikan etika dan keselamatan orang lain.
Karakter dunia nyata berbeda dengan dunia maya. Karakter dunia maya muncul karakter bawah sadar seperti agresif, eksis, yang aslinya tidak demikian. Kadang orang terdekat yang tahu kesehariannya akan tersenyum di belakang layar saat melihat sebuah unggahan yang sebenarnya hanyalah palsu.
Ungkapan tersebut sejalan dengan teori Aristoteles dua ribu tahun lalu yang menyatakan manusia pada dasarnya egois. Jelas terlihat pada kalimat “Tanpa memperhatikan etika dan keselamatan orang lain.”
Dalam sebuah wawancara khusus bersama Putri Viola di sebuah stasiun tivi swasta, dari sudut pandang psikolog, Ajeng Raviando juga angkat bicara tentang aksi eksis dunia maya dilakukan karena dorongan erotik, ingin terlihat sama, dan punya konflik dengan diri sendiri, mengikuti tren sehingga lupa mengontrol diri. Generasi digital biasanya tidak fokus pada satu titik. Mereka membagi fokus bahkan pada tiga layar sekaligus sehingga konsentrasi terpecah-pecah dan tidak menemukan lagi titik fokus.
Indonesia termasuk salah satu negara pengguna sosial media terbesar di dunia. Pengguna internet mencapai 63 juta orang, 95 persen merupakan pengguna sosial media, 33 juta di antaranya aktif setiap saat di Facebook, 10 persen pengguna aktif memberi informasi, dan 90 persen lainnya menyebar informasi tersebut (Data Kemenkominfo 2017).
Jika kita menyadari betul, sebenarnya kehadiran gadget saat ini sebagai alat komunikasi telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Sebagai contoh: Sebuah rencana momen di tanggal tertentu bisa disepakati dengan lancar melalui sebuah grup chat tanpa tatap muka. Sungguh sebuah rencana yang cukup romantis. Namun dalam pelaksanaan, faktanya semua sibuk bercinta dengan gadget pribadi.
Sebagian mereka yang rencana awal melepas rindu temu kangen teman lama, sisanya hanya rasa kecewa karena terbuang waktu sia-sia. Puncak sensasi kepuasan era digital hampir semua diabadikan dalam sebuah foto bersama sambil berlomba mempertahankan keegoan dan eksistensi mana yang lebih unggul di akhir pertemuan diiringi berbagai komentar setelahnya.
Saat foto bersama diunggah di akun sosial media, followers masing-masing akan melihat hal tersebut sebagai sebuah momen berharga yang juga mampu membawa dampak baginya melakukan hal sama di kemudian hari untuk membunuh semacam virus ketakutan ketinggalan ratting. Padahal yang mereka lihat pada unggahan tersebut tak lebih dari sebuah foto bersama, bukan foto kebersamaan.
Pengamat sosial, Devi Rahmawati pernah membuat pernyataan: Pengguna sosial media hanya mampu meninggalkan gadgetnya tak lebih dari tiga menit, selebihnya mereka akan gelisah (Sekali pun dalam keramaian).
Masih ingatkah kasus heboh Terri Marie Palmer, wanita berusia 23 tahun yang menikam jantung kekasihnya karena terlalu sibuk bersosial media? Ini hanya satu dari sekian kasus. Fenomena semacam ini yang disebut manusia makhluk egois. Mencari atensi publik lalu mengorbankan etika dan acuh pada orang sekitar. Karena sekelas figur publik korban maut pasutri baru-baru ini pun awalnya seperti seide melihat aksi itu sebagai sebuah hal wajar meski tak benar. Indikasinya mereka juga melakukan hal serupa dengan sang supir dalam perjalanan. Bukan hal mustahil jika supir pun telah buyar konsentrasi sejak awal.
Terkadang kehadiran gadget bagi sebagian kawula muda mampu menggadai nyawa dengan harga murah demi sebuah kata “eksis.” Semakin eksis semakin cepat dikenal walau harus membuat konten dengan cara-cara sesat.
Dalam perannya, pemerintah telah menyikapi beberapa pertanyaan publik. Salah satunya mengajak masyarakat literasi digital untuk semisal berbisnis alih-alih mendapat income. Banyak bisnis sukses lewat dunia maya, selama bijak dan pintar melihat peluang.
Lalu, bagaimana jika berbagai cara telah ditempuh pemerintah namun tetap saja pengguna sosial media melakukan aksi eksis berbahaya? Apa mungkin sebelum gadget hadir pemerintah memang telah gagal mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar alinea ke empat? Mungkinkah gadget satu-satunya penawar stres global?
Atau jangan-jangan benar seperti pernyataan orang tua di pos jaga bahwa, generasi sekarang adalah generasi rendah selera dan degradasi moral. Apa pun itu, bijaklah dalam bermedia sosial. Saat membuat konten dengan cara tak wajar, pikirkan bahaya dan risiko. Berani boleh, nekat jangan. Karena apa yang kita lakukan juga apa yang bisa dilakukan orang lain. Dengan demikian itu bermakna spesialnya tidak ada.Jangan sampai, sosial media menjadi pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, di sisi lain menikam diri sendiri.
*Guru dan pengurus PBSI Pidie periode 2020-2024