Senin, Oktober 7, 2024

Kunjungi Korban Kebakaran di...

SUBULUSSALAM - H.Affan Alfian Bintang, S.E bersama Hj. Mariani Harahap, S.E mengunjungi korban...

Tidak Ikut Seleksi PPPK,...

SUBULUSSALAM - Ratusan tenaga kesehatan (Nakes) Kota Subulussalam datangi Kantor DPRK Subulussalam, Senin,...

Anggota DPRK Antoni Angkat...

SUBULUSSALAM - Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Subulussalam diingatkan agar menjaga netralitas...

Emak-Emak Gayo Lues Muak...

BLANGKEJEREN - Emak-emak di Kabupaten Gayo Lues mengaku sudah muak dengan janji kandidat...
BerandaHeadlineCiri Orang Beriman...

Ciri Orang Beriman Itu “Patuh”

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim

Aidul Adha memberikan banyak pelajaran dan petuah hidup, terutama melalui ibadah kurban. Dalam Islam, ibadah ini selalu identik dengan pengorbanan dua manusia agung, yaitu Ibrahim dan Ismail alaihimassalam. Kisah ayah dan anak ini diabadikan dalam Alquran surah Shaffat ayat 102, “Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“.

Jika menoleh ke belakang, cerita ini didahului oleh doa Ibrahim saat pergi meninggalkan Babilonia buntut dari konflik antara dirinya dengan penduduk setempat. Dalam doanya Ibrahim memohon agar dikaruniai anak yang salih, (Shaffat: 100). Allah mengabulkan permintaannya dengan kelahiran Ismail.

Menghadapi perintah menyembelih manusia barangkali tidak begitu sulit untuk orang seukuran Ibrahim as. Membunuh dan mengalirkan darah bukanlah pekerjaan aneh pada masa itu. Apalagi ia pernah hidup di era Namrud (Namrudz bin Kan’an) yang terkenal kejam dan bengis. Namun, giliran yang harus dibunuh adalah anaknya sendiri, bagi siapapun pasti tidak mudah, walaupun tidak dengan cara disembelih.

Secara psikologis, menyembelih memiliki dampak yang jauh lebih buruk dan sangat berat kepada si pelaku jika dibandingkan dengan membunuh, di mana hal itu bisa dilakukan dengan cara-cara tertentu tanpa harus terjadi kontak fisik antara pelaku dan korban.

Akan tetapi, meskipun berat dan “seakan tidak logis”, Ibrahim begitu tenang dan pasrah menjalankan perintah tersebut. Tak ada sedikitpun tanda-tanda keengganan dan penolakan, baik dari dirnya maupun anaknya.

Pada ayat lanjutan saat detik-detik terakhir menjelang prosesi penyembelihan, Allah menyebutkan, “tatkala keduanya telah berserah diri” (Shaffat: 103). Dikatakan oleh sebagian ulama, kata-kata “keduanya telah berserah diri” merupakan penegasan tentang kepatuhan Ibrahim dan Ismail terhadap perintah Allah Swt. Ya, tidak ada yang menyangkal akan kepatuhan keduanya, bahkan cerita mereka menjadi simbol kepatuhan itu sendiri. Sebelum kelahiran Ishaq, Ismail merupakan anak semata wayangnya Nabi Ibrahim.

Perlu diingat, pada ayat di atas disebutkan bahwa Ismail saat itu telah tumbuh dewasa, sudah menjadi tumpuan dan satu-satunya harapan orang tuanya. Dalam keadaan seperti itu Ibrahim diperintahkan untuk membunuhnya dengan cara disembelih. “Terasa begitu sadis!”

Tak kalah dari Ibrahim, anaknya Ismail dengan mantap mengatakan, “wahai bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu”. Bak kata pepatah, “anak adalah cerminan orang tua”. Jawaban sang anak semakin meneguhkan hati Ibrahim untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Tak ada pertanyaan apalagi protes. Padahal sebelumnya ia telah dimintai pendapat oleh sang ayah terkait rencana penyembelihannya.

Belajar Patuh

Sebagian ahli hikmah mengatakan, “jangan melihat kecilnya dosa yang engkau perbuat, tapi lihatlah betapa agungnya Zat yang engkau maksiati”. Pernyataan bijak ini mengajarkan kita supaya fokus pada sumber perintah, bukan pada perintah. Lihatlah Allah yang memberi perintah atau larangan, jangan hanya melihat pada apa yang diperintahkan atau yang dilarang.

Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail sehingga mampu menanggung beban agama yang sangat berat sekalipun. Mereka tidak begitu peduli apa yang diperintahkan, fokus mereka tertuju kepada Allah yang memberi perintah.

Berbeda dengan kebanyakan umat Islam hari ini, setiap kali dihadapkan pada perintah agama (Allah), biasanya yang pertama mereka lakukan adalah melacak status hukumnya, wajib atau sunat. Kalau larangan, yang mereka lihat haram atau makruh. Perhatian mereka benar-benar tertuju pada objek yang diperintahkan, bukannya Allah yang merupakan sumber dari perintah tersebut. Jika wajib mereka kerjakan, kalau sunat, besar kemungkinan akan ditinggalkan.

