Banyak orang tak begitu percaya dengan politikus. Pelaku politik ini mengalami krisis kepercayaan. Penyebabnya karena sebagian masyarakat telah menjadi korban kebohongan politik. Lantas, bagaimana bisa diketahui kapan politikus berbohong?
Ada lelucon yang cukup menarik menyebutkan bahwa kebohongan politikus bisa diketahui saat mereka selalu menggerakan bibirnya (artinya politisi tidak pernah berhenti berbohong dan selalu berbohong). Berkaitan dengan ini, uraian dalam jepridinpascaumblog.wordpress.com cukup menarik disimak.
Katanya, lelucon tersebut memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa setiap politisi menyampaikan pendapat atau gagasan, pasti memiliki unsur kepentingan kekuasaan di dalamnya.
Para politisi sering menggunakan bahasa untuk mendapatkan simpati dari rakyat dalam meraih kekusaan. Atas dasar itu, para politisi tidak akan menggunakan bahasa biasa yang sering digunakan oleh orang lain, terutama yang banyak terdapat di media masa.
Hal ini dikarenakan penggunaan bahasa yang umum dipakai oleh orang lain atau politisi lain di media masa membuat unsur kepentingan politik akan semakin terlihat sehingga diperlukan bahasa yang belum pernah digunakan oleh politisi yang lain.
Salah satuh contohnya dapat dilihat ketika Megawati, Jusuf Kalla, dan Amien Rais mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia. Ketiga kandidat tersebut dalam iklan kampanyenya menggunakan bahasa argumentasi dari orang lain untuk menilai kebaikan dari kandidat tersebut. Berbeda halnya dengan kandidat SBY yang tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi mencoba mengubah salah satu jingle produk mi instan ke dalam bahasa politik.
Kemudian politisi juga tidak akan menggunakan kata – kata yang terlalu panjang karena akan membosankan dan dikhawatirkan munculnya ketidakpahaman terhadap maksud dari politisi tersebut. Sebaliknya, politisi akan menggunakan bahasa yang singkat, mencapai sasaran yang diinginkan. Misalnya para politisi ketika menggabungkan kedua nama pasangan kandidat mereka atau ketika menamakan program yang akan mereka lakukan.
Penggunaan bahasa di kalangan politisi juga selalu menggunakan bahasa yang aktif yang di dalam bahasa tersebut akan ditunjukkan kontribusi yang telah ia lakukan terhadap rakyatnya sehingga rakyat pun tertarik dari bahasa yang ia lontarkan.
Politisi menyadari bahwa bahasa yang ia gunakan dalam mencapai kekuasaan akan didengar oleh semua golongan masyarakat, baik yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi hingga yang tidak mengenal pendidikan. Akibatnya, politisi akan menghindari bahasa – bahasa asing atau ilmiah yang sangat sulit dimengerti. Politisi akan menggunakan bahasa yang sangat akrab dipakai di kalangan masyarakat. Misalnya para kandidat calon bupati yang menggunakan bahasa daerah setempat yang mengandung makna politik.
Para politisi sangat akrab dengan kegiatan pidato dan orasi. Pidato atau orasi menggunakan teknik retorika, yaitu suatu teknik penggunaan bahasa sebagai seni tulisan dan lisan yang didasarkan pada pengetahuan yang bertujuan untuk mempengaruhi orang lain (Keraf, 2010:3). Dalam kajian retorika pemilihan kata dan gaya bahasa diatur dan disesuaikan agar audiens tertarik dan simpati terhadap gagasan yang dituangkan dalam bentuk pidato.
Salah satu bentuk penggunaan gaya bahasa yang sering digunakan oleh politisi adalah gaya bahasa metafor yang merupakan analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat (Keraf, 2010: 139). Misalnya penggunaan kalimat “kita memiliki prekomonian yang kuat” antara kata ekonomi dan kuat memiliki makna yang berbeda.
Adapun kata ekonomi merupakan gagasan abstrak yang kemudian diikuti dengan kata kuat yang maknanya dilekatkan pada keadaan fisik. Hal ini menjadi pemahaman baru bagi audiens sehingga tertarik pada ucapan politisi.
Salah satu cara yang banyak digunakan dalam retorika politik adalah “pernyataan dalam tiga bagian”. Ini adalah sebuah strategi linguistik di mana hal–hal yang diutarakan dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pengelompokan seperti ini bertujuan agar terasa lebih estetik. Seperti halnya salah satu partai di Indonesia yang mengatakan “Hanya dengan hati nurani kita dapat merasakan kesengsaraan, penderitaan, dan penderitaan”.
Pemilihan kata dalam penggunaan retorika politik sangat penting agar timbul persepsi positif terhadap diri seorang politikus. Misalnya pada pidato Bush sebagai Presiden Amerika.
Seperti yang sudah kami umumkan kemarin malam, kami tidak akan menyerang prajurit yang tidak bersenjata dan sedang bergerak mundur.
Kami tidak punya pilihan lain kecuali menggangap unit tempur yang sedang mundur sebagai ancaman sehingga kami bertindak sesuai dengan situasi… (Bush menegaskan, unit yang diserang tentara AS itu bersenjata).
Sejak awal dari operasi udara, hampir 6 minggu yang lalu, saya sudah mengatakan bahwa upaya saya berjalan sesuai dengan jadwal. Pagi ini dengan senang hati saya umumkan bahwa operasi yang dijalankan koalisi telah lebih awal dari jadwal. Kuwait akan bebas tidak lama lagi.
Perhatikan dalam pidato tersebut terkait penggunaan kami dan saya. Kata kami lebih mengarah pada keputusan yang diambil tidak berdasarkan seorang diri yang kemudian makna dari kalimat tersebut mengarah pada pembunuhan yang dapat memberikan stigma buruk jika menggunakan kata saya. Kemudian penggunaan kata saya diperuntukan pada sebuah keputusan seorang diri yang lebih cenderung untuk membangun kepribadian pahlawan yang pada kalimat tersebut akan diberikan penekanan pembebasan suatu negara.[]