Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim
(Dosen dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe, dan salah seorang Pimpinan Dayah Ma’had Ta’limul Qur’an (Mataqu) Ustman Bin Affan Lhokseumawe)
Alquran mencatat bahwa yang pertama sekali hijrah dalam sejarah para nabi adalah Ibrahim Alaihissalam. Dalam surah al-Ankabut ayat 24 sampai 27 Allah SWT mengisahkan akhir perjalanan dakwah Ibrahim. Pasca-penghancuran sejumlah berhala sesembahan masyarakat Babilonia (‘Iraq), Ibrahim mendapat hukuman berat dengan cara dilempar ke dalam gunungan api. Namun Allah melindungi nabi-Nya, Ibrahim selamat dari kobaran api besar tersebut. Peristiwa pembakaran itu merupakan puncak dari penolakan masyarakat Babilonia atas dakwah Ibrahim. Beranjak dari itu ia kemudian mengumumkan, “Aku akan berhijrah kepada tuhanku”, (al-Ankabut: 26). Artinya Ibrahim akan pindah dan pergi jauh ke tempat lain yang diperintahkan Allah Swt. Memang ada yang mengatakan bahwa itu ucapan Luth, bukan Ibahim. Namun banyak ulama tidak setuju dengan pendapat tersebut.
Sebelumnya Ibrahim sempat diusir oleh ayahnya, Azar. Dalam pengusiran itu Azar mengatakan, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam (hingga mati), dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama“, (Maryam: 40). Perintah ayahnya, “tinggalkanlah aku” dalam bahasa Alquran tertulis “wahjurni”, yang berasal dari akar kata hijrah. Kalau di-Indonesiakan menjadi “hijrahlah (menjauhlah) kamu dariku”, kira-kira demikian. Agaknya inilah alasan yang membuat Ibrahim kemudian mengucapkan, “Aku akan berhijrah menuju Tuhanku”. Jika demikian, ini dapat menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa ucapan itu milik Ibrahim, bukan ucapan Luth.
Dalam sejarah Islam, hijrah pertama terjadi pada tahun 5 Hijriah. Saat itu sejumlah sahabat yang terdiri dari sebelas laki-laki dan empat perempuan mencari suaka ke Habsyah (Ethiopia). Di antara mereka adalah Utsman bin ‘Affan dan istrinya Ruqayyah, juga ada Abu Salamah dan istrinya Ummu Salamah. Ketika berita keberangkatan Ustman dan istrinya beserta rombongan tersiar sampai ke telinga Rasulullah Saw, seorang perempuan Quraish datang menjumpainya dan berkata, “Wahai Muhammad, aku melihat menantumu dan istrinya”. Nabi bertanya, “Dalam keadaan apakah kamu melihatnya?” Ia menjawab, “Istrinya menaiki keledai, sementara Utsman menuntunnya”. Nabi kemudian bersabda, “Semoga Allah akan menyertai mereka, Utsman adalah orang yang hijrah dengan istrinya setelah Luth”, (HR: Tabarani). Hadis ini sepertinya menguatkan pendapat yang menyatakan Luth adalah orang yang dimaksud dalam surah al-Ankabut 26 di atas, wallahua’lam.
Dalam surah al-Nisa’ Allah berfirman, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, (al-Nisa’: 100). Ayat ini bercerita tentang orang yang berhijrah karena Allah, namun sebelum sampai ke tujuannya ia meninggal duluan. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan salah seorang sahabat nabi yang ingin hijrah ke Habsyah (Ethiopia), namun dalam perjalananya ia digigit ular hingga wafat. Pun begitu, banyak ulama tak setuju dengan riwayat ini, karena menurut mereka surah al-Nisa’ turun di Madinah, sementara peristiwa hijrah pertama ke Habsyah terjadi di awal Islam di Mekkah.
Term hijrah mendapat perhatian istimewa dari Alquran yang disebutkan dalam banyak ayatnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Yang implisit itu seperti firman Allah berikut ini, “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Alquran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, (al-Taubah: 40).
Tidak ditemukan adanya kata “hijrah” dalam ayat di atas, baik dalam teks asal maupun teks terjemahannya. Tetapi hakikatnya ayat tersebut menjelaskan perjalanan hijrah nabi saw yang saat itu ditemani oleh Abu Bakar Siddiq. Diceritakan bahwa nabi saw hijrah belakangan, setelah hampir seluruh kaum muslimin secara diam-diam berangkat terlebih dahulu ke Madinah. Meski demikian, ketika hendak menyusul para sahabatnya, nabi saw tidak serta merta menuju ke arah utara, tempat di mana Madinah berada, tetapi memutar balik ke Selatan Mekkah dan bersembunyi di gua Tsur selama tiga malam. Ini merupakan strategi agar pemuka Quraish tidak bisa melacak keberadaannya yang saat itu menjadi buronan mahal. Beliau dihargai seratus ekor onta bagi yang menemukannya, baik hidup maupun mati. Suraqah bin Malik menjadi satu-satunya yang mampu melacak keberadaan Rasulullah Saw, tapi Allah Swt melindungi nabi-Nya, sehingga Suraqah tak bisa berbuat apa-apa.
Jauh sebelum peristiwa hijrah Rasulullah Saw, Allah Swt telah mengisahkan hijrah fenomenal para pemuda yang juga disebutkan secara implisit dalam Alquran. Mereka dikenal dengan ashabul kahfi. Cerita mereka nantinya menjadi inspirasi bagi nabi saw untuk mengeksodus para sahabatnya ke Habsyah pada tahun lima kenabian. Allah berfirman, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu”, (al-Kahfi: 16). Ayat ini mengisahkan pelarian (hijrah) sekelompok anak muda yang ingin menyelamatkan keyakinan agamanya. Mereka tertidur lebih dari tiga ratus tahun di dalam sebuah gua. Karena itu dekenal dengan ashabul kahfi (para penghuni gua).
Hijrah ke kota Madinah tidak berhenti dengan tibanya nabi ke sana, tetapi tetap berlanjut sampai peristiwa penaklukan kota Mekkah terjadi pada tahun 8 Hijriah. Nabi mulai keluar dari Mekkah dengan maksud hijrah pada malam Jumat bulan Rabi’ul Awwal tahun 14 Kenabian. Malam itu, hingga malam Ahad Baginda bersembunyi di gua Tsur. Pada keesokan harinya, tepat di malam Senin barulah beliau melanjutkan perjalanannya ke Madinah, dan semiggu setelahnya tiba di Quba, tepat pada Senin, tanggal 8 bulan Rabi’ul Awwal. Setelah beristirahat beberapa hari di Quba, nabi saw kembali melanjutkan perjalanannya dan tiba di Madinah pada tanggal 12 bulan yang sama. Sampai detik ini, masih ada sejumlah sahabat yang belum bergerak keluar dari kota Mekkah, terutama perempuan. Berbeda saat hijrah ke Habsyah yang setiap rombongan selalu diikuti oleh kaum perempuan walaupun jumlahnya tak seberapa.
Tercatat dalam sejarah, bahwa perempuan pertama yang hijrah ke Madinah adalah Ummu Kaltsum binti Uqbah bin Abi Mu’ith. Hal itu terjadi pada tahun 7 Hijriah, pasca-kesepakatan damai antara umat Islam dan musyrikin Mekkah di Hudaibiyah. Pada mulanya Ummu Kaltsum hijrah sendirian dengan berjalan kaki ke Madinah. Namun di perjalanan ia bertemu dengan rombongan dari suku Khuza’ah yang merupakan sekutu Rasulullah dalam melawan Quraisy. Keberadaan Ummu Kaltsum yang Islam dan hijrah ke Madinah belakangan diketahui oleh saudaranya Al-Walid dan ‘Ammarah, sehingga ketika sudah di Madinah, saudaranya ini mendatangi rasulullah dan menuntutnya untuk mengembalikan Ummu Kaltsum kepada keduanya. Mereka berdalih dengan syarat yang tertera dalam perjanjian damai antara nabi dan kaum musyrikin Mekkah, hingga akhirnya nabi menyetujuinya.
Salah satu poin kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian Hudaibiyah adalah, bahwa siapa saja dari orang Quraisy yang pergi ke Madinah, nabi harus mengembalikannya ke Mekkah. Menyadari hal itu, Ummu Kaltsum memohon agar ia tidak dikembalikan oleh Rasulullah Saw kepada saudaranya. Ia khawatir akan dihukum dan dipaksa murtad, walaupun pada akhirnya kedua saudaranya ini masuk Islam.
Saat nabi tak bisa berbuat apa-apa di hadapan perjanjian yang telah ia sepakai, Allah turunkan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”, (Mumtahanah: 10).
Ada riwayat menyebutkan, nabi sejak dari awal memang berkeinginan untuk tidak akan mengembalikan Ummu Kaltsum kepada keluarganya, beliau mengatakan, “Syarat itu hanya berlaku untuk laki-laki, tidak untuk perempuan”. Allah kemudian menurunkan ayat di atas untuk memperkuat sikap rasul-Nya. Keinginan Al-Walid dan ‘Ammarahpun pupus seketika itu juga. Saat di Madinah Ummu Kaltsum berumah tangga dengan Zaid bin Haritsah hingga suaminya ini syahid dalam peristiwa Mu’tah. Ia kemudian dinikahi oleh Zubair bin ‘Awwam, namun pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Setelah itu ia menikah dengan Abdurahman bin ‘Auf dan melahirkan untuknya beberapa anak. Pasca-wafatnya Abdurahman bin ‘Auf ia sempat dilamar dan dinikahi oleh Amru bin ‘Ash. Akan tetapi, tidak lama berselang setelah perkawinan ini Ummu Kaltsum wafat. Ada yang mengatakan, hanya sebulan. Ia wafat pada masa khilafah Ali bin Abi Thalib.[]