LHOKSEUMAWE – Sosiolog Politik Universitas Malikussaleh (Unimal), Dr. Nirzalin, M.Si., menilai suara pemilih di Aceh pada Pemilihan Umum Presiden Indonesia tahun 2024 akan terbelah untuk Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Seperti diketahui, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 21 April 2023 mengumumkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden (capres) dari partainya. Sebelumnya, 24 Maret 2023, Partai NasDem, Demokrat, dan PKS mendeklarasikan Koalisi Perubahan untuk Persatuan dan mengusung Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta sebagai bakal capres.
Ditemui portalsatu.com di Lhokseumawe, Kamis, 27 April 2023, Nirzalin mengatakan Pemilu 2024 menjadi sesuatu yang paling penting dan ditunggu. “Karena keterpilihan pemimpin yang benar, the right man on the right place, terutama presiden kalau di tingkat pusat, gubernur di tingkat provinsi, dan bupati/wali kota di kabupaten/kota, itu akan menentukan apakah kita bisa menjadi negara maju di 2045 atau tidak,” ujarnya.
Nirzalin menyebut tahun 2024 sampai 2029 adalah masa transisi di mana Indonesia menuju bonus demografi. “Jadi, bonus demografi di 2030-an itu akan membuat Indonesia memiliki tenaga produktif (penduduk usia produktif) jauh lebih besar dibanding yang nonproduktif”.
“Karena itu, belajar dari kasus Korea Selatan di tahun 1980-an ketika bonus demografi mereka peroleh, pertumbuhan ekonominya bisa dikerek di angka 7 sampai 10 persen. Indonesia jika kita lihat statistik pertumbuhan ekonomi sekarang potensial meraih itu di periode 2030-an,” tutur Nirzalin.
Menurut Nirzalin, kalau selama 10 tahun berturut-turut pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 10 persen, tanpa disrupsi, apakah karena kekacauan politik atau barangkali aspek-aspek biologis seperti covid, maka Indonesia pasti menjadi negara maju di tahun 2045.
“Karena itu, kita harus memilih pemimpin yang benar. Di tingkat nasional, presidennya harus mempu menciptakan blue print, kebijakan yang bisa men-support itu, begitupun di provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, yang harus disiapkan adalah di 2030-an kita berbicara pada sumber daya manusia. Karena infrastruktur itu harus kita siapkan secara baik hingga 2029,” kata Nirzalin.
Nirzalin menyebut sampai tahun 2029, tiga infrastruktur penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka menyambut bonus demografi di 2030-an adalah listrik, air, dan jalan. “Karena itu, kalau kita lihat apa yang dilakukan Pak Jokowi dalam lima tahun terakhir prosesnya sebetulnya ke sana. Jadi, siapapun presiden terpilih nanti harus melanjutkan konektivitas dan ketersedian tiga aspek tersebut,” ucapnya.
Lantas, bagaimana dengan suara pemilih di Aceh?
“Kalau di Aceh, tentu akan bingung memilih dua calon ini, Anies dan Ganjar, dan dua-duanya kebetulan berasal dari (lulusan) UGM. Kalau Prabowo, saya kira tidak lagi memiliki elektabilitas yang cukup di Aceh, karena elektabilitas Prabowo yang sangat tinggi di pemilu sebelumnya itu lebih karena sentimen keagamaan,” kata Doktor Sosiologi lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
“Kalau sekarang, antara Anies dan Ganjar itu punya satu aspek yang saling mengait. Katakan misalnya Anies representasi dari identitas keagamaan. Tetapi, Ganjar juga tidak bisa diabaikan, karena istri Ganjar (Siti Atikoh) itu anak Kiai NU (Nahdlatul Ulama). Ini akan memecah suara Anies di Aceh,” ungkap Nirzalin.
Menurut Nirzalin, kelompok dayah tradisional yang afiliasi organisasinya NU, ini akan sulit tidak memilih Ganjar kalau Ketum NU di Jakarta memerintahkan. “Ini pilihan sulitnya,” ucap dia.
“Tentu kalau saya lihat, Anies kemungkinan dia akan menang di Aceh, tetapi tidak bisa mutlak kayak menang Prabowo pada pemilu sebelumnya. Anies akan menang terutama dari pemilih Islam yang agak fanatik tapi non-NU, terutama yang bukan lulusan dayah salafi. Tetapi, Ganjar akan memperoleh suara dari birokrasi, karena dia hari ini Ketua Umum Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada periode 2019-2024),” tutur Nirzalin.
Nirzalin menyebut hampir semua lulusan UGM itu PNS di Aceh, dan memimpin birokrasi, kecuali gubernur. “Beberapa jabatan strategis di Aceh itu pimpinannya alumni UGM, sangat mungkin dia (para birokrat itu) akan mengarahkan, meskipun dia tidak boleh terlihat berpolitik praktis,” ujarnya.
Selain itu, kata Nirzalin, Ganjar akan memperoleh suara dari kelompok Islam tradisional kalau dimobilisasi Ketum NU. “Jadi, ketika Ganjar sudah resmi dicalonkan, suara Anies itu jadi pecah. Kalau Ganjar tidak maju, saya kira akan solid (suara untuk Anies) seperti kasus Prabowo,” katanya.
“Kemudian, orang-orang yang Kagama struktural itu tadi sangat membutuhkan menangnya Ganjar. Mengapa? Karena keterikatan dengan presiden, sumbangan politik terhadap presiden, ini akan menentukan posisi mereka. Itu soalnya, makanya ini dilema,” ungkap Nirzalin.
Lalu, dalam konteks kepentingan atau aspek politik Aceh yang masih banyak tuntutan terhadap Pemerintah pusat, misalnya soal revisi UUPA, apakah Ganjar dan Anies akan mengakomodir itu jika salah satunya terpilih sebagai presiden?
“Kalau sudah aspek politik itu, saya kira kedua capres itu, Anies ataupun Ganjar, ini tidak bisa memberikan jaminan. Kalau Anies sendiri kita tidak melihat track record-nya menyelesaikan konflik lalu mengakomodasi kepentingan intrik politik dalam konteks ini,” kata Nirzalin.
“Kalau Ganjar, saya kira akan bertindak persis seperti Jokowi. Itu dari sisi kepentingan UUPA dan sebagainya. Artinya bahwa sangat mungkin tuntutan bendera, macam-macam, itu akan dipetieskan. Itu sangat mungkin kalau aspek itu. Karena di Jakarta, yang saya amati, ada kecendrungan elite politiknya menganggap persoalan Aceh sudah selesai. Jadi, enggak mau dibahas lagi,” ungkapnya.
Namun, Nirzalin menilai kalau berbicara untuk kemajuan Indonesia termasuk Aceh, kedua-duanya sebenarnya relatif bagus. “Terpilih Anies maupun Ganjar secara nasional sama-sama bagus kalau konteks penyiapan Indonesia maju 2045”.
“Karena Anies konseptor, dia orang cerdas, di belakang dia ada Jusuf Kalla yang memberi support kuat, ada orang-orang HMI yang intelektual. Kemampuan dia mengimplementasi program, kita juga sudah lihat saat dia menjadi Gubernur DKI Jakarta, lumayan baik,” ujar Nirzalin.
Sedangkan Ganjar, kata Nirzalin, “Saya kira akan fotokopi Jokowi. Artinya, konsep mungkin tidak terlalu ini, tapi Ganjar itu orang yang melaksanakan konsep secara serius. Ketika mengambil kebijakan, dia akan berusaha untuk mengimplementasikan secara optimal”.
“Apa yang dia lakukan di Jawa Tengah, kita bisa lihat, meskipun ada banyak yang kritik karena angka kemiskinan di Jawa itu tertingginya di Jawa Tengah. Tetapi, tentu kan tidak bisa langsung 100 persen harus disalahkan dia, karena kita harus lihat bagaimana dia mewariskan kemiskinan dari gubernur sebelumnya. Namun, ada banyak aspek yang dia sudah selesaikan. Kalau untuk infrastruktur, seperti fotokopi Jokowi, dia akan lanjutkan tol, dan sebagainya,” pungkas Nirzalin.[](nsy)