Minggu, September 8, 2024

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...

Pemkab Agara: Masyarakat Bisa...

KUTACANE - Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara menyatakan masyarakat bisa menonton pertandingan cabang olahraga...

Ulama Aceh Tu Sop...

JAKARTA – Inna lillahi wa innailaihi rajiun. Aceh berduka. Ulama kharismatik Aceh, Tgk....

Fraksi Megegoh Terbentuk Pada...

SUBULUSSALAM - Partai Aceh, Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Subulussalam hari ini...
BerandaMengintip Integrasi Ilmu...

Mengintip Integrasi Ilmu di Kota Santri Samalanga (I)

SAMALANGA yang dibelah oleh aliran sungai Batee Iliek, semenjak zaman dulu telah terkenal sebagai daerah yang mempunyai pernanan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dari kaum penjajah. Namun bukan hanya itu, negeri Samalanga dari masa ke masa juga telah melahirkan dan merupakan basis utama dalam melahirkan kader ulama dengan mercusuarnya dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Sangat wajar Samalanga di gelari “kota santri”, dengan asumsi sangat banyak dayah didaerah tersebut yang telah berdiri dan melahirkan kader  ulama dan cendikiawan muslim.

Dalam lembaran sejarah menyebutkan bahwa Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga yang dipimpin oleh ulama kharismatik dari masa ke masa dan telah melahirkan banyak kader, perubahan dan kemajuan dayah tersebut di bawah yayasan Al-Aziziyah dari tahun ke tahun semakin berkembang terlebih di bawah kepemimpinan Al-Mukarram Al-Mursyid Abu Mudi sebagai sosok reformis dan revolusioner.

Beliau telah mampu membuka cakrawaladan ruhul tarbiyatul Islam, sebelumnya adanya pemisahan pendidikan umum dan agama atau lebih dikenal dengan dikotomi ilmu sebagai senjata pamungkas kaum penjajah dahulu dalam menyebarkan visi dan misinya serta tujuannya. Namun al-Mukarram walaupun bukan seorang lulusan perguruan tinggi apalagi menyandang titel doctor ataupun professor telah mampu melakukan reformasi dunia pendidikan khususnya dayah dengan mendirikan perguruan tinggi di lingkungan dayah dengan satu asumsi untuk mengibarkan kembali ruh pendidikan Islam dengan integrasi ilmu yang telah di tinggalkan dan dianggap sebagai “musuh” oleh sebagian masyarakat.

Kini lembaga pendidikan tersebut di bawah kepemimpin Teungku Muntasir A. Kadir yang juga menantu Al-Mukarram Abu MUDI, Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah yang berlokasi di gampong Mideun Jok Samalanga, Bireuen perlahan terus berkembang pesat. Bermacam ragam terobosan telah dilakukan dan saban tahun mahasiswanya terus membludak. Bahkan, hingga kini telah membuka 3 Fakultas dengan beberapa program studi.

Kampus IAI Al-Aziziyah mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri, ini karena ciri khas dan aura kedayahan kampus ini sangat terasa. Ditambah lagi, mayoritas dari mahasiswa IAI Al-Aziziyah adalah para dewan guru dan santri yang sudah menyelesaikan pendidikan Tingkat Aliyah di Dayah MUDI Mesjid Raya dan dayah lainnya di Aceh. Latar belakang pendidikan mereka tersebut menjadikan mereka mengusai Bahasa Arab dan materi ilmu pengetahuan agama seperti fikih, usul fikih, tauhid  dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Keadaan ini sangat mendukung proses belajar lanjutan di lokal perkuliahan.

Al-Mukarram Abu MUDI munculnya gagasan awal mendirikan IAI Al-Aziziyah ini, untuk menjawab perkembangan dan kemajuan zaman yang sedemikian pesat tanpa dapat dihambat telah menimbulkan tantangan berat bagi umat Islam se-dunia termasuk Aceh yang bergelar Serambi Mekkah. Jika tidak pandai menyikapi, maka umat Islam akan tergilas dan menjadi korban kemajuan. Padahal dalam kesehariannya umat Islam harus tetap mampu selaras dengan syari’ah yang diturunkan Allah sebagai titian jalan kehidupannya, begitu juga alih status dari STAI Al-Aziziyah ke IAI Al-Aziziyah juga menjadi kebutuhan untuk membuka ruang penyelenggaraan pendidikan secara luas dan mampu bersaing dengan kampus lain baik Aceh atau nasional pada umumnya.

Melihat fenomena dalam masyarakat khususnya di Aceh, secara realitas ummat Islam harus berhadapan dengan westernisasi, sekularisasi dan kemorosotan akhlak serta pendangkalan akidah yang sedikit demi sedikit menghancurkan jati diri dan ke-khasan ciri Islam yang sebenarnya dan menjauhkan umat dengan nilai kebaikan dan perbaikan yang di pada akahirnya ulama semakin dijauhkan tanpa kita sadari.

Begitu juga berbagai forum kajian keagamaan menjadi kurang diminati, generasi penerus lebih suka kepada eforia dan kegiatan serta prilaku jauh dari nilai-nilai Islami dan akhlakul karimah. Sebuah fenomena yang sangat krusial dan sungguh memprihatinkan masyarakat Islam. Tentu saja harus hadir dan dijawab dengan sebuah “revolusi” dan reformasi pendidikan Islam yang mampu memberikan mengakses pengetahuan yang berbasis moral dan Agama dalam bingkai integrasi ilmu.[]

Baca juga: