Senin, September 9, 2024

Persaudaraan Masyarakat Brunei Darussalam...

BANDA ACEH - Berkenaan dengan berita duka cita, telah berpulang ke Rahmatullah seorang...

Peduli Terhadap Anak Yatim, Abu...

SUBULUSSALAM - Pimpinan Pondok Pesantren Babul Khairi, Desa Batul Napal, Sultan Daulat, Abu...

Masyarakat Gayo-Agara Gelar Kesenian...

KUTACANE - Dalam rangka melestarikan tari Saman hingga ke anak cucuk, masyarakat Gayo-Agara...

Panwaslih Aceh Paparkan Hasil...

LHOKSEUMAWE - Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih/Bawaslu) Provinsi Aceh menggelar sosialisasi hasil pengawasan dan...
BerandaRokok Elektrik (Vape)...

Rokok Elektrik (Vape) Vs Rokok Biasa, Lebih Bahaya Mana Bagi Tuan?

Terdapat seribu satu alasan bagi para penikmat rokok elektrik yang sedang menjadi trending topics akhir-akhir ini. Dikalangan dewasa, hampir 80% menggunakan dalih untuk mengurangi frekuensi dan untuk berhenti merokok karena katanya risiko rokok elektrik “notabene” lebih rendah daripada rokok tembakau biasa.

Dalih ini justru mengantarkan mereka pada telaga kenikmatan dan menjadi menu pelengkap dalam merokok, karena dapat digunakan bergantian sesukanya sebagai pelipur lara saat bosan dengan tembakau atau berada pada situasi tidak diizinkan merokok seperti di tempat kerja dan di restoran tertentu yang memiliki kebijakan ketat. Sehingga dibeberapa negara muncul fenomena dual users yaitu menggunakan rokok elektrik dan rokok tembakau secara bersamaan.

Berbeda halnya di kalangan anak muda, rokok elektrik (vape) ini menjadi alasan untuk tampil bergaya dengan varian rasa yang banyak seperti rasa buah, mint dan coklat yang bukan dari golongan nikotin. Tingginya rasa ingin tahu, pengen nyoba, pengaruh teman sebaya, dan dapat digunakan dimana saja karena menganggap barang ini tidak bahaya. Rokok elektrik juga menjadi cara baru penggunaan beragam jenis narkoba seperti ganja, ekstasi, kokain, mefedron, heroin, fentanil, triptamin dan ketamine.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menilai seribu satu alasan tersebut di atas sebagai kamuflase massal di masyarakat, sehingga pemahaman yang salah ini menjadi sebuah kebiasaan dan berujung pada sebuah pembenaran. Sangat fatal dong ya!

Dulunya Rokok elektrik (vape) memang pernah dijadikan sebagai alternatif terapi untuk berhenti  merokok dengan mengurangi kadar nikotin secara bertahap, akan tetapi setelah melalui banyak investigasi dan ditemukan bahwa rokok elektrik (vape) sama bahayanya dengan rokok tembakau, sehingga saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah tidak merekomendasikan rokok elektrik (vape) sebagai alat bantu untuk berhenti merokok alias Nicotine Replacement Therapy (NRT). 

Rokok elektrik (vape) adalah alat yang berfungsi untuk mengubah zat-zat kimia dalam bentuk uap dan mengalirkannya ke paru dengan menggunakan tenaga listrik. WHO mempopulerkannya dengan istilah Electronic Nicotine Delivery System (ENDS). Sementara dipasaran istilah rokok elektrik ini sangat banyak seperti vapour, vape, e-Cig, e-Juice, personal vaporizer (pv), electrosmoke, green cig, smartsmoke, smartcigarette.

Rokok elektrik terdiri dari beberapa komponen yaitu baterai, Atomizer heating element adalah bagian untuk memanaskan dan menguapkan larutan nikotin, Cartdrige or Reservoir yang berisi larutan nikotin atau varian rasa lainnya sebagai pengganti nikotin yang menjadi dalih kuat kalau menggunakan varian rasa ini maka rokok elektrik tidak berbahaya bagi tubuh. Padahal betapapun beragam rasanya, setelah menjalani proses pemanasan dibagian heating element, varian rasa ini akan menjadi uap air (vapour) yang mengandung bahan karsinogen sebagai pemicu kanker dan bahan toksik lainnya seperti heavy metal, silikat, nanopartikel yang dapat merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel tubuh lainnya.

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan pengguna rokok elektrik terbanyak pada kelompok usia sekolah yaitu 10-14 tahun sebanyak 10,6%. Kelompok usia 15-19 tahun 10,5% dan kelompok usia diatas 20 – 24 tahun 7%. Berdasarkan hasil riset Universitas Indonesia pada tahun 2018 didapatkan mahasiswa perokok elektrik berusia 18 tahun-24 tahun mencapai 61,5%.

Sementara pada siswa di Jakarta pada tahun 2018 menunjukkan 51% pengguna rokok elektrik. Dari data diatas dapat ditarik benang merah bahwa anak-anak remaja kita saat ini menjadi target pasar utama industri rokok yang ingin beralih produk untuk menimbulkan candu baru sebagai trend. 

Banyak penelitian telah menyimpulkan bahwa rokok elektrik (vape) mengandung tobacco specific nitrosamines (TSNA) yang bersifat toksik dan diethylene glycol (DEG) yang dikenal sebagai zat karsinogen (pemicu kanker). Rokok elektrik meningkatkan kadar nikotin dan karbon monoksida dalam darah dalam 5 menit penggunaannya dan meningkatkan frekuensi nadi secara signifikan yang dapat mengganggu kesehatan jantung dan pembuluh darah dalam penggunaan jangka panjang.

Rokok elektrik (vape) memang tidak menghasilkan TAR yaitu zat kimia yang dihasilkan dari tembakau yang dibakar, akan tetapi rokok elektrik justru menghasilkan uap aerosol dalam bentuk vapour yang mengandung sejumlah zat kimia berbahaya bagi perokok aktif dan perokok pasif di tempat yang sama.  

Rokok elektrik memiliki potensi bahaya yang sama besar dengan rokok tembakau. Kedua jenis rokok ini mengandung nikotin sebagai penyebab candu, karsinogen penyebab kanker dan bahan toksik lainnya yang menjadi penyebab iritasi/peradangan saluran napas dan infeksi paru-paru seperti bronchitis dan pneumonia.

Rokok elektrik ini juga meningkatkan risiko seseorang terinfeksi tuberkulosis (TBC) karena partikel zat yang dihasilkan dari uap vapour dapat menyebabkan perubahan pada beberapa ekspresi gen salah satunya adalah ICAM4 sehingga memudahkan bakteri TBC menempel pada reseptor permukaan sel makrofag pada tubuh kita.

Berbagai negara di dunia telah menetapkan kebijakan pereadaran rokok elektrik karena terbukti dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahaya rokok eletrik bagi kesehatan baik para penggunanya maupun orang di sekitarnya. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika telah mengumumkan bahwasanya hingga akhir tahun 2019 terdapat 2.172 kasus penyakit paru dan 42 kematian karena rokok elektrik ini.

Amerika Serikat saat ini terus mempertimbangkan larangan rokok elektrik sebagai respons terhadap wabah kematian dan penyakit akibat rokok elektrik. Dua puluh negara di Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara telah melarang kepemilikan dan penjualan produk-produk rokok eletrik. Demikan juga Cina sejak oktober 2019 melarang dan menutup seluruh toko online rokok elektrik (vape).

Ironinya di negara kita sebagai negara dengan tingkat perokok muda tertinggi di wilayah Asia dan sebagai bangsa pasar rokok terbesar kedua di dunia, belum ada penetapan kebijakan tertentu yang dengan tegas mencegah praktik rokok elektrik ini. Pemerintah saat ini masih terus berupaya untuk menghasilkan peraturan pemerintah tentang pelarangan dan pembatasan rokok elektrik.

Sembari menunggu langkah tegas dari pemerintah, ada baiknya kita melakukan beberapa langkah/strategi untuk dapat mencegah diri, remaja dan orang lain di sekitar untuk tidak menjadi candu dan budak rokok elektrik ini. Adapun langkah yang dapat ditempuh yaitu usahakan untuk mengurangi kadar nikotin dalam rokok, kurangi frekuensi merokok, buang saja rokok elektriknya, bila keinginan merokok muncul, pastikan tangan anda sibuk dengan kegiatan lainnya seperti belajar merajut atau bermain game di handphone atau bisa disiasati dengan mengunduh aplikasi mewarnai yang menuntut otak bisa fokus pada hal tertentu.

Bila anda pecinta bola, cobalah membawa bola penghilang stres ke mana pun anda pergi. Bola tersebut bisa anda mainkan kapan pun ketika keinginan merokok kembali muncul.[]

Penulis: Dr. dr. Budi Yanti, Sp.P
Dosen Bagian/SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, FK Unsyiah/ RS Zainoel Abidin Banda Aceh
Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Aceh.

Baca juga: