BerandaNewsOlahragaItalia Merana di Piala Dunia

Italia Merana di Piala Dunia

Populer

Oleh: Yulia Erni*

Belum genap setahun angkat trofi Euro, ironis, Italia dipastikan hanya menjadi penonton dalam gelaran Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Qatar.

Gli Azzurri harus puas menduduki peringkat dua dengan hasil 16 poin atau terpaut dua angka dari Swiss di babak kualifikasi setelah delapan kali pertarungan. Jumat, 25 Maret waktu lokal, lagi dan lagi, secara meyakinkan Makedonia Utara menyingkir skuat Roberto Mancini lewat gol tunggal Aleksander Trajkovski 1-0 pada semifinal play-off path C zona Eropa.

Dengan kata lain, tercatat tiga kali sudah La Nazionale absen sepanjang pergelaran Piala Dunia, yaitu 1958 di Swedia, disusul 60 tahun kemudian dengan hasil draw kontra negara yang sama, dan terakhir 2022 di Stadion Renzo Barbera, Palermo, atau dua musim beruntun gagal play-off di depan penonton berkapasitas 100 persen setelah aturan Covid-19 dicabut (tidak terhitung 1930 di Uruguay karena mimilih tak ikut serta). Rekor buruk beruntun yang juga pernah dialami Portugal yang sekaligus hattrick (1990, 1994, 1998).

Sejatinya, sebagai tim favorit, sejak awal Italia optimis menang. Lagi pula sang pelatih tak memandang sebelah mata medioker Makedonia Utara. Sebab sebelumnya kedua kubu pernah bertemu dua kali yaitu tahun 2016, di mana tim Biru Langit unggul 3-2 era Antonio Conte dan 2017 tahan imbang 1-1 di bawah bidikan Gian Piero Ventura.

Tak dapat ditepis, terbukti sepak bola modern tak laku lagi popularitas nama skuat unggulan non-unggulan. Berapa banyak tim papan atas tersandung oleh pasukan yang disebut kerikil.

Masih ingat, hanya menggunakan kaki kiri gaya akrobat, kiper Rusia dengan sepele membekuk Spanyol di Piala Dunia 2018 lewat tendangan penalti Iago Aspas? Atau kuda hitam Yunani mengubur ambisi Portugal di Piala Eropa 2004. Belum lagi Belanda dilibas Ceko di turnamen yang sama musim 2020 (2021). Untuk poin terakhir pernah juga dilakukan Ekuador yang membuat tim Orange merana gagal raih tiket Piala Dunia Rusia 2018 pertama kali sejak 2002 hingga berujung kapten Arjen Roben undur diri.

Sesial-sialnya Belanda tahun 1982-1986, ternyata Italia pun sama, harus puasa lapangan dua kali berturut. Memang secara statistik juara, Gli Azzurri terpaut jauh unggul yakni berada dua level di bawah Brazil. Bersama Jerman hanya selisih di peringkat dua, namun sama-sama telah merasakan empat kali angkat trofi bergengsi dunia. Der Panzer sukses di puncak kedua, Italia tepat di bawahnya. Sedangkan Belanda harus puas berlabel spesialis runner up.

Mengkaji masa lalu terkadang membuat ruang lingkup memori sempit. Pun bukan agen togel yang selalu terpaku data. Faktanya, mimpi buruk kembali menyapa negeri Serie A. Gagah di Eropa namun loyo di level dunia. Tak bermaksud menguak luka lama. Saat berstatus sebagai juara bertahan tahun 2010, Italia pun pernah ditakluk Slovakia babak fase grup. Di sinilah cikal bakal putus-sambung regenerasi tim nasional negeri Pizza era Marcello Lippi yang masih menurunkan pemain di ambang veteran.

Memang kutukan juara bertahan masih berlaku hingga kini. Itu bukan patokan, hanya sebuah mitos omong kosong tanpa standar ilmiah.

Ke manakah yel-yel ‘It’s Coming Rome’ yang kian dinanti tifosi Gli Azzurri? Siapa yang salah? Mungkinkah mental Donnarumma belum kondusif pascaditeror habis Milanisti dan siulan hujat Les Parisien beberapa hari sebelumnya karena tampil blunder di Liga Champions? Atau inikah harga yang harus dibayar Mancini setelah mendepak lagi striker klub Turki, Adana Demirspor, Mario Balotelli?

Padahal Roberto Mancini memiliki kenangan manis di timnas Italia bersama Super Mario pada perhelatan Euro 2012. Skor 2-1 kemenangan Italia atas Jerman murni hasil borongan striker selebrasi ‘Why Always Me’ itu. Pertama lewat sundulan. Kedua, tendangan tanpa pikir panjang hasil umpan jauh Ricardo Montolivo disempurnakan ke gawang Manuel Neuer setelah berduel bersama Philipp Lahm.

Dampak buruk langsung terasa beberapa jam setelah gagal lolos Piala Dunia 2022. Salah satunya sejumlah followers media sosial tak kecuali akun resmi Twitter Info Timnas Italia sendiri menyerang negara empat kali angkat trofi piala dunia tersebut habis-habisan dengan tuduhan tampil buruk sepanjang laga berjalan. Donnarumma masih sasaran utama kutukan Milanisti.

Apa hubungannya? Kebobolan satu poin bukan dosa. Perancis juara bertahan di era Zidane pun pernah dipermalukan tim debutan Senegal 1-0. Keluar masuk pemain wajar-wajar saja dan caranya pun tak harus sama. Menguji nyali mengitari semua klub juga hal biasa. Lagi pula tak ada undang-undang loyalitas di dunia olahraga, yang dituntut hanya sportivitas. Ibrahimovic saat ini edisi kedua bersama Milan setelah teruji semua laga. Tapi mengapa sasaran publik tetap saja Gianluigi Donnarumma? Tampilan kiper 2 meter minus 4 senti tersebut masih di atas rata-rata meski belum mencatatkan rekor terbaik selain bersama AC Milan serta timnas Italia. Bicara hal ini sebenarnya sangat sensitif sebab dibayang-bayang wajah agen Mino Raiola di balik kepergian Gigio dari San Siro. Salah-salah dihujat lagi. Padahal penulis sendiri pun Milanisti abadi.

Meski baru menempati pemuncak Euro, secara mental bisa dibaca, Italia belum begitu kokoh di lapangan. Ada semacam lambat komunikasi. Hal ini diwakilkan dalam beberapa tampilan. Fakta lain yang tak bisa dipungkiri, hingga kini juara bertahan euro itu krisis striker yang betul-betul apik.

Jika melihat pengalaman hasil kedua laga 2016-2017, sangat mungkin, sang rival memiliki potensi tinggi membekuk anak asuh Roberto Mancini. Terbukti, formasi 4-5-1 Makedonia Utara sukses meredam Italia di ujung jalan yang masih setia mengandal tusukan bek.

Ini bukan obrolan konyol. Di saat Italia tumbang 0-1 dari Makedonia Utara, Timnas Indonesia justru pernah mengalahkan anggota UEFA itu pada Oktober 2020. Melihat rantai pertandingan ini, salahkah jika penulis mengatakan, sebelum bertarung, mestinya Italia belajar dulu sama Indonesia.

Atau jika ingin berandai-andai kembali, mengapa sesekali tidak menarik sedikit saja misal formasi pohon natal (4-3-2-1) identik Carlo Ancelotti? Akan lebih mantap gaya 3-5-2 pelatih anyar Antonio Conte.

Formasi andalan 4-3-3 sejatinya lebih banyak mudarat dibanding manfaat bagi timnas Italia yang kini dituntut agresif. Jika taktik defensif rezim Trappatoni dan Lippi terbilang sukses mungkin tak lebih karena Del Piero-Vieri-Totti-Inzaghi bersama Maldini-Cannavaro-Nesta-Zambrotta, sebuah perpaduan cukup sempurna. Begitu juga rezim sebelumnya.

