Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaBerita Banda AcehZulfikar Muhammad Paparkan...

Zulfikar Muhammad Paparkan Alasan Revisi UUPA, dan Nilai Tawar Aceh kepada Jakarta

BANDA ACEH – Anggota Tim Advokasi UUPA, Zulfikar Muhammad, mengatakan secara normatif ada tiga alasan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) perlu direvisi.

Zulfikar menyebut alasan pertama agenda perubahan UUPA sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2023. Berdasarkan pasal 8 UUPA, Aceh dimandatkan untuk menyiapkan draf. “Karena UUPA itu harus dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Jadi, kita menyiapkan draf,” kata Zulfikar menjawab portalsatu.com melalui WhatsApp, Selasa, 7 Maret 2023.

Alasan kedua, dalam beberapa gugatan di Mahkamah Konstitusi, ada pasal-pasal di UUPA sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian. Misalnya terkait kedudukan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) yang seharusnya menjadi kewenangan Aceh berdasarkan UUPA. “Baik proses rekrutmen ataupun penentuan Panwaslih Aceh untuk Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),” ujar Zulfikar.

Ketiga, menurut Zulfikar, alasan normatifnya seharusnya Pilkada Aceh lima tahun sekali berdasarkan UUPA. Namun, karena ada Pemilu serentak dan Pilkada serentak, sehingga kemudian konstruksi hukumnya berubah. UUPA terkesan tidak dianggap ada atau diabaikan oleh Pemerintah pusat.

“Jadi, inilah yang kemudian dibutuhkan penguatan-penguatan terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” tegas mantan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh itu.

Zulfikar menuturkan pertimbangan lainnya bagaimana UUPA itu akan menjadi modal utama bagi Aceh untuk bisa bangkit dan memperbaiki diri, baik dari segi ekonomi, sosial budaya, dan penegakan hukum.

“Ada ‘PR-PR (pekerjaan rumah)’ kita, misalkan bahwa Aceh sebagai daerah miskin tidak bisa ditangani dengan payung hukum UUPA. Kenapa, karena UUPA sendiri banyak berbenturan dengan undang-undang lainnya yang secara kewenangan saja tidak diberi kewenangan penuh (untuk Aceh),” ungkap Zulfikar.

Itulah sebabnya, kata Zulfikar, rakyat Aceh menginginkan UUPA menjadi “Undang-Undang Dasar” bagi Tanah Rencong ini. “Jadi, semua rujukan, apapun yang berlaku di Aceh harus merujuk pada UUPA. Tidak boleh lagi ada undang-undang lain yang kemudian standing dengan UUPA,” tegas Zulfikar.

Zulfikar menjelaskan hal-hal yang direvisi dalam UUPA secara kuat ada tiga. Pertama, tata kelola pemerintahan di Aceh. Kedua, tata kelola sumber daya alam (SDA) Aceh. Ketiga, tata kelola layanan publik di Aceh.

“Terkait tata kelola pemerintahan di Aceh, kita sedang memperkuat kedudukan Mukim,” ucap Zulfikar.

Zulfikar memaparkan di dalam draf revisi UUPA, pasal 2, kedudukan Mukim akan menggantikan Camat. “UUPA perubahan ini nantinya keberadaan Camat akan dihapus, karena nanti akan digantikan Mukim sebagai kepala pemerintahan di tingkat kecamatan. Sekretariatnya adalah (diisi) pegawai negeri atau ASN (Aparatur Sipil Negara),” ujarnya.

Menurut dia, Tim Advokasi UUPA merumuskan tata kelola pemerintahan yang lebih kuat. Mulai dari Gubernur, Bupati/Wali Kota, Mukim, Kepala Desa akan dipilih oleh masyarakat. Sedangkan posisi ASN akan tetap memegang fungsi administrasi. “Supaya upaya-upaya melayani masyarakat dalam konteks pelayanan publik maupun menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu bisa maksimal,” tutur Zulfikar.

Zulfikar menyebut beberapa tempat seperti di Gayo Lues, Mukim itu walaupun masih diragukan mampu menjadi pengganti Camat, paling tidak memiliki hak kelola atas kekayaan alam yang ada di sana.

“Gayo Lues, dia pengen hutan yang mereka miliki seperti Leuser itu dapat memberi manfaat bagi mereka. Jadi, (masyarakat) Gayo Lues tugasnya tidak hanya jaga-jaga hutan, tapi manfaatnya tidak kepada mereka. Maka kondisi ini dapat dijawab dengan hukum-hukum adat atau pemberlakuan kepala pemerintahan adat yang ada di tempat masing-masing. Jadi, fungsi Camat ditambahkan ke Mukim, sehingga kepala pemerintahannya, Kepala Pemerintahan Mukim,” tuturnya.

Zulfikar menyatakan nilai tawar Aceh kepada Jakarta (Pemerintah pusat) terkait revisi UUPA ada dua. Pertama, dukungan multipihak dan masyarakat terkait dengan perubahan UUPA. Masyarakat sangat menginginkan suasana Aceh yang cukup bagus bagi pembangunan kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran yang lebih baik.

“Dukungan masyarakat Aceh terkait dengan revisi UUPA ini cukup kuat, dan DPR RI tak bisa semena-mena menyusun Undang-Undang Pemerintahan Aceh tanpa berkonsultasi dengan DPR Aceh,” tegasnya.

Nilai tawar kedua, kata Zulfikar, kalau Jakarta ingin melihat Aceh sejahtera, makmur, menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran, tidak menjadi spot pendukung terhadap peredaran narkoba, lapangan kerja dapat dibuka dengan baik, maka Pemerintah pusat harus dengan legowo memberi kesempatan Aceh menata payung hukumnya sendiri.

“Atau aturan induknya dalam hal ini adalah UUPA. Jadi, kalau mau lihat Aceh baik, damainya berkelanjutan, situasi daerahnya aman, masyarakatnya terayomi dan terlindungi dengan baik, maka UUPA harus diberi seperti keinginan Aceh,” ujar Zulfikar.

Zulfikar menambahkan tim DPR Aceh saat ini turun ke 23 kabupaten/kota untuk mengambil aspirasi masyarakat terkait draf revisi UUPA. Dia berharap Pemerintah pusat nantinya mengakomodir keinginan masyarakat Aceh melalui DPRA.[](Adam Zainal)

Baca juga: