MEMBANGUN kembali peradaban di Bandar Teluk Samawi (Kota Lhokseumawe), merupakan hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota ini, kerjasama antara Wali Kota dan DPRK.
Lhokseumawe, perlu membenahi dirinya, seperti mengembalikan namanya menjadi Teluk Samawi. Walaupun beberapa hal kini telah berubah, seperti tempat pelabuhan besar yang paling sesuai di sepanjang Selat Melaka, telah dijadikan bendungan di Pusong, namun masih ada yang bisa dikembalikan. Setidaknya, status Teluk Samawi dan Bandar Sumatra sebagai pusat ilmu pengetahuan dapat terlihat kembali.
Teluk Samawi pun perlu menghargai para tokoh besarnya, seperti Syamsudin Sumstrani, Al Khalili, dan lainnya.
Dalam bidang seni, Teluk Samawi boleh mendirikan Institut Seni P Ramlee.
Islamic Center boleh dijadikan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, menjadi putaka besar.
Majalah Al-Hikam milik Al Khalili (Majalah pertama di Asia Tenggara milik orang lHokseumawe) boleh dihidupkan kembali.
Dalam bidang ekonomi, boleh dibuat koperasi khusus untuk para nelayan, petani, pedagang kecil, dan lainnya, sehingga mereka punya aset jangka panjang.
Untuk apresiasi seni, acara seperti piasan seni Banda Aceh kita bikin lain di Teluk Samawi, misalnya bernama “Gampong Reusam Teluk Samawi”, Festival Rapai Pase, dan sebagainya, setiap tahun.
Untuk hubungan antarbangsa yang terhubung dengan sejarah, Pemerintah Teluk Samawi boleh menjalin kerjasama budaya, pendidikan, dan lainnya, dengan Turki, Mughal, Maroko, dan negeri lainnya.
Tentu, masih banyak hal lain yang juga perlu dilakukan untuk mengembalikan kemegahan Teluk Samawi. Termasuk berkerjasama dengan Pemerintah Aceh Utara, disebabkan Bandar Sumatra sebagai ibukota Kesultanan Sumatra (Samudra) berada di dalam wilayah Aceh Utara sekarang.
Bandar Teluk Samawi boleh menjadi kota yang masyhur dan besar namanya di dunia kembali, sebagaimana pada zaman Kesultanan Sumatra (Samudra Pasai).[]
Thayeb Loh Angen, Aktivis Kebudayaan, penduduk Banda Aceh asal Paloh Dayah, Teluk Samawi (Lhokseumawe).