Karya: Taufik Sentana*
Diantara pelajaran yang bakal tak pernah selesai dipelajari adalah belajar bahagia.
Kita menyelaraskan bahagia dengan capaian, perasaan, pikiran, penerimaan dan respon.
Semakin berakal dan semakin pandai kita, semakin kita menyangka dan percaya, bahwa kita akan bahagia sesuai keinginan semata.
Orang orang modern terus belajar bahagia lewat “hukum yang tak tampak”, realitas di luar diri manusia, katakanlah semacam kausalitas, gaya-tarik, panggilan semesta.
Itu terjadi karena mereka, manusia modern itu (terpelajar, sunyi dan kosong), menggunakan batasan batasan akal yang memang terbatas, walau mestinya Akal juga bisa sampai pada Hukum si Pemilik Bahagia itu.
Maka muncullah ajaran Langit lewat misi para Nabi dan Rasul guna menyelaraskan makna belajar bahagia, dalam batasannya yang universal, nilai moril dan melampaui fisikal.
Mazhab yang paling berani mungkin mengatakan, bahwa manusia mencipta kebahagiaannya sendiri. Tapi dapatkah manusia Menguasai Otoritas/Kemutlakan di luar dirinya? Bagaimana dia bisa menjamin kebahagiaannya, sementara perjalanan dirinya saja tidak dapat dia “nalar” secara utuh.
Singkatnya, manusia hanya bisa menempuh jalan bahagianya sesuai nilai yang ia yakini, mengikuti alur HukumNya dan melampaui bahagia majazi.
Kelak, si manusia akan memahami haqqul yaqin bahwa ada Kebahagiaan Tinggi yang Dijanjikan itu.[]
*Peminat sastra sufistik
Menetap di Aceh Barat.