Selasa, September 17, 2024

Sambut Maulid Nabi, Jufri...

ACEH UTARA - Menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1446 Hijriah atau...

Panitia Arung Jeram PON...

KUTACANE - Panitia Pertandingan Cabang Olahraga Arung Jeram PON XXI Aceh-Sumut melarang belasan...

Salahkah Jika Tak Mampu...

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D., Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe Perbincangan seputar kompetensi...

Pengunjung Padati Venue Arung...

KUTACANE - Ribuan pengunjung dari berbagai daerah mendatangi arena arung jeram Pekan Olahraga...
BerandaDirektur AJMI: Pemerintahan...

Direktur AJMI: Pemerintahan Aceh di Bawah Kendali ZIKIR Tidak Memuaskan

BANDA ACEH – Menjelang lima tahun berjalannya Pemerintahan Aceh di masa kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) dinilai belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Fakta kinerja Pemerintahan ZIKIR justru lebih banyak terlihat dan fokus untuk kepentingan dan agenda-agenda partai politik maupun kelompok tertentu, sehingga agenda-agenda untuk kesejahteraan masyarakat terkesan sengaja diabaikan.

“Secara praktis dalam lima tahun terakhir ini yang mengemuka dari kinerja Pemerintah Aceh adalah mengurus agenda-agenda politik maupun upaya pengesahan Qanun Wali Nanggroe beserta Qanun Lambang dan Bendera,” ujar Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), Agusta Mukhtar, melalui siaran persnya kepada portalsatu.com, Rabu, 23 Maret 2016.

Dia mengatakan dari sekian banyak program-program yang dijalankan oleh Pemerintah Aceh, permasalahan di masyarakat Aceh justru semakin kompleks dan tidak bisa terjawab. Apalagi jika merujuk kembali pada janji-janji politik yang disampaikan oleh ZIKIR pada saat kampanye.
 
“Walaupun muatannya sudah dituangkan dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM), tapi kenyataannya belum juga dari perencanaan tersebut dapat direalisasikan kepada masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan,” kata Agusta di Banda Aceh.

Agusta mengatakan dari hasil penulusuran AJMI, ada empat bidang mendasar yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Keempat bidang tersebut adalah ekonomi, kondisi politik, hukum, kesehatan dan pendidikan.

Dia mencontohkan di bidang ekonomi yang pertumbuhan ekonomi masyarakat masih cenderung stagnan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya secara drastis angka kemiskinan dan angka pengangguran di Aceh hingga awal periode 2016.

“Artinya, ada banyak program Pemerintah Aceh yang tidak menyentuh langsung pada akar permasalahan, guna pengembangan ekonomi di masyarakat,” ujarnya.

Apalagi, kata dia, orientasi pertumbuhan ekonomi yang lebih ditujukan kepada pemodal, menjadi salah satu penyebab utamanya. Sehingga untuk beberapa kasus, seperti penguasaan lahan, lebih dominan dikuasai oleh pemilik modal dibandingkan sebagai lahan garapan masyarakat.

“Padahal aktivitas ekonomi masyarakat umumnya bekerja di sektor riil, pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan,” ujarnya.

Selain itu kondisi Politik di Aceh sangat memprihatinkan dan implikasinya berupa kisruh politik yang sangat massif. Semua ini telah berdampak negatif dalam upaya membangun re-integrasi politik dan kehidupan yang demokratis pasca perdamaian Aceh.

“Ironisnya, kondisi ini diperparah dengan tidak netralnya sikap politik dari Pemerintah Aceh dalam menyikapi situasi dan kondisi politik di Aceh menjelang pelaksanaan Pilkada yang akan berlangsung pada tahun 2017. Ditambah kesibukan Pemerintah Aceh dalam melakukan konsolidasi politik karena akan maju dalam Pilkada Aceh,” katanya.

Demikian juga di bidang hukum. Untuk pemberantasan korupsi, tidak ada upaya yang luar biasa dalam penanggulangan dan pencegahannya. Praktik kolusi juga tidak jauh berbeda, kerjasama antara aparat penegak hukum dengan pemilik modal semakin solid, terutama pada proyek-proyek eksplorasi penambangan hasil bumi.

“Bentuk-bentuk kolusi yang terjadi adalah, usaha bersama, pengamanan yang berlebihan, dan pengabaian terhadap tuntutan penegakan hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pemilik modal atau perusahaan terhadap hak-hak masyarakat sekitar,” katanya.

Apalagi, kata Agusta, kasus korupsi semakin meningkat tanpa ada upaya penyelesaian dari Pemerintah Aceh. Begitu juga kasus Narkoba dan kasus-kasus kriminalitas lainnya. Menurut Agusta Pemerintah Aceh dan Polda Aceh juga seperti membiarkan kasus-kasus yang berdampak luas pada masyarakat, seperti kasus korupsi dan kasus lingkungan hidup.

Sementara di bidang pelayanan kesehatan juga masih menyisakan berbagai permasalahan yang serius. Dia mencontohkan seperti tingginya angka kematian anak balita yang mencapai 20 jiwa per-bulan, angka gizi buruk dan stunting pada anak yang sangat tinggi. Jumlah kasus tersebut telah memosisikan Aceh berada di bawah angka rata-rata nasional di balik melimpahnya anggaran publik.

“Artinya, program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang dicanangkan oleh Pemerintah Aceh pada awal 2010, ternyata belum sepenuhnya dapat menjawab upaya peningkatan kualitas hidup (kesehatan) bagi masyarakat Aceh. Perubahan yang terjadi, hanya pada nama programnya saja, dari JKA menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA),” katanya.

Lain lagi di sektor pendidikan. Agusta mengatakan konsep pembangunan pendidikan yang dilakukan Dinas Pendidikan di Aceh selama ini hanya memprioritaskan pembangunan infrastruktur pendidikan. Namun sangat kurang program-program untuk meningkatkan sumber daya tenaga pengajar. 

“Sangat beralasan karena memang pembangunan fisik selalu menjadi lahan basah untuk keuntungan pribadi maupun kelompok. Pemerintah Aceh harus mengevaluasi dan melakukan peninjauan kembali terhadap semua program yang ada, terutama program-program yang fokus dan sistematis pada peningkatan kualitas tenaga pengajar serta sebaran tenaga pengajar yang berkualitas,” ujarnya.

AJMI menuntut Pemerintah Aceh untuk segera melakukan Reformasi Birokrasi dan menjalankan prinsip-prinsip good governance, guna memastikan arah Pembangunan Aceh ke depan dapat berjalan dengan baik, yang sesuai dengan perencanaan, berjalan efektif dan efisien, serta lebih mudah dikontrol dan mampu menjawab berbagai kebutuhan dasar dan kepentingan masyarakat.

“Pemerintahan dan masyarakat Aceh mesti mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya (resources development system) supaya potensi alam, manusia dan infrastruktur yang sudah tersedia saat ini,” katanya.

Selain itu, AJMI juga mendesak Pemerintah Aceh menciptakan stabilitas keamanan, penciptaan stabilitas politik melalui pengembangan nilai-nilai demokratis pada institusi politik dan organisasi massa menjelang Pilkada 2017.

“Menumbuhkan ekonomi masyarakat melalui pengembangan sektor riil, dan mengintegrasikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat melalui pendekatan karakteristik lokal masyarakat setempat,” ujarnya.[](bna)

Baca juga: