BANDA ACEH – Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Nurzahri, S.,T, meminta Pemerintah Aceh menjalankan kewenangannya secara serius terkait pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dan Aceh terhadap sumber daya alam minyak dan gas bumi di wilayah provinsi ini.
Kewenangan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Aceh, yang merupakan PP turunan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Untuk melaksanakan pengelolaan bersama itu pemerintah (pusat) dan Pemerintah Aceh sudah membentuk Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi di Aceh (BPMA).
BPMA kabarnya sudah berfungsi sejak dilantiknya kepala badan tersebut, Marzuki Daham, oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada April 2016. Perkembangan terbaru diperoleh portalsatu.com, Menteri ESDM sudah menunjuk Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPMA, Azhari Idris, dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) per 27 Juli 2018. Pasalnya, Kepala BPMA, Marzuki Daham, sudah memasuki batas usia pensiun. (Baca: Siapa Plt. Kepala BPMA)
Jabatan Kepala BPMA sangat strategis. Tugas dan wewenang Kepala BPMA antara lain menandatangani kontrak kerja sama, dan melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sesuai kontrak kerja sama. Hal itu diatur dalam pasal 21 PP Nomor 23 Tahun 2015.
Salah satu kegiatan usaha hulu migas yang sedang berjalan di Aceh dan akan berakhir kontrak pengelolaanya ialah Blok North Sumatera B (NSB) atau sering disebut Blok B. Blok migas ini dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usaha PT Pertamina (Persero) sejak Oktober 2015 setelah mengakuisisi hak kelola perusahaan asal Amerika Serikat, ExxonMobil. Blok NSB tersebut akan berakhir kontrak pengelolaannya pada Oktober 2018. Artinya, sebelum Oktober nanti, akan diteken kontrak baru.
Kementerian ESDM kabarnya memutuskan PT PHE menjadi operator Blok NSB setelah kontraknya berakhir nantinya. Namun, sejauh ini tampaknya belum ada keputusan konkret berapa persen saham partisipasi atau hak kelola (participating interest/PI) yang akan diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah Aceh (BUMD/BUMA) dalam pengelolaan Blok NSB saat kontrak baru itu.
Nurzahri mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi mengenai keputusan perpanjangan kontrak blok migas di Aceh Utara (Blok NSB), termasuk soal Blok North Sumatera Offshore (NSO) kepada PT PHE. Menurut Ketua Komisi Bidang Perekonomian, SDA dan Linkungan Hidup DPRA ini, dalam beberapa kali pertemuan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh waktu itu, pihaknya pernah menyinggung terkait pengelolaan dua blok tersebut. Ketika itu, kata dia, pihaknya juga mengingatkan Pemerintah Aceh serius menangani permasalahan internal BPMA.
“Karena permasalahan internal di BP Migas Aceh, kemudian pemerintah pusat mengambil kesempatan, dalam hal ini dengan cara (memutuskan untuk) memperpanjang itu (kontrak Blok NSB dan NSO). Dan tampaknya ketika itu Pemerintah Aceh agak kurang serius dalam menanggapinya dengan alasan bahwa itu bukan kewenangannya di atas 12 mil. Sebenarnya walaupun di atas 12 mil itu dengan PP Migas yang ada bahwa Aceh mendapatkan 30 persen bagi hasil,” kata Nurzahri, dihubungi portalsatu.com, 2 Agustus 2018.
Nurzahri menyebutkan, perpanjangan kontrak blok migas itu tentunya harus sesuai dengan PP Migas Aceh (PP Nomor 23 Tahun 2015). Kendala yang terjadi selama ini, menurut dia, lebih kepada tidak seriusnya Pemerintah Aceh dalam menangani permasalahan SDA migas.
Menurut Nurzahri, dalam UUPA disebutkan bahwa setiap kontrak baru blok migas, usulan Gubernur Aceh harus melalui persetujuan DPRA. Namun, kata dia, sampai saat ini belum ada pengajuan berkenaan itu dari Pemerintah Aceh kepada DPRA.
Nurzahri melanjutkan, saat kontrak blok migas di Aceh masih ditangani SKK Migas di Jakarta, tidak ada saham partisipasi atau hak kelola bagi Pemerintah Aceh melalui BUMA. Yang ada, kata dia, dana bagi hasil dalam pengelolaan migas. Untuk di atas 12 mil, pemerintah pusat mendapatkan bagi hasil 70 persen dari total keuntungan pada setiap blok, dan Pemerintah Aceh 30 persen.
“Tapi kalau di bawah 12 mil laut sampai daratan, itu 70 persen bagi hasil keuntungannya untuk Pemerintah Aceh. Intinya mereka (Pemerintah Aceh) harus serius dengan cara menyelesaikan permasalahan di internal BP Migas Aceh atau bisa diganti dengan yang baru, dan setelah itu baru kita menganalisis persoalan yang terjadi. Sebagai DPRA, paling kita panggil mereka untuk ditanya progresnya,” ujar Nurzahri.
Disinggung soal perlu atau tidak dilibatkan BUMD milik pemerintah kabupaten yang masuk dalam kawasan blok migas itu agar membawa manfaat lebih besar untuk daerah setempat, Nurzahri mengatakan, jika dilihat dari segi aturan sebenarnya yang diberikan hak bagi hasil adalah Pemerintah Aceh. Sedangkan perusahaan daerah itu konteksnya bisnis. Namun, menurut dia, BPMA atau Pemerintah Aceh dalam hal ini bisa saja memberikan persyaratan, siapapun pemegang kontrak blok migasnya wajib bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat melalui BUMD-nya.
“Kalau masalah ada perusahaan daerah yang terlibat itu konteksnya bisnis, cuma BUMD tersebut (jika dilibatkan dalam pengelolaan) tentunya lebih mudah dalam berkomunikasi dengan pihak investor. Intinya Pemerintah Aceh yang harus serius berkenaan itu,” ujar Nurzahri.[]