Hal itu dilakukan karena pasukan Sekutu/NICA sudah mengasai Pulau Weh/Sabang sejak 25 Agustus 1945, setelah melakukan pelucutan 10.000 tentara Jepang, serta mengambil alih kekuasaan Jepang di sana, setelah kekalahan Jepang dari Sekutu.
Pasukan Sekutu/NICA berakali-kali melakukan serangan ke daratan Aceh, baik melalui kapal perang maupun dengan pesawat tempur. Tapi gempuran roket pasukan Sekutu/Belanda dibalas dengan tembakan meriam Penangkis Serangan Laut (PSL) dan meriam Penanglis Seragngan Udara (PSU).
Sejarawan Aceh Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken mengungkapkan, dalam seminggu dua pesawat tempur Belanda berhasil di tembak jatuh di sebelah utara Kota Banda Aceh, kapal-kapal Belanda di perairan Aceh juga tidak berani mendekati garis pantai, menghindari serangan meriam-meriam Aceh.
Pada hari yang sama, masyarakat di sekitar Kota Lhokseumawe berduyun-duyun memasuki Kota Lhokseumawe, mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Menjelang sore semua mereka bergerak menuju tangsi militer Jepang dan mengepungnya dari berbagai sisi.
Beberapa perwakilan mereka masuk ke tangsi militer Jepang melakukan perundingan dengan para komandan tentara Jepang mengenai pelucutan senjata. Perundingan berlangsung hingga malam hari, hingga akhirnya Jepang menyetujui menyerahan 300 pucuk senjata dan amunisinya, setelah itu pengepungan tangsi militer Jepang diakhiri, masyarakat kembali ke tempatnya masing-masing.[**]