BANDA ACEH – Kuasa Hukum Muzakir Manaf-TA Khalid, Prof Yusril Ihza Mahendra, memiliki perbedaan tafsir tajam dengan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penerapan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pemerintah Aceh atau UUPA. Terlebih mengenai perkara Pilkada Aceh.
“Aceh sebagai daerah khusus diatur oleh undang-undang khusus, No 11/2006. Aturan dalam UU khusus Aceh, UU No 11/2006, Aceh tidak mengenal ambang batas selisih perolehan suara dalam menangani perkara Pilkada,” kata Yusril, Kamis, 6 April 2017.
Namun, MK memiliki perbedaan tafsir menyikapi hal ini. Menurut Yusril, lembaga tersebut lebih mengacu kepada UU yang berlaku nasional.
Yusril mengaku sempat berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Hamid Awaluddin prihal ini. Antara dirinya dengan Hamid Awaludin memiliki kesamaan pandangan, bahwa Aceh diatur dengan undang-undang khusus.
“Kalau saya hakim MK, maka saya gunakan UUPA,” kata Yusril.
Seperti diketahui, MK menolak permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) yang diajukan Paslon Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf-TA Khalid.
Dalam keputusannya, MK menilai gugatan yang dilayangkan tidak memenuhi ambang batas seperti diatur dalam UU tentang Pilkada yang berlaku nasional. MK juga menolak menyelesaikan sengketa Pilkada Aceh dengan UUPA.
MK menyatakan, Pilkada itu bukan kekhususan Aceh, bukan persoalan lex specialis atau lex generalis.
“Sungguh pun beberapa tahapan Pilkada di Aceh sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006, tapi itu bukan menjadi hal yang khusus di Aceh. Karena hal yang khusus di Aceh diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999,” ujar Nazaruddin Ibrahim, penasihat hukum termohon (KIP Aceh Utara) mengutip keterangan Hakim MK dalam persidangan, dihubungi portalsatu.com, usai sidang pembacaan putusan MK di Jakarta, Selasa, 4 April 2017.
Menurut MK, kata Nazaruddin, Pilkada di Aceh bukan merupakan lex specialis, sebab satu rumpun dari UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Oleh karenanya, MK berpendapat bahwa Pasal 158 UU tentang Pilkada itu berlaku di Aceh, yaitu tentang syarat ambang batas pengajuan sengketa hasil pemilihan. (Baca juga: “Setelah Putusan Sengketa Pilkada Aceh, Kedudukan UUPA Semakin Terjepit”)
Sebab, kata dia, dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tidak diatur secara tegas. Kecuali ada diatur secara tegas, barulah berlaku UU tersebut. Misalnya, tentang pengajuan syarat pencalonan 15 persen diatur dalam UU Nomor 11/2006 dan syarat 20 persen pada UU Pilkada.
“Mengenai sengketa hasil, karena tidak diatur, makanya yang berlaku adalah UU Nomor 10 tahun 2016,” kata Nazaruddin mengutip pendapat MK.[]