BLANGPIDIE – Persoalan kemiskinan di Aceh ikut dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin saat memberi kuliah umum di Kampus STKIP Muhammadiyah Aceh Barat Daya (Abdya), Kamis, 1 April 2021.
Safaruddin menjelaskan, pendidikan merupakan lokomotif pembangunan. Tapi pembangunan infrastruktur tanpa dibarengi dengan peningkatan SDM juga tidak akan membawa kemajuan. Hingga kini tingginya persentase kemiskinan masih menjadi tantangan bagi pemerintah.
Padahal kata Safaruddin, perguruan tinggi di Aceh sangat banyak, terdapat hampir di semua kabupaten/kota. Lulusan S1 dan S2 juga tidak sedikit, tapi kurang memberi dampak bagi pengentasan angka kemiskinan.
“Kita terus mencetak generasi terdidik S1 bahkan S2, tapi ruang untuk mereka mendapat pekerjaan sangat sempit. Akibatnya pengangguran di mana-mana, sehingga menjadi beban daerah,” tambahnya.
Sementara dari sisi angaran, dana otomomi khusus (Otsus) yang didapat Aceh pada 2022 akan dikurangi 1 persen dari 2 persen yang diterima dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN. Dana yang menurutnya merupakan “pil penenang” untuk Aceh itu juga akan berakhir dikucurkan pemerintah pusat pada 2027 mendatang.
“Jika terjadi pengurangan, maka APBA Aceh akan berkisar Rp 9 hingga Rp12 triliun. Bayangkan saja, Rp16,9 triliun itu Aceh tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan tantangan ekonomi, bagaimana kalau tinggal Rp9 triliun. Jadi selagi ada, maka harus manfaatkan dan dikelola dengan baik,” harapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Safaruddin pada hari yang sama dalam dialog interaktif dengan Cabang Dinas Pendidikan Aceh Cabang Aceh Barat Daya (Abdya) yang turut dihadiri para kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) se-Abdya.
Safaruddin berharap adanya evaluasi oleh Dinas Pendidikan Aceh bersama para kepala sekolah, agar persoalan pendidikan di Aceh dapat tertangani dengan baik. Selain itu manajemen sekolah juga harus mampu mendorong kemajuan siswa hingga berprestasi.
“Saat ini, yang dikejar hanya pembangunan infrastruktur fisik. Saya khawatir, kalau kepala sekolah hanya mengejar fisik maka akan terjadi commitment fee. Kalau kepala sekolah seperti ini, maka sama saja seperti kontraktor,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Aceh Abdya, Syarbaini, dalam pertemuan itu mengatakan sangat banyak sekolah-sekolah menengah atas di Abdya yang membutuhkan dukungan Pemerintah Aceh dalam hal membenahi infrastruktur sekolah yang kurang memadai.
Para kepala sekolah juga menyampaikan berbagai keluhan terkait kekurangan infrastuktur sekolah, penunjang fasilitas pendidikan, serta kekurangan tenaga pengajar. Selain itu, beberapa kepala sekolah juga menyampaikan adanya pemotongan anggaran-anggaran insentif sekolah, sehingga diharapkan DPRA dan Dinas Pendidikan Aceh dapat mengupayakan adanya Bantuan Operasioal Sekolah Daerah (BOSDA) untuk anggaran penunjang berbagai kebutuhan di sekolah.[]