Jumat, Oktober 4, 2024

Undangan Resmi: Majlis Khatam...

BANDA ACEH – Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) bersama Halaqah Al-Qur'an Malaysia akan...

Kunjungi Kantor PWI, Pejabat...

BLANGKEJEREN - Pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gayo Lues,...

Siti Nahziah Sebut Gebyar...

SUBULUSSALAM - Pj Bunda PAUD Kota Subulussalam, Hj. Nahziah, S. Ag mengatakan kegiatan...

Tolak Raqan Pemajuan Kebudayaan...

BANDA ACEH - Ratusan seniman, budayawan, serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan di...
BerandaNewsReza Idria: Korupsi...

Reza Idria: Korupsi Bisa Menjadi Senjakala Parlok

BANDA ACEH – “Penangkapan Irwandi Yusuf memberikan implikasi besar terhadap peta politik Aceh.

Menjelang Pemilu Legislatif 2019, Partai Aceh yang sebelumnya diprediksi akan kehilangan dukungan dari masyarakat Aceh setelah Irwandi dan PNA berkuasa mungkin akan menemukan kembali momentumnya. 

Namun dalam skala yang lebih besar, kegagalan Irwandi Yusuf dalam menjaga posisi dan peluang PNA bisa menjadi senjakala partai lokal Aceh menantang dominasi partai politik nasional. Kita simpan nujum itu, untuk melihat apa yang bisa kita pelajari dari kejadian di tahun yang sudah lewat itu”.

Demikian bunyi paragraf ketiga tulisan Reza Idria “Orang Aceh dan Korupsi” dalam kumpulan artikel “Aceh 2018: Masih Gelap dan Sempit?”, Catatan Akhir Tahun 2018 “Poros Darussalam”.

Reza Idria, M.A., adalah Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry.

Menjawab portalsatu.com, 19 Januari 2019, soal pandangannya dalam artikel itu, Reza mangatakan, “Itu pandangan saya sebagai orang Aceh yang pernah berharap pada partai politik dan kepemimpinan yang lahir dari parlok”.

Akan tetapi, kata Reza, ketika Irwandi di OTT KPK, tidak bisa tidak itu adalah bukti nyata bahwa politikus dan parlok Aceh yang lahir setelah perdamaian gagal menunjukkan mereka punya kualitas yang berbeda dari politikus dan parpol nasional.

Ditanya lebih lanjut pandangannya tentang perbaikan tata kelola Pemerintah Aceh pasca-OTT itu, master lulusan Universitas Leiden ini mangatakan, “Tergantung seberapa serius masyarakat Aceh mau belajar dari kasus OTT tersebut. Dalam artikel terlampir saya menyiratkan ada “salah fokus” dalam reaksi masyarakat menyikapi penangkapan”.

Kandidat Ph.D., di bidang Antropologi Universitas Harvard ini melihat secara umum orang Aceh lebih tertarik dengan topik konspirasi, mencari “kambing hitam”, dan seterusnya.

Misalnya, keingintahuan terhadap siapa dan apa peran Steffy Burase lebih mencolok dibanding orang berbicara bahwa korupsi itu perbuatan haram dan mempertanyakan terus menerus kenapa orang bisa korup. “Korupsi menjadi satu hal yang banal, wajar dan hanya orang sial saja yang tertangkap”.

“Tentang hanya orang sial yang tertangkap itu bahkan pernah diungkap oleh seorang politisi. Saya kira ungkapan itu jujur tapi menyedihkan,” ujar Reza.

Reza menilai tata kelola pemerintahan di Aceh dibangun dari politik transaksional, dan itu sudah jadi pengetahuan umum berlaku nyaris di segala lini. 

“Bukan tidak ada orang baik atau orang-orang Aceh yang mencita-citakan pemerintahan yang bersih, tetapi belitan politik transaksional tersebut lebih kuat dari tekad orang baik yang sedikit itu,” tegas Reza Idria.[]

Baca juga: