Rabu, September 18, 2024

Polisi Gayo Lues Akan...

BLANGKEJEREN - Akun-akun palsu di media sosial facebook mulai bermunculan di Kabupaten Gayo...

Kajari Aceh Tenggara: Kami...

KUTACANE - Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tenggara, Lilik Setiyawan, S.H., M.H., berkomitmen...

Tim Jabar Kembali Sabet...

KUTACANE - Tim Jawa Barat (Jabar) kembali merebut medali emas cabang olahraga arung...

Putra Anggota Polres Gayo...

BLANGKEJERN - Prestasi gemilang kembali ditorehkan oleh putra Gayo Lues Haikal Al-Fakhri, putra...
BerandaKata Direktur LBH...

Kata Direktur LBH APIK Aceh Soal ‘Kartini’ Masa Kini

LHOKSUKON – Emansipasi sering disebut persamaan hak terkait meraih kesempatan dan peluang. Mulai dari mendapatkan pendidikan, kebebasan mengeluarkan pendapat, bekerja, berkumpul/berserikat, politik praktis, menjadi pemimpin dan lainnya.

Secara umum, perempuan dijamin hak-haknya dalam konstitusi, tanpa ada perbedaan sebagai warga negara atau masyarakat. Sama di hadapan hukum dan berhak mendapatkan kesempatan yang sama.

Namun, menurut Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Aceh Roslina Rasyid, realitanya belum semua perempuan bisa mendapatkan hak-hak tersebut secara penuh, adil dan tanpa pembedaan.

“Belum semua perempuan mendapatkannya. Untuk sektor kerja, menurut saya secara umum perempuan bisa bekerja hampir di semua sektor. Namun tidak semua hak mereka bisa dijamin dalam pekerjaan yang mereka tekuni. Demikian juga dengan kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat,” ujar Roslina kepada portalsatu.com beberapa waktu lalu.

Lanjutnya, tantangannya hari ini adalah bagaimana hak-hak yang dijamin konstitusi bisa dipenuhi oleh negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Ketika R.A. Kartini pada masanya berjuang agar perempuan mendapatkan kesempatan dan haknya untuk bebas dari buta aksara (pendidikan), memiliki ilmu pengetahuan, serta bebas meraih mimpinya. Perjuangan Kartini di masa lampau tidaklah mudah, tantangan yang dihadapi pasti berbeda dengan masa kini,” ucapnya.

Menurut Roslina, banyak ‘Kartini’ zaman sekarang yang bekerja berjuang mendapatkan hak-haknya atas keadilan. Mereka ada di seluruh nusantara, perempuan-perempuan yang berjuang untuk negerinya. Misalnya kata dia, di Kendeng (Jawa Tengah), perempuan-perempuan Aceh yang berjuang di masa konflik, perempuan yang menjadi kepala keluarga atau tulang punggung keluarganya, perempuan yang berjuang agar tidak dilemahkan kemiskinan, kebodohan, dan kekerasan.

“Semoga semangat Kartini menjadi inspirasi bagi semua perempuan di Indonesia, yang bekerja demi tercapainya keadilan. Baik dalam ingar bingar visualisasi (medsos, TV, dan media pendukung lainnya) maupun perempuan yang memilih bekerja dalam senyap (diam) di belakang layar (inisiator, konseptor, fasilitator, mediator). Dalam semua aspek itu, tantangannya nyaris sama, hanya wajahnya saja yang berbeda,” beber Roslina.

Ia menambahkan, budaya patriarkhi adalah warisan budaya yang diyakini mampu mempengaruhi hampir keseluruhan sektor kehidupan, isi kebijakan/peraturan, kultur dan sturktur hampir sebagian besar dipengaruhi, di mana kepentingan kaum laki-laki lebih diutamakan.

“Semoga ‘Kartini-Kartini’ zaman sekarang mampu menjadi inspirasi bagi semua perempuan di Indonesia. Seperti halnya jurnalis perempuan (Najwa Shihab, dkk) dan menteri perempuan (Sri Mulyani, Susi Pujiastuti) yang mampu melawan mainstream dunia maskulin. Seperti yang kita tahu, media/jurnalisme dunia maskulin memang kebanyakan dikuasai laki-laki,” ujarnya.[]

Baca juga: