BerandaInspirasiMualaf Shelton, Dulu Sering Didebat Ibunya Tentang Agama

Mualaf Shelton, Dulu Sering Didebat Ibunya Tentang Agama

Populer

Hidayah menyentuh hati Christopher Shelton di usianya yang remaja. Pria Amerika Serikat itu mulai tertarik mengenal Islam saat dia mengenyam bangku sekolah menengah pertama, tepatnya saat kelas delapan.

Kisah Shelton memeluk Islam ditulisnya pada 28 Oktober 1996. Seperti dilansir di Muslim Library, Shelton menceritakan dia mulai menaruh minat pada Islam ketika seorang pelajar Muslim bernama Raphael pertama kali bercerita sedikit tentang Islam.

Kala itu, temannya itu memang tidak begitu paham tentang Islam. Namun, disitulah mulai terbersit tentang Islam di benak Shelton.

Di kelas sembilan, Shelton memiliki teman bernama Leonard yang mengklaim pernah menjadi seorang Muslim, tetapi dia kurang lebih hanya berpura-pura. Saat itu, Leonard memberinya pamflet tentang Islam sejati. Minat Shelton pada Islam semakin meningkat.

Ia tidak lagi mendengar lebih banyak tentang Islam hingga ia duduk di kelas 10. Tahun itu, ia dan Leonard duduk di belakang di kelas geometri dan menyalahkan semua masalah dunia pada orang kulit putih.

Mereka berpikir untuk meninggikan status orang kulit hitam di atas semua ras lainnya. Saat itu dalam hidupnya, Shelton berpikir Islam adalah agama bagi orang-orang kulit hitam.

Namun, sayangnya Islam yang ia bicarakan tidak lebih dari nasionalisme kulit hitam dengan sedikit sentuhan Islam yang benar, mirip dengan The Nation of Islam, gerakan keagamaan politik yang dipelopori orang kulit hitam di AS.

Seiring berjalannya waktu, ia mulai melihat pandangan nasionalis kulit hitamnya dan persepsinya tentang apa itu Islam menjadi lelah. Ia berpikir tidak ada gunanya membenci hampir semua orang kulit putih dan menyalahkan Islam.

Di saat yang sama, ia benar-benar mencela agama yang dianutnya. Shelton merasa bosan dengan doktrin yang tidak dapat dipahami dan banyak kontradiksi dalam agama tersebut.

Tahun berikutnya di sekolah menengah, ia berbicara dengan beberapa siswa tentang agama. Mereka kemudian menyuruhnya membeli Alquran. Shelton pun melakukannya.

Ia pergi ke toko buku terdekat dan membeli terjemahan Alquran yang sangat buruk. Namun, momen itulah yang menjadi pandangan nyata pertamanya tentang kebenaran Islam.

Sang ibu Bersikeras Mengajaknya Kembali ke Agama Sebelumnya

Dalam beberapa pekan, dia mulai perlahan mengenal Islam, meskipun saat itu dia belum bersyahadat. Di tengah ketertarikannya pada Islam lebih jauh, Shelton tidak pernah memiliki kesempatan untuk pergi ke masjid lantaran ibunya yang sama sekali melarangnya.

Seiring berjalannya waktu, ia akhirnya mendapatkan terjemahan Alquran dari Abdullah Yusuf Ali, yang kemudian membuka matanya banyak tentang Islam. Sementara itu, di sisi lain ibunya berupaya sekuat tenaga untuk mencegahnya memeluk Islam. Sang ibu bahkan membawanya menemui pengkhotbah agama tiga kali. Upaya sang ibu tak berhasil.

“Seiring berjalannya waktu saya mulai belajar lebih banyak tentang Islam dari berbagai buku yang bisa saya dapatkan. Saya akhirnya belajar bagaimana melakukan sholat dengan benar dari salah satu buku ini. Ibu saya masih mencoba keras untuk membuat saya kembali ke agama sebelumnya,” ungkap Shelton.

Shelton dan ibunya kerap berdebat tentang agama. Hingga suatu hari, ibunya merasa muak dan memberi tahunya dia harus tinggal bersama ayahnya. Sehari setelah lulus dari sekolah menengah, ia pindah dan tinggal dengan sang ayah.

Tidak lantas merasa sedih, Shelton justru merasa bersyukur ia bisa tinggal dengan ayahnya. Bahkan, ia berpikir perceraian orang tuanya sebenarnya adalah berkah terselubung.

Perceraian itu memberinya kesempatan untuk tinggal dengan sang ayah yang tidak mempermasalahkan minatnya pada Islam. Sehingga, Shelton bisa mempraktikkan Islam dengan bebas.

Suatu hari, ia menelepon Islamic Leaning Center di Fayetteville, North Carolina, AS. Seorang ikhwan bernama Mustafa kemudian menyuruhnya mengikuti ta’lim (pelajaran) untuk belajar lebih banyak tentang Islam.

Shelton mengungkapkan, semua orang di pusat Islam tersebut begitu ramah dan Mustafa bahkan memberinya tumpangan pulang. Semakin hari Shelton semakin memahami Islam, sehingga menguatkan keyakinannya untuk memeluk Islam secara penuh.

“Setelah tiga pekan pergi ke Jumuah (sholat Jumat) dan ta’lim, saya akhirnya mengucapkan syahadat pada 2 Juli 1995. Sejak saat itu saya menjadi anggota aktif komunitas Islam,” ujarnya.

Shelton merasa bersyukur karena ia bisa menemukan Islam di usia remajanya. Bahkan, ia juga merasa sangat senang lantaran temannya Raphael, orang yang pertama membuatnya tertarik pada Islam, telah kembali pada Islam dengan serius dan mengucapkan syahadat beberapa bulan sebelum ia melakukannya. Kedua sekawan ini kemudian tetap berhubungan meski Raphael berada di Inggris.[]sumber:republika

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita terkait

Berita lainya