Oleh: Nab Bahany As*
Kalau kebetulan suatu ketika Anda diminta untuk menjadi Penjabat Keuchik memimpin sebuah Gampong—kerena Keuchik Gampong itu mendadak meninggal akibat serangan jantung, atau Keuchik itu mendadak harus menjalani proses hukum karena pelanyalahgunaan dana desa—apakah jabatan itu akan segera Anda terima? Atau ada pertimbangan lain, sehingga Anda akan menolaknya. Salah satu pertimbangannya mungkin kerena menjadi Keuchik walau pun sebagai Pelaksana Tugas (Plt) untuk sementara adalah menjadi pemimpin. Dan setiap pemimpin tentu akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan di hari kemudian.
Besar-kecilnya pertanggungjawaban itu memang akan sangat tergantung pada jabatan kepemimpinan yang dipimpinnya. Seorang Presiden harus mempertanggung jawabkan jabatan kepresidenannya dalam memimpin sebuah negara. Seorang Gubernur, Bupati/Walikota, Rektor, Kepala Dinas, termasuk Camat, sampai Kepala Sekolah, hingga Kepala Mukim dan Keuchik sebagai pemimpin terendah dalam struktur pemerintahan, juga harus mempertanggung jawabkan jabatannya sebagai seorang pemimpin.
Itu sebabnya, ketika di sebuah Gampong akan berlangsung pemilihan Keuchik, seorang warga tak penuh akal (setengah idiot) alias bangai, yang selalu suka diganggu oleh anak muda kampung karena keluguannya yang rada-rada lucu, dikabarkan ia akan dicalonkan menjadi Geuchik. Lalu dengan bahasanya yang lugu dan tilo-tilo alang ia bicara, orang tak penuh akal ini mengatakan: “dipeugah le teungku, ureung jeut keukeucik ureung carong, long ureung bangai, panena jeut boh keukeucik,” kata orang yang tak penuh akal itu.
Namun beberapa anak muda terus mengganggunya dengan mengatakan: “pokoknya kami di kampung ini sudah sepakat memilih droeneuh keukeuchik,” timpal seorang pemuda kampung yang sedang ngumpul di balai Meunasah siang itu. “Meunyoe kapileh lon keu Keuchik, kumusom han kuteubit-teubit di romoh, pu kaneuk pileh,” sahut orang bangai ini.
Benar, sejak itu orang setengah idiot ini tak pernah lagi ke luar rumah, karena takut dipilih jadi Kuechik. Warga kampung pun bertanya-tanya, kemana Apa Tahe (nama panggilan akrap warga kampung untuk orang yang tak penuh akal itu) tidak lagi kelihatan dalam seminggu ini. Kadang mereka (warga kampung) terutama anak muda rindu juga untuk mengganggu orang setengah idiot ini sebagai hiburannya, terutama saat mendengar bicaranya yang tilo-tilo alang. Cari punya cari, ternyata benar Apa Tahe ini sudah berhari-hari menyembunyikan diri di rumahnya, kadang ia juga naik ke pohon sukun di belakang rumahnya untuk menyembunyikan diri, agar tidak terlihat oleh terlihat oleh warga kampung karena ia takutnya akan dipilih jadi Keuchik.
Begitu cara orang tak penuh akal dalam menghindari dirinya untuk tidak dipilih jadi pemimpin. Kita tidak tahu, apa yang terfikir di benaknya Apa Tahe bila ia dipilih jadi Keuchik sebagai pemimpin gampong. Apakah cara berfikirnya sama seperti kita yang berakal penuh, yang berilmu tinggi, yang sehat rohani jasmani, yang memahami bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak. Karena, menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dijunjung tinggi. Bila amanah ini tidak sanggup diembankan, yang membuat dirinya tidak amanah dalam memimpin, maka tidak sedikit akan membuat orang yang dipimpinnya akan kecewa karena kepemimpinannya yang tidak amanah.
Akan tetapi, ketakutan yang ada dibenak Apa Tahe takut dipilih jadi Keuchik pemimpin Gampong bukan soal ia tidak mampu menjalankan amanah, atau bukan karena ia tidak mampu mempertanggungjawabkan jabatan kepemimpinannya di hadapan Tuhan kelak—karena ia tidak tahu bagi seorang pemimpin adanya pertanggungjawaban itu. Tapi yang membuat Apa Tahe takut dipilih jadi Keuchik memimpin Gampong, karena ia berfikir kalau jadi Keuchik pasti akan disuruh pidato di hadapan warga dalam setiap rapat di Meunasah, seperti yang sering dilihatnya, setiap ada rapat pak Keuchik selalu berpidato lebih dulu saat membuka rapat di Meunasah.
Begitulah jalan pikiran orang tak penuh akal yang tidak mau jadi pemimpin. Ketimbang orang pintar yang berilmu pengetahuan tinggi, yang berebut jabatan untuk jadi pemimpin. Kadang tak segan-segan mengorbankan satu sama lain hanya untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan itu. Soal mampu tidaknya untuk memimpin, itu urusan belakangan.
Kalau sebuah Gampong yang sebelumnya sangat tertip dan maju karena kemampuan Keuchik dalam memimpin Gampong tersebut. Begitu terjadi pergantian kepemimpinan Keuchik baru, Gampong itu terus mengalami kemunduran. Warga Gampong terpecah belah kerana ketidakmampuan seorang Keuchik dalam memimpinnya. Demikian seterusnya, sebuah negara atau daerah yang sebelumnya begitu nyaman dan makmur, karena pemimpinnya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kaamanahan dari rakyat yang telah memilihnya, yang telah mempercayainya sebagai pemimpin. Begitu amanah kepemimpinan diabaikan para pemimpin, maka yang akan muncul adalah keserakahan, ketamakan, ketidakadilan, yang membuat makyat sengsara dan menderita.
Maka, kisah Apa Tahe yang takut dipilih jadi Keuchik di sebuah Gampong adalah wajar, karena ia tidak penuh akal dalam berfikir betapa besarnya tanggung jawab seorang pemimpin. Yang terpikir di benak Apa Tahe tanggung jawab pemimpin hanya sebatas harus bisa berpidato dalam memimpin rapat di Meunasah. Selebihnya, ia tidak tahu-menahu bagimana seorang pemimpin—menurut tingkat kepemimpinannya—dapat merubah sebuah kondisi buruk menjadi lebih baik.
Dan itu tidak dapat dilakukan oleh sembarang pemimpin, terutama pemimpin yang memaksa dirinya menjadi pemimpin. Kecuali para pemimpin yang amanah, yaitu pemimpin yang selalu mengingatkan jabatan kepemimpinannya adalah musibah dari Allah dalam menguji keteguhannya, apakah ia mampu menjadi pemimpin yang amanah, sebagaimana yang diucapkan dalam sumpahnya saat ia diangkat jadi pemimpin.
Itu sebabnya, dalam penobatan Sultan Iskandar Muda, 10 Februari 1607, sebagai Sultan yang akan memimpin kerajaan Aceh Darussalam dulu, Syekhul Islam (Qadhi Malikul Adil) yang memberikan sumpah kepada Sultan Iskandar Muda mengatakan: “Rakyat menyembah raja dalam zahir, tapi raja juga harus menyembah rakyat dalam batin. Sebab adanya raja karena adanya rakyat. Sebesar-besar dosa bagi raja bila memerintah tidak adil dan tidak amanah. Maka raja-lah yang menanggung jawab di hadapan Tuhan kita pada hari kiamat kelak. Karena itu, pimpinlah rakyat dengan sempurna dan adil seadil-adilnya, supaya tidak menyimpang ke garis yang salah. Pergunakan segala hukum dan ilmu yang telah diatur dalam kitabullah, dan ikuti segala petunjuk Rasulullah beserta sahabat-sahabatnya, dan juga keempat Imamnya. Tujukilah sekalian rakyat yang gelap dan bebal kepada jalan yang terang dan cerdas”, kata Syekhul Islam saat menobatkan Sultan Iskandar Muda menjadi permimpin kerajaan Aceh.
Usai pengambilan sumpah oleh Qadhi Malikul Adil kerjaan, Sultan Iskandar Muda pun menyampaikan ikrat mahkota (pidato) pertama di hadapan hadirin dalam penobatannya sebagai Sultan yang akan memimpin kerajaan Aceh. Isi ikrar mahkota pertama yang diucapkan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dalam pidato mahkotanya antara lain mengatakan:
“Ya Tuhan-ku, hari ini hamba-Mu sekalian telah menabalkan akan daku menjadi Badal Kalifah-Mu (pemimpin) untuk menjalankan titah dan suruhan Rasul-Mu Nabi Muhammad SAW. Berat terasa oleh-ku beban ini dipikul ke atas pundak-ku. Oleh sebab itu, aku bermohon kepada-Mu ya Allah, karuniakanlah kemurahan-Mu kepadaku dengan jalan memberikan daku badan yang sehat, pikiran yang segar dan nyaman. Agar diriku dapat memimpin rakyatku dengan sempurna”.
“Wahai sekalian rakyatku”, Iskandar Muda melanjutkan ikrar mahkotanya, “aku telah bersumpah pada Tuhan-ku akan mengikuti segala titah suruhan itu kepadamu. Seperti yang engkau lihat sekalian, di kananku berdiri seoranng yang memegang Quran Kitabullah, itulah yang memelihara segala hukum Tuhan kita. Dan diriku seorang yang memegang pedang, itulah yang memelihara segala adat dan negeri kita. Beunar ta ikot, karot ta teugah. Aku akan melindungi engkau sekalian wahai rakyatku dari pada kezaliman orang-orang besar dan hulubalang-hulubalangku bila bertindak jahil kepadamu. Oleh karena itu, wahai sekalian para ulama, Wazir Pardana, orang-orang besar dan para hulubalangku, pimpinlah rakyatku akan jalan kebajikan, perintahkan mereka dengan sempurna dan adil seadil-adilnya”, tegas Sultan Iskandar Muda saat menutup pidato ikrar mahkota pada hari pelantikannya menjadi pemimpin kerajaan Aceh Darussalam.
Lalu apa yang dapat dipetik diantara dua kisah Apa Tahe dan penobatan Sultan Iskandar Muda jadi pemimpin kerajaan Aceh dalam tulisan ini. Ternyata menjadi pemimpin tidak sesederhana yang ditakutkan oleh Apa Tahe yang tidak tahu bahwa setiap pemimpin ada pertanggung jawabannya. Bukan hanya di hadapan Tuhan di akhirat kelak, di dunia ini kepemimpinan itu harus dipertanggug jawabkan di hadapan rakyat yang dipimpinnya. Bila pemimpin, di dunia saja enggan atau mangkir mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan rakyat yang dipimpinnya. Bagaimana kelak ketika harus mempertanggung jawabkan jabatan kepemimpinannya dalam “sidang paripurna” Tuhan-nya kelak, yang tidak ada alasan untuk tidak hadir dalam pertanggung jawaban itu. Wallahu’aklam.[]
*Budayawan, tinggal di Banda Aceh.
E-Mail: nabbahanyas@yahoo.co.id