Oleh: Edy Syah Putra*
GeRAK Aceh Barat sangat prihatin dan menyesalkan akibat peristiwa ketiadaan mobil operasional ambulans dan tenaga paramedis (dokter dan perawat atau bidan) yang menangani secara langsung salah satu warga di Puskesmas Meutulang, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, seperti yang dikabarkan oleh media pada Selasa, 23 Mei 2017 dan paparan langsung keluarga korban, Agus, 25 tahun.
Sebagaimana diberitakan bahwa Linda, 20 tahun, warga Desa Baro Paya, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, dengan terpaksa melahirkan bayinya dalam bagasi mobil Innova dikarenakan ketiadaan mobil ambulans di Puskesmas Meutulang.
Linda adalah warga dan juga pasien yang hendak mempergunakan fasilitas publik di unit pelayanan fasilitas kesehatan (Faskes) Meutulang. Namun, akibat ketiadaan mobil operasional (ambulans) yang harus siaga 24 jam di Puskesmas, Linda harus menerima kenyataan bahwa fasilitas publik yang hendak ia pergunakan tidak berada ditempat.
Selain tidak ada ambulans, pengakuan saudara korban, Agus, dokter yang bertugas di Faskes tersebut tidak berada di tempat. Pengakuan Tarmizi, ayah Linda menyebutkan bahwa sesampai di Puskesmas tersebut, ia meminta petugas untuk membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dhien, (RSU CND) Meulaboh. Ternyata, mobil operasional tersebut sedang tidak ada, dan dikatakan oleh petugas medis, bahwa mobil tersebut sedang menjemput pasien lainnya.
Atas dasar jawaban petugas medis tersebut, Tarmizi kemudian bergegas membawa Linda menggunakan mobilnya menuju RSU CND. Jelas di sini ada pembiaran, dan seperti abai, mereka, petugas medis atau mereka pihak Puskesmas yang melihat bahwa ada pasien yang sedang dan sangat membutuhkan pertolongan, tapi tidak dengan segera memberikan pertolongan.
Standar pelayanan ambulans mempunyai landasan hukum yang sangat jelas dan kuat. Ada aturan, seperti Undang-undang penanggulangan bencana No 24/2007; Undang-undang Kesehatan No 36/2009; Undang-undang Rumah Sakit No 49/2009; S.K. Menkes No 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar IGD Rumah Sakit; Kepmenkes No. 0152/YanMed/RSKS/1987, tentang Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik; Kepmenkes No 143/Menkes-kesos/SK/II/2001 tentang Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 Pasal 29 Pelayanan Ambulan merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai dengan upaya atau kegiatan menjaga kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien. Pelayanan Ambulan hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus gawat darurat dari Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan penyelamatan nyawa pasien.
Dari aturan tersebut dijelaskan bahwa ketentuan pelayanan ambulans diberikan sebagai sarana transportasi darat dan air bagi pasien dengan kondisi tertentu antar fasilitas kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu 1) Kondisi pasien sesuai indikasi medis berdasarkan rekomendasi medis dari dokter yang merawat; 2) Kondisi kelas perawatan sesuai hak peserta penuh dan pasien sudah dirawat paling sedikit selama 3 hari di kelas satu tingkat di atas haknya; 3) Pasien rujuk balik rawat inap yang masih memerlukan pelayanan rawat inap di Faskes tujuan.
Begitu juga dengan pelayanan ambulans dalam kondisi pra rumah sakit. Di mana ada proses penanggulangan penderita gawat darurat harus dimulai dari tempat kejadian, tindakan darurat harus dilakukan dari tempat kejadian sebagai langkah awal dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Bantuan Hidup Lanjutan (BHL) oleh tenaga yang terlatih dan professional di Intra Rumah Sakit. Dengan tujuan: untuk Mencegah kematian; Mencegah kecacatan; Merujuk; Tindakan Pertama Gawat Darurat (PPGD/BHD), bukan hanya di RS atau Puskkesmas atau Institusi Pelayanan Kesehatan, sebaiknya di TKP; Memberikan pertolongan awal serta memindahkan penderita gawat darurat dengan aman tanpa memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan/rumah sakit yang memadai (Pedoman pelayanan gawat darurat Depkes RI 1995:9);
Tentunya kejadian ini menambah daftar panjang bobroknya penggunaan dan pelayanan untuk publik. Jelas, kalau kita merujuk atau berbicara dengan aturan, maka standardisasi perlengkapan umum dan medik sebagaimana tertuliskan dalam berbagai aturan. Ada pembiaran dan memunculkan kesan bahwa fasilitas kesehatan dan mereka yang bekerja di dalamnya seperti tidak sedang bekerja untuk memberikan pelayanan pelayanan medis kepada warga yang berobat.
Atas hal tersebut, GeRAK Aceh tentu saja menyayangkan peristiwa tersebut kembali berulang. Menurut penuturan ayah korban, diketahui bahwa mobil ambulans yang katanya sedang menjemput pasien lain, nyatanya sedang berada di tempat pesta atau kondangan di salah satu rumah warga.
Kejadian ini, seperti tidak ada pembelajaran dari peristiwa silam, dan tentu saja ada hak warga yang telah terabaikan, yaitu dari segi pelayanan publik. Dimana substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Pelayanan publik yang ada harus berfungsi untuk mengurangi bahkan menghilangkan ketidakpastian pelayanan yang terjadi kepada warga, baik jumlah staf/aparat pelayanan yang ada sesuai, tidak kurang dan tidak pada level menengah dan level atas agar pelayanan publik dapat tepat sasaran. Pelayanan yang diberikan juga harus mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan.
Harus dipahami oleh aparat birokrasi publik, maka prinsip-prinsip dalam pelayanan publik antara lain seperti Prinsip Aksesibilitass, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan); Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut; Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan; Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya haru dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas. Prinsip Akuntabilitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Atas dasar tersebut, GeRAK Aceh Barat mendesak pihak otoritas/instansi atau Pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang mempunyai kuasa atau wewenang segera menyelediki kasus meninggalnya bayi yang melahirkan di tengah perjalanan dan kemudian tidak ditangani oleh pihak Puskesmas Meutuluang. Kita juga meminta agar persoalan ini dituntaskan segera, khususnya pihak kepolisian untuk mengusut kasus ini, dan teruntuk pihak berwenang (Kadis, dan atau Kapus) tidak memberikan keterangan yang menyesatkan publik dan tidak seusai fakta kejadian.
Harapan yang diinginkan oleh keluarga korban adalah untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada warga yang membutuhkan, baik segi untuk unit pengangkutan (ambulans), dan juga mereka yang bertugas di Puskesmas tersebut.[]
*Koordinator GeRAK Aceh Barat