Begitu juga dengan larangan, yang haram akan ditinggalkan dan makruh terus dikerjakan. Padahal, kebiasaan ini diyakini pada akhirnya akan melahirkan sikap tak acuh dengan kebaikan dan mudah meninggalkan kewajiban serta merasa ringan berbuat dosa.

Terkait dengan cerita penyembelihan di atas, dulu semasa Ismail masih bayi, ia dibawa oleh ayahnya Ibrahim ke Mekkah, sesampai di sana ia ditinggalkan bersama sang ibu, Hajar. Kisah ini tertulis rapi dalam Alquran pada surah Ibrahim ayat 37, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati”.

Ketika Ibrahim pamitan, Hajar bertanya, kamu akan pergi ke mana, apakah kamu akan meninggalkan kami di lembah yang gersang dan tak berpenghuni ini? Pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali oleh Hajar sambil terus mengikuti Ibrahim dari belakang. Ibrahim tak menjawab dan sama sekali tidak menoleh ke arah Hajar.

Lalu, Hajar mengubah pertanyaannya, “apakah Allah yang memerintahkan kamu untuk melakukan hal ini?” Ibrahim menjawab, “iya”. Sang istri tak berkutik dengan jawaban itu. Dengan penuh optimis ia berujar, “kalau begitu Allah takkan menyia-nyiakan kami”. Cerita ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya.

Lihatlah sikap patuh yang diajarkan Ibrahim dan istrinya Hajar. Ibrahim seakan tidak peduli dengan nasib anak istrinya, ia biarkan mereka tinggal di tempat yang sangat memprihatinkan sekaligus menakutkan. Tapi apa kata, itu perintah Allah, Ibrahim tak punya pilihan kecuali pilihan Allah. Begitu juga sang istri, ketika mengetahui bahwa ini bukan maunya Ibrahim, tapi maunya Allah iapun pasrah dengan keputusan tersebut. Bukan sekadar pasrah, tapi spontan muncul rasa optimisme dan asa dalam dirinya untuk menetap di tempat itu bersama bayi mungilnya dengan dibekali sedikit makanan.

Patuh Itu Menolak Bala

Saat ini kita hidup menyusuri hari-hari sulit dengan lilitan pandemi yang belum kunjung berujung. Covid 19 benar-benar melelahkan dan menyulitkan semua orang tanpa kecuali. Namun, sebagai orang beriman, kita ditenangkan oleh satu firman Allah, “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”, (Insyirah: 5).

Akan tetapi, jika bercermin pada cerita keluarga Ibrahim, kemudahan itu tidak datang begitu saja kecuali setelah kepasrahan kepada Allah Swt. Setelah seseorang benar-benar tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta Covid 19. PPKM darurat, PPKM mikro, level satu sampai empat, itu hanya ikhtiar manusia, sebuah usaha yang belum tentu mumpuni. Kunci utamanya ada pada sejauh mana ketundukan dan kepatuhan kita di hadapan Allah Swt.

Lihatlah apa yang terjadi dengan Ibrahim saat akan menyembelih putranya Ismail, setelah mereka menunjukkan kepatuhan dan kepasrahannya, Allah berfirman, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”, (Shaffat: 107). Lihat pula apa kata Allah sebelumnya, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”, (Shaffat: 106).

Adakah ujian yang lebih berat dari keharusan menyembelih anak sendiri, lalu bandingkan dengan derita akibat virus Covid 19. Adakah krisis kehidupan yang lebih berat dari yang dialami oleh Hajar dan bayinya Ismail ketika harus menetap di lembah tak berpenghuni dan super gersang. Adakah ekonomi Indonesia hari ini sebanding dengan kehidupan Hajar saat itu?

Namun, lihatlah buah dari kepatuhan dan ketaatan mereka, bukan hanya Ismail yang digantikan dengan seekor domba besar, tetapi syariat menyembelih anak serta merta dihapus dan digantikan dengan syariat kurban. Lalu, seberapa syukur kita hari ini saat diminta berkurban seekor kambing dalam setahun. Terbayangkah, jika yang diminta adalah menyembelih anak, apa yang akan kita lakukan?

Lihatlah Mekkah hari ini, berubah menjadi negeri yang super makmur, memiliki mata air yang takkan putus hingga kiamat, dan dikunjungi oleh jutaan manusia setiap tahunnya. Lihatlah seberapa dahsyatnya buah dari kepatuhan kepada Allah Swt.

Kita selalu resah dan gusar dengan Covid 19 yang sebenarnya tak seberapa. Tapi sayang, banyak kita tak pernah mempersoalkan seberapa patuh dan tunduk kita kepada Sang Pencipta musibah ini?

Semoga bermanfaat! Wallahua’lam.[]

* Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe. Ia juga dikenal sebagai Teungku Balee, dan dai ternama di Lhokseumawe.

Baca juga: