Kamis, September 19, 2024

Aceh Tambah Medali Perunggu...

KUTACANE - Tim arung jeram Aceh menambah medali perunggu dari nomor lomba Slalom...

Aqil Fadhillah Pimpin Gapensi...

SUBULUSSALAM - Aqil Fadhillah Aradhi dipercayakan memimpin Gabungan Pelaksana Kontruksi Nasional Indonesia (Gapensi)...

Diwarnai Protes Sumut, DKI...

KUTACANE - Kontigen Sumatera Utara melayangkan protes keras terhadap DKI Jakarta terkait adanya...

Polisi Gayo Lues Akan...

BLANGKEJEREN - Akun-akun palsu di media sosial facebook mulai bermunculan di Kabupaten Gayo...
BerandaTeori Pendidikan Kita...

Teori Pendidikan Kita Jangan Salah Kaprah

Oleh: Muslem*

Sebuah fakta bahwa Indonesia telah merdeka dan bebas dari cengkeraman penjajah, baik itu dari kolonial Belanda atau Jepang. Namun, itu bukan berarti pembangunan bangsa telah usai. Sampai pada detik ini, perlu disadari bahwa perjuangan belumlah berakhir. Adapun perjuangan yang terbesar adalah perjuangan membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada sang Khaliq.

Salah satu kunci yang memiliki peran besar untuk melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa adalah pembangunan di bidang pendidikan sebagaimana telah dipraktikkan pada masa kejayaan Islam yang pernah ada dan yang akan ada seperti di Turki saat ini dengan berbagai kebijakan di bidang pendidikan.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melakukan diagnosis, dan ini penting, bak seorang dokter yang hendak mengobati penyakit pasiennya, langkah pertama yang ia tempuh adalah mendiagnosis penyakit.

Sama halnya, jika kita ingin memperbaiki pendidikan kita, tentu kita akan beranjak dari diagnosis terlebih dahulu yang selanjutnya baru meramu obat sesuai dengan penyakit pendidikan kita. Pernyataan pendidikan kita sedang sakit dapat kita lihat dari nyanyian-nyanyian realitas hasil dari tempahan satuan pendidikan tertentu yang pernah dipublikasikan oleh media publik.

Pemikiran Guru Besar

Penulis akan memulai dengan pertanyaan, “Siapa guru besar kita?” dan ini tidak dilihat dari lebel apakah itu sekolah negeri, swasta, agama, atau sekolah di bawah Kemendiknas atas Kemenag, atau Islamic Building School dan lain sebagainya. Penulis tidak akan memilah-milah lebel, tetapi sekali lagi yang harus kita tanyakan adalah siapakah guru besar kita dalam dunia pendidikan?

Penting bagi kita, terlebih bagi para pendidik untuk melihat siapa guru besar pendidikannya, bahkan dengan teori-teori dari gurunya itu dengan lezat seorang guru terus menerapkan dalam mendidik generasi-generasi bangsa ini. Akibatnya, tanpa disadari bisa jadi perilaku-perilaku nir-etika dari orang terpelajar (anak didik) selama ini yang pernah ditayangkan di media adalah hasil dari teori-teori guru besar yang selama ini terus dipertahankan oleh para pendidik kita.

Berikut penulis sebutkan 3 nama yang dianggap ahli pendidikan dan dapat dipastikan pada setiap kampus yang memiliki Jurusan Tarbiyah atau FKIP tidak asing dengan nama-nama mereka, yaitu Ivan Petrovich Pavlov atau lebih dikenal dengan Pavlov, Jean Jacques Rousseau atau yang lebih dikenal dengan JJ. Rousseau, dan Johan Heinrich Pestalozzi atau lebih dikenal dengan Pestalozzi.

Pertanyaannya, ada apa dengan tokoh-tokoh pendidikan tersebut? Yang kemudian menyebabkan teori-teori mereka “dimakan” habis-habis oleh mahasiswa-mahasiswa yang kemudian menjadi guru yang selanjutnya guru-guru tersebut mendidik generasi ke generasi berikutnya.

Kita coba ke Pavlov dengan teori Classical Conditioning-nya. Bersama kita ketahui bahwa teori Classical Conditioning ini ia simpulkan dari hasil eksperimennya dengan seekor anjing. Teori ini mengajarkan pentingnya stimulus untuk melahirkan respons yang kemudian dikembangkan menjadi studi perilaku (behavioral study) oleh Gagne dan Berliner. Orang Rusia ini juga dijuluki sebagai Bapak Psikologi dari hasil eksperimennya tersebut di mana di saat seekor anjing akan mengeluarkan air liur itu disebut sebagai respons atas munculnya makanan sebagai stimulus.

Selanjutnya, kita coba memusatkan perhatian pada sosok Pestalozzi. Tahukah Anda, selain dikenal sebagai bapak sekolah rakyat atau pendidik rakyat, ia juga dikenal sebagai pencetus teori-teori belajar anak usia dini. Di Indonesia teorinya begitu disanjung-sanjung karena ia mengecam metode hafal (menghafal). Tentu saja pemikirannya itu dipengaruhi oleh JJ. Rousseau (Pakar Teori Perkembangan Anak) yang hidup seabad dengannya.

Patutkah Dijadikan Guru Besar

Baiklah, kita kembali ke Pavlov, pernahkah kita selaku mahasiswa dan khususnya pendidik mempertanyakan cocokkah teori Classical Conditioning dari hasil uji coba pada seekor anjing, kemudian diterapkan pada manusia? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing dan tidak sekedar pada “tidak sesuai atau sesuai”. Tapi perlu bagi kita semua untuk menilik akan perbedaan-perbedaan yang sangatlah mendasar antara struktur yang ada pada diri manusia dan seekor binatang. Hal ini pernah penulis rasakan dan pertanyakan pada dosen selaku pendidik, tetapi tidak ada jawaban yang konkret.

Selanjutnya, pertanyaan kembali menyelimuti pikiran penulis khususnya, bahkan sangat memungkinkan juga pikiran para pembaca, apakah yang menjadi penolakan dari Pestalozzi terhadap metode menghafal. Apakah metode menghafal itu akan menjadikan seorang anak kemudian hari bodoh karena pemerasan otak di masa kecil. Bahkan, ada juga sebagian dengan istilah halusnya mengatakan metode menghafal itu tidak ramah otak, apa lagi untuk anak-anak yang masih kelas I Sekolah Dasar.

Penulis sendiri tidak mengetahui apa yang melatarbelakangi pemikiran Pestalozzi untuk tidak menerapkan metode menghafal. Bisa jadi karena dalam Kristen tidak ada anjuran menghafal injil ataukah Pestalozzi sendiri di masa kecilnya hanya suka menggunakan imajinasi, bahkan saat kecil ia tidak suka pada dunia sekolah dengan tugas-tugas dan menghafal, tapi ia lebih cenderung menyendiri dan berimajinasi sehingga kemudian hari ia dijuluki “Heinrich Bodoh dari Kota Aneh”.

Sekali lagi, bila diasumsikan bahwa metode menghafal “tidak ramah otak” apa lagi untuk anak-anak kelas I (umur 6-7 tahun). Padahal dalam pendidikan Islam, menghafal merupakan konsep dasar sehingga hati anak-anak tidak kosong. Hal ini telah dibuktikan dengan lahirnya tokoh-tokoh besar Islam yang dari masa kecilnya penghafal seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Ibnu Mas’ud, Zaid Ibnu Sabit, Ibnu Taimiyah, dan masih banyak lainnya.

Apa yang menjadi kekhawatiran kita jika ilmu itu tidak ada dalam otak atau hati. Tentu saja akan sangat membahayakan generasi-generasi yang sedang dididik sekarang karena dengan kekosongan ilmu dalam otak dan hati, terus mereka mencoba menganalisis suatu fenomena. Pertanyaannya, apakah ini bisa mereka lakukan, apa yang akan dianalisis olehnya? Inilah kekeliruan yang dibangun dalam kerangka proses pembelajaran selama ini. Seharusnya mahasiswa dan pendidik khususnya, serta pakar pendidikan Indonesia mengembangkan konsep-konsep yang telah dibangun oleh ahli pendidikan Islam dulunya.

Penulis sendiri bukan anti terhadap teori-teori Barat, tapi Islam punya tools dan tools Islam lebih lengkap dan kuat nilai-nilainya, serta nilai-nilai ini akan abadi sampai akhir. Tools ini telah dibuktikan oleh tokoh-tokoh Islam yang penulis sebutkan di atas. Kekhawatiran kita akan semakin mencapai ambang batas dikala melihat kerangka proses pembelajaran yang dibangun (pendekatan pembelajaran) dalam sebuah kurikulum saat ini.

Sebut saja, proses pembelajaran ilmu itu harus memenuhi keilmiahan, kemudian rasional, baru dikaitkan dengan dalil-dalil agama. Jika ini tools ini terus berlanjut diterapkan, tentu sangat membahayakan cara berpikir generasi kita sehingga akan melemahkan iman dan takwanya.

Padahal dalam proses pembelajaran (kurikulum) Islam, pendekatan yang digunakan diawali dengan nash al-Qur’an dan Sunnah. Pastinya setiap yang dikabarkan dalam Alquran dan Sunnah memiliki kebenaran yang mutlak serta dengan sendirinya keilmiahan dan kerasionalan suatu ilmu mengikuti apa yang termaktub dan Alquran dan hadis. Model ini juga akan semakin memperkuat iman dan takwa generasi masa depan bangsa serta memperbaiki pola pikir mereka.

Jika ini teori-teori belajar selama ini dan setelah kita diagnosis teridentifikasi bermasalah, diperlukan sebuah tindakan nyata dari berbagai pihak dengan melihat ruang-ruang yang sehat untuk digunakan sehingga apa yang pernah disampaikan oleh Muhammad Quthb tidak terjadi. Ia mengatakan bahwa ilmu yang paling dominan dimasuki oleh Yahudi adalah ilmu pendidikan dan psikologi, dan kedua jalur ini sedang mereka kerjakan dan bisa dikatakan akan berhasil sempurna jika kita terus larut menelan teori-teori pendidikan yang bukan dari Islam.

Jika salah kaprah (artinya: kesalahan yang telah sering digunakan sehingga orang menganggap hal itu benar) karena sistem demokrasi dalam pemilihan yang kita terapkan untuk memilih seorang pemimpin, tentu masih ada peluang besar untuk kita perbaiki dan masa menunggunya pun tidak lama (5 tahun). Namun, jika sikap salah kaprah dalam menganut teori pendidikan yang kemudian digunakan untuk mendidik generasi, kita akan membutuhkan waktu yang lama (63 tahun) untuk melahirkan generasi-generasi yang dididik dengan konsep-konsep pendidikan Islam. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam.

 

*Penulis adalah alumnus Bustanul ‘Ulum Langsa, Dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam dan Program Officer di LSM BYTRA-Aceh.

Baca juga: