Jumat, Juli 26, 2024

12 Partai Deklarasi Dukung...

LHOKSEUMAWE – Sebanyak 12 partai politik nonparlemen di Kota Lhokseumawe tergabung dalam Koalisi...

Keluarga Pertanyakan Perkembangan Kasus...

ACEH UTARA - Nurleli, anak kandung almarhumah Tihawa, warga Gampong Baroh Kuta Bate,...

Di Pidie Dua Penzina...

SIGLI - Setelah sempat "hilang" cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Pidie saat...

Pj Gubernur Bustami Serahkan...

ACEH UTARA - Penjabat Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, didampingi Penjabat Bupati Aceh Utara,...
BerandaBerita LhokseumaweSosiolog Politik Unimal:...

Sosiolog Politik Unimal: Pertarungan Caleg Modal Uang, Sulit Terpilih Dewan Ideal

LHOKSEUMAWE – Sosiolog Politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Dr. Nirzalin, M.Si., menilai anggota dewan yang ideal hanya bisa terpilih jika masyarakat antisuap. Nirzalin menyebut saat ini menjadi calon legislatif (caleg) bukan pertarungan ideologis, tapi modal uang. Itulah sebabnya, sangat sulit terpilih orang yang modal uangnya kecil, tapi punya kekuatan ideologis.

“Kalau bicara wakil rakyat, ini sebenarnya (bikin) pusing untuk Indonesia, bukan hanya Aceh. Karena biaya politik untuk menjadi wakil rakyat itu besar sekali,” kata Nirzalin menjawab portalsatu.com di Lhokseumawe, Kamis, 27 April 2023.

Nirzalin menyebut selama ini untuk menjadi anggota dewan tingkat kabupaten/kota, biaya politik yang dikeluarkan rata-rata Rp300 juta sampai Rp400 juta. Kalau untuk legislator provinsi, jumlahnya empat atau lima kali lipat dari itu, dan anggota DPR RI bisa mencapai miliaran rupiah.

“Karena kayak gitu, kita sulit berharap anggota dewan di Indonesia, tidak hanya di Aceh, untuk benar-benar membuat kebijakan tanpa kepentingan pragmatis ekonomi dalam setiap dia menyetujui anggaran,” ungkap mantan Ketua Pusat Studi Ekonomi, Sosial dan Politik (Puskospol) Unimal ini.

Menurut Nirzalin, kita baru betul-betul bisa berharap terpilih anggota dewan yang ideal pada dua aspek. Pertama, semua biaya kampanye ditanggung oleh negara. “Jadi, tidak boleh ada caleg mengeluarkan uang serupiah pun untuk spanduk saja, semuanya disediakan negara, seperti yang terjadi di Amerika,” tuturnya.

Kedua, penegakan hukum yang tegas terhadap money politic (politik uang) dan penggunaan biaya politik di luar tanggung jawab negara. “Selama biaya kampanye dibebankan kepada personal, maka enggak mungkin kita memperoleh anggota dewan yang ideal. Karena banyak sekali teori-teori sosiologi politik yang menyebutkan tidak mungkin ada demokrasi di negara yang miskin, enggak mungkin. Karena di negara miskin pasti akan tumbuh oligarki, pasti tumbuh otoritarianisme, pasti tumbuh KKN, termasuk dalam politik praktis,” ujar Doktor Sosiologi lulusan UGM Yogyakarta ini.

“Maka anggota dewan, termasuk kepala daerah dan presiden, itu hanya bisa terpilih yang ideal kalau masyarakatnya antisuap, antimobilisasi dengan uang,” ungkap Nirzalin.

Nirzalin menegaskan untuk memenuhi itu semua syaratnya ada dua. “Pertama, negara kita menjadi negara maju. Berarti harus tunggu 2045, kalau prediksi saya terbukti ketika pertumbuhan ekonomi kita mulai 2030 bisa di angka 8 sampai 10 persen. Tahun 2045, ‘we will be development countrys’, kita punya APBN sampai Rp10 ribu triliun. Pasti itu mampu membiayai kalau sudah 10 ribu triliun”.

Kedua, kata Nirzalin, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membuat pendapatan perkapita rakyat besar. Sehingga, anggota dewan tidak akan bisa menyogok pemilih hanya dengan Rp100 ribu atau Rp200 ribu.

“Ketika masyarakat kenyang, kaya, maka dia tidak bisa disuap dengan money politic. Kalau dalam teori-teori politik kuno yang dibangun oleh Aristoteles, Plato, Montesquieu dan sebagainya, jika perut rakyat kenyang dia akan memilih dengan bijaksana. Memilih dengan bijaksana artinya pilihan politik dilandasi dengan spirit ideologis dan pandangan futuristik,” ujar Nirzalin.

Namun, menurut Nirzalin, yang terjadi saat ini para pemilih mengatakan, “what i want to be after five years, setelah lima tahun saya jadi apa, kalau memilih Anda?” Into the biges chalengges for Indonesia (kondisi tersebut menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia)”.

“Jadi, untuk 2024, bukan saya pesimis, berharap anggota dewan yang ideal terpilih, tipis. Seluruh Indonesia, bukan hanya di Aceh. Karena masyarakat mengkalkulasi, ‘nanti setelah saya pilih dia, dia kaya, saya tetap begini. Oleh karena itu, lebih baik saya ambil sekarang uang dia 100 ribu, 200 ribu, daripada nanti enggak dapat apa-apa’, ke sana analogi masyarakat akar rumput kita,” ujar Nirzalin.

Nirzalin melihat untuk menjadi caleg sekarang ini bukan pertarungan ide, bukan pertarungan ideologis, dan bukan pertarungan identitas, tapi pertarungan modal uang. “Siapa yang modal uangnya banyak dia akan terpilih. Sulit sekali terpilih orang yang modal uangnya kecil tapi punya kekuatan ideologis,” ungkap Ketua Program Magister Sosiologi Unimal ini.

Makanya, kata Nirzalin, kemajuan Indonesia tahun 2045 mendatang tantangannya nanti ada di situ. “Dan kita berharap, presiden yang terpilih pada 2024 didukung oleh kekuatan politik yang besar, dan dia berani tidak seluruhnya manut sama pendukung politiknya, tapi melaksanakan sesuatu sesuai ideologi negara,” tegas Nirzalin.

Baca juga: Aceh Antara Anies dan Ganjar, Ini Kata Sosiolog Politik Unimal.[](nsy)

Baca juga: