Sabtu, Juli 27, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaNewsKisah Kesalehan Abu...

Kisah Kesalehan Abu Qilabah, yang Buntung dan Buta

SEORANG saleh, Abu Ibrahim, bercerita: suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung, matanya buta. Dia hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.”

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta. Ia tidak memiliki apa-apa.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusi, atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang pun.

Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku. Ia lalu bertanya,” Siapa? Ada siapa?”

“Assalaamualaikum,” kataku. Aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini. Anda sendiri siapa?” tanyaku. “Mengapa Anda tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, atau para kerabatmu?”

Orang itu menjawab,” Aku seorang yang sakit. Semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal.”

“Kudengar kau mengulang-ulang perkataan, “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Demi Allah, apa kelebihan yang diberikanNya kepadamu, sedangkan engkau buta, fakir, buntung kedua tangan dan sebatang kara?”

“Aku akan menceritakannya kepadamu, tapi aku punya satu permintaan. Maukah kamu mengabulkannya?” ia bertanya. Aku meyanggupi.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia, bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berpikir?”

“Betul,” jawabku. Ia melanjutkan, “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak ,” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia,”kata dia.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar azan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” ia kembali bertanya. Aku iyakan.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”

“Betapa banyak orang yang tuli hingga tak mampu mendengar?” ia bertanya lagi. “Banyak.”

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berzikir dan menjelaskan keinginanku? Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,” kata dia.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembahNya, hanya mengharap pahala dariNya dan mampu bersabar atas musibah? Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, dan aneka rupa benda mati serta semacamnya, dan mereka juga sakit dan merugi di dunia dan akhirat? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,”kata dia.

Orangtua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu, sehingga aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah. Padahal, banyak sekali mereka yang menderita cobaan di bawah apa yang ia terima tetapi mereka meronta-ronta, mengeluh dan menangis sejadi-jadinya. Mereka amat tidak sabar dan tipis keimanan terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar. Aku pun tenggelam dalam pikiranku hingga orangtua itu berkata mengejutkanku:

“Kini bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang, dan maukah Anda mengabulkannya?” Aku mengangguk.

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis. “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun. dialah yang memberiku makan dan minum, mewudhukanku dan mengurusi segala keperluanku. Sejak semalam ia keluar mencarikan makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup ataukah telah tiada. Aku sudah tua renta, buta dan tidak bisa mencarinya.”

Maka kutanyakan ciri-ciri anak tersebut dan berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya.

Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut. Aku tak tahu harus memulai dari arah mana. Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku di kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah pak tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yg mengerumuni sesuatu. Segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidaklah berkerumun kecuali pada bangkai atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang. Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya seekor serigala telah menerkam dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung. Namun aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada si bocah yang telah tiada itu.

Aku pun turun dari bukit, melangkahkan kaki dengan berat menahan kesedihan mendalam. Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian, ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah pak tua itu sambil dikepung bingung harus mengatakan apa dan memulai dari mana. Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub AS. Kutemui pak tua itu dan ia masih dalam kondisi seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan ia mendahuluiku bertanya,” Bagaimana anakku?”

Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Allah, engkau atau Ayyub AS?”

“Tentu Ayyub AS lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub,” jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung. Ia diterkam serigala dan dikoyak-koyak.”

Pak tua itu pun tersedak-sedak dalam kesedihannya. Namun ia terus berkata,”Laa ilaaha illallaaah” dan aku berusaha meringankan musibahnya, menyabarkannya. Tapi tak berapa lama ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya

Maka kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta. Nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku. Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya, maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Tentu,” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak, “Abu Qilabah! Abu Qilabah!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh. Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah. Ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna, berjalan-jalan di tanah yang hijau. Maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah, apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Jawabnya, “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya: Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali

(Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian. Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: Aasyiqun fi Ghurfatil amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify)[]Sumber: mozaik.inilah.com/kisahmuslim.com

Baca juga: