Mensyariatkan Politik di Aceh, Mungkinkah?
Oleh: Thayeb Loh Angen
Penyair dari Sumatra, Sekretaris Jenderal Majelis Seniman Aceh, Jurnalis Portalsatu.com, Kepala Sekolah Menulis Thayeb.
Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih calon Presiden RI, calon anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tingkat propinsi dan kabupaten/kota, ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 14 Februari 2024.
Dalam beberapa bulan terakhir, kita dapat memperhatikan prilaku sebagian calon pemilih dan calon anggota DPR atau DPD. Sebagian pendapat mereka telah disusupi oleh propaganda kaum kapitalis liberal.
Istilah-istilah yang bertentangan dengan tujuan hidup umat Islam sering terdengar. Sementara mereka adalah orang Islam. Kita telah tergelincir dari dasar tuntunan agama ini.
Kadang kala ada partai yang menyebutkan dirinya memperjuangkan Islam, tetapi tidak dapat menghindarkan dirinya dari susupan propaganda tersebut. Hal itu menjadikan salah satu bagian terpenting dalam pilar umat ini menjadi tidak berkah.
Hal demikian merupakan salah satu bias daripada adanya kekurangan dalam kebijakan penyelenggara pemilihan umum di Aceh. Kali ini kita membicarakan tentang Aceh saja. Ada perihal terpenting yang seharusnya dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum di Aceh, yaitu syarat seseorang bisa mencalonkan dirinya.
Demokrasi yang terlalu bebas dan dijauhkan dari ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan bisa meluluskan siapapun menjadi pejabat melalui pemilihan umum. Akhlak dan ilmu tidak dijadikan syarat mencalonkan diri.
Kita telah mengambil sistem politik dari budaya yang jauh dari kearifan kita sendiri. Di belahan bumi barat, ketika dunia diubah oleh para kapitalis, negara dikuasai oleh pebisnis.
Sistem demokrasi yang dikembangkan itu menguntungkan orang-orang paling kaya. Di negara mereka, itu berhasil, disebabkan struktur budaya dan pengetahuan masyarakat mereka mendukung hal itu terjadi. Namun, di tempat itu, hal itu menjadi racun mematikan. Semoga dapat ditemukan obat penawar untuk itu.
Dalam sistem politik yang diberlakukan sekarang, siapa pun bisa mencalonkan diri, diizinkan berkampanye sebesar-besarnya, melalui berbagai media. Dengan demikian, kampanye terbaik hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki uang terbanyak.
Kepribadian yang baik dan pengetahuan dalam memimpin rakyat dan membangun negeri, tidak menjadi pertimbangan dalam sistem demikian. Kemasyhuran (popularitas) dan kekayaan harta menjadi pertimbangan utama.
Propaganda itu telah berhasil merasuki pikiran orang-orang, bahkan sampai ke penjuru kampung yang penduduknya beragama Islam.
Dalam keadaan tersebut, ada hal yang perlu diperhatikan secara seksama, pemerintah dan masyarakat Aceh yang mengagung-agungkan syariat Islam baru sanggup memedulikan hal kecil seperti pelanggaran seksual, judi, dan sejenisnya. Namun, belum berani mengurusi inti persoalan peradaban, yaitu politik dan ekonomi.
Mengapa sistem politik tidak disyariatkan di Aceh, sebagaimana memaksakan akan adanya qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah), walaupun pada praktiknya masih serupa bank konvensional, misalnya, dalam bidang kredit, hanya digantikan namanya, praktiknya sama.
Di dalam politik, kaum agamawan belum melakukannya, ataukah ada diupayakan, tetapi belum berhasil sehingga hanya mampu diusulkan syarat bisa membaca Alquran bagi setiap orang yang ingin menjadi peserta pemilihan umum.
Sampai saat ini, calon pemimpin seperti calon anggota DPR di semua tingkatan, yang akan memimpin jutaan orang, tidak dinilai bagaimana keluarganya, bagaimana cara dia mengurus keluarganya, bagaimana cara dia bermasyarakat, bagaimana adabnya, dan bagaimana prilakunya dalam masyarakat.
Apakah dia menghargai hak orang lain atau tidak. Belum, hal penting itu belum menjadi syarat yang ditentukan oleh penyelenggara pemilihan umum.
Sebagai penanggung jawab hal muamalat ummat, secara fardhu kifayat, kita mengharapkan para ulama mensyariatkan sistem politik di Aceh, walaupun nantinya hanya bisa dijalankan secara perlahan-lahan. Tidak apa-apa, yang penting upaya untuk itu dimulai, sebagaimana LKS yang prematur.
Mesyariatkan sistem politik di Aceh dapat diagendakan di dalam musyawarah organisasi para ulama, yaitu Majelis Permusyawaratan Ulama, Himpunan Ulama Dayah Aceh, Majelis Ulama Nanggroe Aceh.
Walaupun di dalam sistem demokrasi ini ulama belum menjadi penasehat para umara, tetapi setidaknya, nilai Islam bisa dimasukkan ke dalam sistem politik dan diterapkan secara perlahan-lahan.[]