BANDA ACEH – Sebagian pembangunan di Aceh Timur selama ini dinilai bersifat top down yang mengakibatkan terabaikannya daerah-daerah terpencil. Hal yang dinilai paling luput dari perhatian adalah bidang pendidikan, sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya pasal 14 ayat 1 huruf (f).
Ketua Ikatan Keluarga Peureulak (Ikapa) Banda Aceh, Musafir, mengatakan, jika sebelumnya penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab pusat, maka dengan desentralisasi pendidikan kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan.
“Ini dikuatkan lagi bagi Aceh lewat Lex Spesialis (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh). Artinya kewenangan penuh dan unjung tombak pembangunan berada di tangan Bupati,” kata Musafir, dalam siaran persnya, 27 Agustus 2016.
Kata dia, tidak meratanya pembangunan di Aceh Timur khususnya di bidang pendidikan, salah satunya, disebabkan kurangnya kualitas managemen dan plan-plan pemerintah dalam pembangunan, yang menurutnya memihak kepada siapa dan dari mana asal pemerintah berkuasa tersebut.
“Beberapa tahun belakangan ini dimusim-musim politik kesenjangan terlihat jelas. Bupati lebih memilih menghabiskan anggaran daerah untuk menggelar even-even, pesta pora dengan mengatas namakan rakyat dalih “masyarakat Aceh Timur Butuh Hiburan”, pertanyaannya untuk siapa? “Menyoe tameumat bak meneumat Endatu “apakah itu hiburan kita?” katanya.
Musafir menilai, seharusnya dengan anggaran yang ada dan kekayaan melimpah yang sedang dieksplorasi di Aceh Timur, bisa membawa setempat menjadi daerah yang maju.
“Minimal pendidikannya sudah layak bukan daerah tertinggal dan kami berharap pemerintah Aceh Timur bukan hanya menjadi pemerintah bagi kelompok saja, daerah terpencil juga bagian dari Aceh Timur,” kata Musafir yang juga merupakan Sekjend Gerakan Pemuda Peduli Pendidikan Aceh Timur (GP3AT).[](tyb)