Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim*
Harlah Indonesia kali ini (17 Agustus 2021) jatuh berdekatan dengan momen puasa ‘Asyura (10 Muharram), hanya berselang sehari, yaitu pada 8 Muharram 1443. Artinya, pada 9 Muharram, umat Islam sudah boleh memulai puasa ‘Asyura.
Ada sejumlah hadis Nabi yang melatar belakangi syariat puasa ‘Asyura, di antaranya adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Dalam hadis itu disebutkan bahwa saat Nabi SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu bertanya, “ada apa ini?” Mereka menjawab, “ini adalah hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka (Fir’aun), sehingga (Nabi) Musa berpuasa pada hari itu”. Kemudian Nabi bersabda, “sesungguhnya aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”. Nabipun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umat Islam untuk ikut berpuasa.
Dalam hadis lainnya riwayat Muslim dan Abi Daud, disebutkan bahwa ada sahabat yang datang kepada Nabi SAW mengadu, “wahai Rasulullah sesungguhnya hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”. Nabi menjawab, “insya Allah pada tahun depan kita akan berpuasa (juga) pada tanggal sembilannya”. Dalam versi lainnya, disebutkan Nabi mengatakan, “sekiranya aku panjang umur hingga tahun depan, aku akan berpuasa tanggal sembilan”. Berpuasa tanggal sembilan dimaksudkan untuk menyelisihi dan “tampil beda” dari orang-orang Yahudi sebagaimana disebutkan dalam riwayat Sa’id bin Mansur, yang juga dikeluarkan oleh Imam Baihaqi.
Menyelesihi non-Muslim
Salah satu pelajaran penting dalam Islam adalah menyelisihi atau bersikap kontras dengan orang-orang kafir. Ajaran ini bukan hanya menjadi fokus dalam kajian muamalah tetapi juga dalam bab akidah. Salah satu pembahasan penting dalam buku-buku tauhid ialah soal loyalitas, atau dikenal dengan istilah wala’ dan bara’. Secara sederhana terma ini bisa dijelaskan bahwa ketika seseorang sudah meyakini dan menerima Allah sebagai Tuhan, maka konsekwensinya adalah ia harus mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Allah membenci orang kafir karena kekafiran mereka, dan mencintai orang mukmin karena keimanan mereka. Inilah yang mengharuskan umat Islam menyelisihi orang-orang Yahudi misalnya, bukan karena keyahudiannya, tetapi karena kekafiran yang bercokol dalam diri mereka.
Atas dasar itu, muncullah hadis-hadis semisal, “siapa yang menyerupai satu kaum maka ia (menjadi) bagian dari kaum tersebut” (HR: Ahmad). Hadis ini mengingatkan umat Islam agar tidak meniru kebiasaan-kebiasaan masyarakat non-Muslim, meskipun dalam hal-hal yang bersifat lahiriah.
Perhatikan hadis berikut ini; “Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut mereka, maka berbedalah dengan mereka” (HR: Bukhari). Hadis lainnya, “Berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi, shalatlah dengan menggunakan sandal dan sepatu kalian” (HR: Ahmad). Sahabat mengadu kepada Nabi, “Ya Rasulullah orang-orang Yahudi dan Nasrani menggunakan celana panjang dan tidak memakai kain sarung, lalu Nabi bersabda kepada mereka, “pakailah celana panjang dan gunakanlah kain sarung, selisihilah mereka Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)” (HR: Ahmad). Dan hadis lainnya semisal, “berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, pendekkan (cukur) kumis dan panjangkan jenggot” (HR: Muslim).
Menyelisihi orang-orang di luar Islam menjadi hobinya Rasulullah SAW. Lalu, bagaimana umat Islam memahami dan mengaktualisasikan “hobi” Nabi di atas. Sikap umat Islam hari ini sepertinya masih didominasi oleh pemikiran literalis tekstualis dalam memaknai hadis-hadis di atas, sehingga tidak sedikit di antara mereka yang menilai kualitas keagaaman (keimanan) seseorang hanya melalui tampilan fisik, seperti celana gantung dan jenggot. Jika tidak berjenggot dan celananya menutupi mata kaki maka diangap sebagai Muslim yang tidak konsisten, tidak sah menjadi imam shalat, dan bahkan dipandang fasiq (pelaku dosa besar). Sikap ekstrem ini telah memaksa seorang ulama Iraq, Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ menulis satu buku dengan judul “Jenggot dalam Perspektif Hadits dan Fiqh” yang tebalnya lebih dari 300 halaman.
Bagi penulis, hadis-hadis di atas bukan hanya sebatas mengajarkan umat ini bagaimana harus berpakaian dan bersikap dalam kesehariannya terkait dengan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat dunia yang plural dan heterogen. Tetapi di sana ada spirit yang—sepertinya—ingin ditanamkan Nabi dalam jiwa umat Islam, yaitu membangun jati diri, kemerdekaan dan unggul di atas komunitas non-Muslim. Karena ketika seseorang berpenampilan sama dengan seseorang, tidak menutup kemungkinan ia mengikuti orang tersebut. Berbeda halnya jika ia tampil beda, pastinya ia tidak mengikuti siapa-siapa. Tidak ikut siapa-siapa mengisyaratkan jika umat Islam harus diikuti, atau minimal tidak mengikuti. Jangan pernah mengekor jika tidak bisa menjadi yang terdepan. Orang yang mengikuti ia akan selalu di belakang, dan takkan pernah berada di depan atau maju. Nabi sangat tidak mau mengekori orang-orang kafir, dan sejarah membuktikan jika pada akhirnya umat Islam bisa unggul dan maju, bahkan mampu mengalahkan Yahudi, Nasrani dan Musyrik. Semua Yahudi terusir dari Jazirah Arab di zaman Nabi, Rum dan Persia jatuh dan tunduk di hadapan kehebatan Islam di masa Umar bin Khattab.
Merdeka Untuk Maju
Menyelisihi orang-orang Musyrik, Yahudi dan Nasrani adalah spirit yang ditanamkan oleh Baginda Nabi agar umat Islam menjadi orang-orang yang bebas, mandiri, dan merdeka dalam segala hal. Bahkan dalam hal-hal yang sederhana, seperti penampilan sehari-hari. Namun, sungguh disayangkan, semangat bebas dan merdeka yang dikoar-koarkan Nabi pada masa itu tidak ditanggapi dengan serius oleh umat Islam hari ini, sehingga akibatnya mereka menjadi bangsa yang terjajah, bukan hanya dalam hal-hal besar, tapi hingga hal-hal kecil.
Lihatlah bangsa Yahudi yang oleh Nabi kita mengatakan, jangan tiru mereka, jangan ikuti gaya mereka, apalagi keyakinan agamanya. Mereka terusir dari Madinah, bahkan dari seluruh semenanjung tanah Arab, menjadi orang-orang yang kalah dan lemah saat itu. Seorang ulama pernah mengatakan, “bangsa pecundang biasanya cenderung mengikuti bangsa yang mempecundanginya”. Tapi pepatah itu tidak termakan oleh bangsa Yahudi. Meskipun saat itu mereka kalah, dan pastinya takkan ada yang mau mengikuti mereka, prinsip yang mereka pegang adalah tidak akan mengikuti siapapun. Mereka sebenarnya memegang prinsip dari ajaran hadis di atas seperti yang sudah kita jelaskan, jika tidak diikuti, jangan mengikuti. Ini adalah prinsip jiwa-jiwa orang merdeka, walaupun secara fisik terjajah.
Lalu apa yang terjadi dengan bangsa Yahudi hari ini. Israel merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan teknologi paling maju di dunia. Hampir 80 % produk berteknologi diekspor ke luar negeri. Israel mencatatkan pertumbuhan industri teknologi sebesar 8 % pada tiap tahunnya, sejumlah perusahaan baru di bidang teknologi terus tumbuh dan bermunculan, di mana kondisi ini membuat ranking penelitian dan penelitian negara Israel di bidang teknologi selalu berada urutan 10 besar dunia. Pada tahun 2019 income perkapita mereka ada pada angka 43.588 Dollar US. Bandingkan dengan Arab Saudi yang hanya 23.139 Dollar US, dan bandingkan dengan Indonesia pada tahun yang sama 4.135 Dollar US.
Masyarakat Yahudi adalah orang-orang yang hidup di perkotaan, jauh dari pedesaan dan lahan pertanian, tetapi pertanian Israel termasuk yang paling maju di dunia, bahkan menjadi salah satu negara pengekspor alat-alat pertanian dan peternakan canggih terbesar secara global. Di bidang vaksinasi Covid-19, Israel berada di peringkat paling atas sebagai negara dengan kuota vaksinasi corona perkapita tertinggi di dunia. Pada tahun 2012 Netanyahu pernah mengatakan jika kaum Muslimin tidak akan mampu menyaingi kemajuan kaum Zionis, setidaknya hingga abad ini berakhir.
Pada hari ini umat Islam mengikuti Yahudi dalam banyak hal, namun tidak pernah mau mengikuti dan meniru bagaimana mereka bisa maju. Umat Islam membaca ayat Allah semisal, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin” (Ali-‘Imran: 28). Atau firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)” (Al-Maidah: 51). Lalu, mereka mengatakan, tidak boleh orang kafir menjadi pemimpin ke atas umat Islam. Namun di sebalik itu, umat Islam tidak sadar kalau dalam kehidupan sesungguhnya mereka bukan hanya dipimpin oleh orang kafir tetapi juga dijajah. Lihat saja, berapa banyak ketergantungan umat Islam dari non-Muslim hari ini. Sebut saja Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, tapi garam masih harus impor. Kita terlalu sempit dan sangat simbolik dalam memaknai kepemimpinan.
Penulis tertarik dengan salah satu ungkapan seorang ulama, Yahudi ini membaca Alquran dan hadis lalu mempelajarinya, meskipun tidak mengimaninya. Adapun umat Islam membaca Alquran dan hadis bahkan mengimaninya, tetapi tidak mau mempelajarinya. Sepertinya mereka mempelajari filosofi hadis-hadis di atas sehingga mereka maju.
Selamat menyelisihi non-Muslim, selamat menjadi orang yang punya jati diri dan merdeka, karena merdeka adalah modal besar untuk maju. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.
* Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee, dan dai ternama di Lhokseumawe.