Membandinkan daftar nama pemain hari ini melawan Makedonia Utara sungguh berbalik 360 derajat. Menggeser seorang Balotelli tak lain selain keputusan fatal belaka. Mengingat pemain lawan yang ‘maaf’ tak nekat-nekat betul di lapangan, paling tidak akan sedikit terbawa aura hati-hati menyikut semisal pria berdarah Ghana tersebut yang melempar senyum saja terkesan sangar.

Menghadirkan Joao Pedro dan Luiz Felipe sebagai pendatang baru menyimpulkan makna bahwa gaya kepelatihan Roberto Mancini bukannya kreatif justru kian sembraut. Alhasil, gembar-gembor slogan kemenangan harga mati kini menjadi kemenangan telah mati.

Mungkin program kursus Il Supercorso 900 jam 2 tahun di Coverciano, patutnya dipelajari ulang, yang mana akar ide Luigi Ridolfi bersama Renzo Uliveri dituntut mutlak menciptakan ide-ide segar bagaimana menghadapi hari ini dan esok, bukan membicarakan keberhasilan masa lalu.

“Jika belajar dari cara pelatih terdahulu maka anak asuhnya akan tertinggal 50 tahun ke belakang. Para pelatih harus menyiapkan diri menghadapi sesuatu yang akan terjadi pada sepak bola 10 tahun ke depan, bukan mengulang strategi yang dianggap telah usang.” (Football Times).

Perlu dicatat, semua bukan semata-mata menghilangkan apa yang sudah ada sebelumnya, melainkan lebih kepada memperbarui prinsip-prinsip utama sepak bola mendatang yang sudah sangat tua dan akan selalu berubah gaya. Satu lagi, kata-kata “Sepak bola di masa saya” haram hukumnya di Coverciano. Ya, Coverciano. Sekolah ilmu kepelatihan satu-satunya di dunia yang mewajibkan tesis itu.

Kata kuncinya adalah ide-ide segar. Gonta ganti pemain (juga pelatih) bukanlah ide segar. Sebab setiap pendatang butuh penyesuaian dalam waktu tak sebentar. Sementara pelatih Eropa Selatan tersebut kemarin mendatangkan duo Brazil terburu-buru. Hasilnya tak ubah saat kita mencoba sedikit menoleh ke samping. Di sana petaka ini telah terjawab lewat superstar Leonel Messi, Sergio Ramos, bahkan lagi-lagi Gianluigi Donnarumma. Ketiga pendatang baru itu saban laga mandul di markas Paris Saint-Germain. Bahkan eks-boomber Barcelona dan penjaga gawang bebas transfer AC Milan yang dulu disanjung puja, kini keduanya jadi bulan-bulanan fans klub kota Paris.

Ada-ada saja pertanyaan mengambinghitamkan yang lain tentang kebenaran kegagalan Italia kali ini oleh kehadiran pemain Milan. Benar. Jebolan klub berjuluk Rossonerri pernah beberapa kali menghantui kegagalan tim nasional Italia. Ada trauma tersendiri bila membuka memori karier legenda sekaliber Donadoni, Massaro, Baresi, bahkan Albertini. Namun berlebihan menyebut mereka dalang kegagalan tim nasional di beberapa Piala Dunia. Karena yang disorot hanya pemilik reputasi, sisanya masih banyak yang lain, mungkin, bukan sudut kisah yang asik untuk diperbincangkan.

Itulah sepak bola, sulit ditebak. Siapa saja bisa mendominasi. Pernyataan ini pernah diwakilkan Alex Ferguson lewat bukunya “Sepak bola benar-benar gila.”
Layaknya kemenangan, kekalahan pun selalu punya cerita. Begitu pun Italia, negeri seribu satu kultur sepak bola, tentu saja terlalu istimewa untuk tidak dibicarakan.[]

* Yulia Erni adalah Pengurus PBSI Pidie periode 2019-2024, memiliki hobi menonton sepak bola, main bulu tangkis, membaca, dan menulis. Alamat: Jalan Banda Aceh-Medan KM 121, Lampoih Saka, Pidie, Aceh.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya