Oleh: Syukri Isa Bluka Teubai
Suasana kampung Qadim berbeda dari biasanya, hari Selasa itu masyarakatnya begitu gaduh. Seperti ada piasan sahaja di sana, suara riuh memecahkan kesunyian kampung tersebut. Penghuninya sedang berkumpul di tanah lapang persegi empat yang berdekatan dengan pos jaga, terlihat umbul-umbul tertancap rapi di sepanjang jalan sampai pada tanah lapang tersebut.
“Aku, ya Aku, apa urusanmu! Kautanya, ya Aku jawab,” Burhan menghindar dari pertanyaan-pertanyaan pokok yang ditanyakan oleh masyarakat di tengah-tengah kerumunan itu. Ia salah satu penduduk kampung Qadim tersebut. Akan tetapi bukan penduduk asli, ialah orang tuanya pendatang, seperempat dari masyarakat di kampung itu adalah pendatang. Entah dari mana asalnya.
Masa kecil, ia hidup di lingkungan pekebun, bersabab orang tuanya tinggal di situ (di perkebunan itu). Semua mereka yang tinggal di areal perkebunan, sehari-harinya bekerja membersihkan lahan dan memetik buah sawit. Setiap pelepah sawit akan dipotong apabila sudah sampai pada waktunya, begitu juga dengan buah si pohon itu sendiri.
Hanya pada hari tertentu penduduk di kampung tersebut turun berbelanja akan kebutuhan rumah tangga dan semacamnya, hanya pada hari tertentu. Setelah dari hari itu mereka tiada boleh berkeliaran ke mana-mana dan kawasan tersebut khusus bagi mereka-mereka yang bekerja di sana sahaja.
Namun setelah tamat dari sekolah dasar (SD) Bur dihantar oleh orang tuanya ke tempat paman yang tinggal di kota, adalah paman itu kenalan ayahnya. Mereka bertemu di kebun tempat ayah Bur bekerja. Di kala waktu, paman yang sering dipanggil dengan nama Abu Nun tersebut terluka seperti terkena tembakan ianya.
Adalah ayah Bur yang menolongnya, bersabab pada hal itulah Abu Nun tersebut menjadikan ayah Bur sebagai saudaranya, kejadian itu sudah lama. dan hampir dua puluh tahun akan pertemuan antara Abu Nun dan Tuan Sugeng tersebut berjalan. Semenjak dari itulah keakraban terbina antara mereka (ayah Bur dan Abu Nun).
Bur remaja tumbuh dan dewasa di lingkungan baru yaitu lingkungan kota, berbagai corak manusia dilihatnya terutama mereka yang datang ke rumah Abu Nun. Dan ia pun berbaur bersama kadangkala diajak oleh tetamu itu untuk jalan-jalan ataupun membahas masalah-masalah yang lagi hangat-hangatnya diberitakan baik media cetak atau elektronik.
Saban hari sedikit demi sedikit Bur pun disegani oleh tetangganya yang berada di sekeliling rumah Abu Nun tersebut, ia sudah sangat jarang pulang ke tempat ayahnya dahulu (Ke perkebunan sawit). Paling Tuan Su sahaja yang pergi ke kota sembari jalan-jalan dan melihat-lihat akan keramaian penduduk kota, dan itupun hanya sesekali waktu.
“Hari ini Aku beritahukan pada sekalian saudara-saudaraku, yang mana kalian tiada pernah pergi kecuali hanya menghabiskan waktu-waktu itu di kebun sahaja, bahawa kita mempunyai hak atas tanah yang telah puluhan tahun kita duduki ini,” Bur berorasi dengan semangat harapannya.
“Sudah pada waktunya kita berbenah,” Bur pun terus berbicara dan semua cita-citanya diterakan pada sekalian masyarakat kampungnya.
Sekarang ia sudah sering pulang-pergi ke kampung Qadim tersebut, ia nya sudah berpengetahuan luas, berteman dengan orang-orang ternama di kota.
Entah dari mana dasar idenya untuk menyuarakan hak yang bukan dari dasar haknya itu, dan ia juga sudah tiada lagi tinggal di tempat Abu Nun. Bersamaan sesekali waktu ia juga sering membantah kata-kata dari kawan (tetamu yang sering datang ke rumah Abu Nun dulu). Ia sudah menjadi “lawan” bagi kawan sekaligus pemberi wawasan kepadanya dulu.
Akan tetapi setiap gagasan dan ide yang ia sampaikan kepada seperempat dari masyarakat (mereka berada di tempat khusus, dan jarang berbaur dengan penduduk asli kampung Qadim) tersebut mereka tiada dengan mudah menerimanya, setiap sesuatu ditanyakan. Dari mana dasar harus menuntut, kenapa, bagaimana, dan seterusnya.
“Tuan Bur, pada kata-kata anda kami tidak suka. Walaupun hanya tinggal di tempat ini, kami selalu melihat dan setiap hari membaca berita-berita tentang hal-ihwal baru yang terjadi di kota, kami ini bukan orang-orang bodoh dan bukan pula dari mereka yang tiada pernah bersyukur,” salah seorang dari penghuni kampung Qadim tersebut menyanggah terhadap apa yang dikatakan Bur.
Adapun Tuan Su tiada ikut ke perkumpulan yang digagas oleh anaknya tersebut bersabab malu, ia sedikit banyaknya tahu tentang apa dan maksud sebenarnya dari tujuan Bur anak lelaki yang sudah membuat dirinya sangat malu dan kecewa untuk hari ini. Ianya hanya berdiam diri sahaja di rumahnya dan terlihat rona gelisah di wajah renta itu.
“Dek Bur, jangan sekali-kali kamu mahu jadi pahlawan di kesiangan dan mengadu domba kami dengan orang lain. Sekarang sudah berapa banyakkah membantu/bantuanmu untuk kami di sini, tak ada Dek Bur, kamu tidak tumbuh dan besar di sini.” Yang menyanggah itu rupanya Tuan Reno dan ia adik sulung ayahnya.
“Kamu tidak tahu menahumu tentang bagaimana mereka (masyarakat yang tinggal di kampung Qadim namun tidak di perkebunan sawit) membantu kami di sini, kami berhutang kepada mereka.” Air-air di mata Tuan Reno mengalir setetes demi setetes. Suasana mengharukan hadir di hari antah berantah itu.
“Kamu adalah orang yang tiada berotak apalagi punya akal kurasa, kau ke manakan rasa malumu itu, sebenarnya kau yang harus membantu kami di sini, kau sudah sangat lama tinggal di kota dalam kemewahan. Sebelum pohon sawit ini kusemai sehingga sampai sudah berbuah di hari ini, kau itu sudah tinggal dalam kemewahan di kota bersama “mereka” itu, tapi apa yang sudah pernah kau berikan?” Nada geram semakin membara keluar dari mulut paman yang berasal dari asalnya ia.
Burhan tetap sahaja seperti dirinya dengan perangai tiada bersyukur, tiada tahu malu dan sebagainya. Sudahpun dikata-katai oleh pamannya sendiri dengan kata-kata yang sangat pedas dan berwawasan itu, namun ianya masih juga tiada peduli.
Saban hari, penghuni-penghuni di perkebunan itu tiada bisa mengambil kesimpulan, mereka bimbang, sebagian darinya memilih diam (mereka tahu bahawa mereka dasarnya adalah perantau, diberi tempat tinggal, kerja, puluhan tahun sudah hidup senang anak-anak dengan mudahnya bisa sekolah di mana-mana. Padalah pada yang itu).
Namun mereka yang sebagiannya lagi masih juga belum bisa menerima kenyataan bahawa mereka mengklaim diri punya akan hak sejati di atas tanah rantau ini. Entah, semoga sahaja rasa malu itu cepat-cepat tersadar oleh diri.
“Bur, sungguh kau tak ada rasa malu, sudah lama kau hidup mewah di kota, sebenarnya kaulah yang harus membantu mereka/kami di sini, kau itu putra daerah (perkebunan sawit) Bur. Tapi hari ini, sudah tak pernah sekalipun membantu kami (penghuni kebun sawit), malah kau teriakkan perpecahan dan menyuarakan ketidak adilan di sini, aneh sekali kau.” Sekarang ayahnya yang terus membatin sendiri.
“Bukan, jangan, kau, kapan kau menyuarakan kesatuan untuk kami? Tapi untuk membantu/mengingat aku saja ayahmu kau tak pernah, heran aku, entah kau itu memang anak dariku?” dan ayahnya tersebut terdiam. Malam semakin kelam, Tuan Su kian larut bersama malam dan terus menyeruput kopi yang tiada lagi panas itu.[]
*Syukri Isa Bluka Teubai, Alumnus Sekolah Hamzah Fansuri angkatan ke dua tahun 2015 ini lahir di Bluka Teubai pada tanggal 24 April 1990, mahasiswa bahasa arab UIN Ar-Raniry, dan angkatan 2009 Misbahul Ulum Paloh, Muara Satu, Lhokseumawe.