Selasa, September 17, 2024

Sambut Maulid Nabi, Jufri...

ACEH UTARA - Menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1446 Hijriah atau...

Panitia Arung Jeram PON...

KUTACANE - Panitia Pertandingan Cabang Olahraga Arung Jeram PON XXI Aceh-Sumut melarang belasan...

Salahkah Jika Tak Mampu...

Oleh: Muhammad Syahrial Razali Ibrahim, Ph.D., Dosen Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe Perbincangan seputar kompetensi...

Pengunjung Padati Venue Arung...

KUTACANE - Ribuan pengunjung dari berbagai daerah mendatangi arena arung jeram Pekan Olahraga...
BerandaBid’ahkah Shalat Nisfu...

Bid’ahkah Shalat Nisfu Syakban?

Oleh: Helmi Abu Bakar el-Langkawi<!–EndFragment–>

Syakban merupakan salah satu diantara bulan yang banyak mempunyai kelebihan. Dalam bulan syakban terdapat malam yang mempunyai nilai lebih diantara malam lainnya yakni Nisfu Syakban (malam ke 15 bulan Syakban). Banyak ibadah yang disunatka pada nisfu syakban baik shalat sunat,puasa, membaca al-Quran dan lainnnya. Menghidupkan malam Nisfu Syakban sudah menjadi tradisi dikalangan umat islam. Kontroversi pun muncul menanggapi berbagai ibadah dalam memuliakan dan menghidupkan Nisfu Syakban. Tidak sedikit orang yang menuduh shalat pada malam nisfu syakban sebagai ibadah bid’ah. Tentu saja tujuan mereka menuduh dengan ungkapan tersebut dengan niat yang baik untuk membersihkan ibadah dari label Bid’ah dan mengembalikan agar ibadah yang dilakukan sesuai sunah Rasul. Alasannya sangat sederhana sebab shalat Nisfu Sya’ban tidak pernah dikerjakan pada masa Rasulullah SAW. Benarkah demikian?

Dalam surat Ad-Dukhan ayat 3-4 berbunyi: “Sesungguhya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segalaurusan yang penuh hikmah”(QS.Ad-Dukhan:3-4). Para ulama dalam menafsirkan kata “Malam yang diberkahi” berbeda pendapat. Sebagaian ulama menyebutkan malam tersebut dengan  malam Lailatul Qadar dan ini pendapat jumhur ulama. Namun ada juga yang berargumen dengan malam Nisfu Syakban. Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan :“Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud Lailah Al Mubarakah itu adalah malam nishfu sya’ban. Di malam itu Allah menentukan semua urusan dalam peristiwa setahun, menghapus nama-nama orang dari daftar calon orang meninggal dan mencatat nama-nama orang yang akan melaksanakan haji tanpa ditambah atau dikurangi. Utsman bin Mughirah meriwayatkan hadis, Rasulullah  bersabda, “Ajal ditentukan dari satu Sya’ban ke bulan Sya’ban berikutnya, hingga seseorang menikah, dikaruniai anak dan namanya dikeluarkan dari orang-orang yang akan meninggal” (HR Ibnu Abi Dunya dan Al Dailami). Qadli Abu Bakar bin Al Araby berkata : Para Ulama’ mengatakan bahwa malam tersebut adalah Lailatul Qadar”. (Tafsir al-Qurtúbi, XVI/85)

Dalam menghidupkan malam Nisfu Syakban, banyak hadist yang megupas tentang dianjurkan shalat pada malam nisfu syakban walaupun derajat hadistnya dhaif. Disamping juga ada hadist diatas hadist dhaif dengan disokong dalil lainnya sehingga prediketnya berubah menjadi hasan atau sahih lilhairih. Diantara hadist tersebut seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,berbunyi: “Apabila tiba malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena (rahmat) Allah SWT akan turun ke langit dunia pada saat tersebut sejak terbenam matahari dan Allah SWT berfirman : “Adakah ada orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampunkan, adakah yang meminta rezeki, maka akan Ku berikan rezeki untuknya, adakah orang yang terkena musibah maka akan Aku lindungi, adakah sedemikian, adakah sedemikian, hingga terbit fajar”.(HR.Ibnu Majah, dalam Kitab Sunan Ibn Majah, Ibnu Majah I:444). Para ulama menyebutkan hadist diatas berposisi pada level dhaif namun masih dalam katagori masih dapat untuk beramal alias tidak terlalu dhaif. Dalam hadist lain juga disebutkan : “Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah muncul (ke dunia) pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni seluruh makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang dengki dan iri kepada sesama muslim” (HR. Ibn Majah, no hadits 1140). Dalam riwayat yang lain disebutkan dari Utsman bin Abil Ash, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila datang malam Nishfu Sya'ban, Allah berfirman: “Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik” (HR. Baihaqi). Rasulullah dalam hadist yang lain juga bersabda : “Aisyah berkata “Pada suatu malam, saya kehilangan Rasulullah. Setelah saya keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’ seraya menengadahkan kepalanya ke langit, beliau berkata “Apakah kamu takut Allah dan Rasulnya mengabaikanmu?”. Aisyah  berkata “Saya tidak memiliki ketakutan itu, saya mengira engkau mengunjungi sebagian di antara istri-istri engkau”. Nabi berkata “Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam Nishfu Sya’ban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb”. (HR Turmudzi no 670, dan Ibnu Majah no 1379). Berdasarkan hadist yang disebutkan diatas, tidak berlebihan apabila para ulama berpegang teguh dalam memuliakan nisfu Syakban dengan berbagai  ibadah ibadah termasuk shalat pada malamnya dan berpuasa pada siangnya dan lainnya. Juga sebagai dalil untuk membantah para ulama tidak mempunyai dalil yang kuat dalam memuliakan malam nisfu dengan bermacam ibadah termasuk juga shalat sunat.

Syekh Ahmad bin Hijazi dalam kitab Tuhfat al-Ikhwan menyebutkan bahwa shalat sunat pada malam Nisfu Syakban dengan tiada batasan jumlah rakaatnya juga dapat dilakukan sendiri dan berjamaah, lebih lanjut ungkapan beliau berbunyi :”Dan kesimpulannya bahwa menghidupkan malam nishfu Sya’ban disunatkan karena adanya beberapa hadits. Menghidupkan malam nishfu Sya’ban dapat dilakukan dengan shalat dengan tiada penentuan bilangan rakaat secara khusus, membaca al-Qur`an secara sendiri, berzikir, berdoa, bertasbih, bershalawat kepada Nabi secara sendiri dan berjamaah, pembacaan hadits, mendengarkannya, mengadakan pengajaran dan majelis bagi tafsir dan penjelasan hadits dan membicarakan kelebihan malam ini, menghadiri dan mendengarkan majlis tersebut dan amalan ibadah yang lain”. (Kitab Tuhfat al-Ikhwan Fi Qiraat al-Mi`ad Fi Rajab Wa Sya’ban, Ahmad bin Hijazi AlFasyani: II: 60).

Diantara shalat yang dilakukan oleh para ulama yang disunatkan adalah : Pertama, Shalat Awwabin. Imam al-Zabidy, beliau menyebutkan bahwa para ulama khalaf  dulu melakukan rutinitas ibadah pada malam nishfu Sya’ban berpedoman dari para ulama sebelumnya dengan melaksanakan shalat yang dikenal dengan Awwabin. Shalat ini jumlanya enam rakaat, dikerjakan setelah shalat Maghrib dan sebelum Isya, setiap dua rakaat satu kali salam. Pada tiap rakaat dibaca surat al-Fatihah dan al-Ikhlash sebanyak enam kali. Tiap selesai dari dua rakaat dilanjutkan dengan membaca surat Yasin, kemudian membaca doa nishfu Sya’ban yang masyhur. Pada pembacaan surat Yasin kali pertama, diniatkan supaya Allah SWT memberikan keberkahan umur. Pada kali kedua, meminta keberkahan rezeki, dan pada kali ketiga berdoa agar diberikan husnul-khatimah .( Kitab Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin Bi Syarh Ihya-I ‘Ulum al-Din, Syekh Muhammad bin Muhammad al-Zabidi: III :708). Menyokong pendapat Imam Az-Zabidi diatas Imam Muhammad Zaki Ibrahim dalam kitabnya meneinggung tentang kelebihan bulan Nisfu Syakban dengan melaksananakan shalat Awwabin, beliau menyebutkan :“Adapun perbuatan yang biasa di lakukan manusia berupa shalat enam rakaat pada beberapa waktu di antara Maghrib dan ‘Isya, maka sungguh terdapat beberapa hadits tentang kesunnahan shalat enam rakaat ini. Maka apabila hamba bertawasul kepada Allah SWT dengan shalat tersebut untuk mengharapkan mendapat manfaat dan dijauhkan mudharat, maka tawasul ini adalah tawasul kepada Allah SWT dengan amalan shalih yang tidak ada pertentangan tentangnya. Sebagaimana halnya shalat tersebut merupakan bagian dari shalat hajat dalam waktu tersendiri yang disepakati keshahihannya oleh sekalian ulama. Pada dasarnya, shalat enam rakaat tersebut  dinamakan shalat Awwabin”. (Muhammad Zaki Ibrahim, Lailat an-Nishf Min Sya’ban Fi Mizan al-Inshaf al-‘Ilmi Wa Samahah al-Islam).

Kedua Shalat Tasbih. Shalat tasbih berjumlah empat rakaat, dikerjakan pada siang hari empat rakaat dengan sekali salam dan jika dikerjakan pada malam hari empat rakaaat dua kali salam dengan dua rakaat sekali salam. Tasbih semuanya berjumlah 300 tasbih dengan rincian tiap rakaat 75 tasbih.  Tata cara pelaksannaan shalat  tasbih sebagai mana Dalam sebuah  hadist yang  diriwayat oleh Ibni mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda: ”…Setelah takbiratul ihram 15 kali, setelah membaca fatihah sebelum membaca surat 10 kali, dalam rukuk, I’tidal sujud awal dan ke dua serta duduk dianta dua sujud masing-masing 10 kali dengan tidak membaca tasbih pada duduk istirohat dan setelah tasyahhud, kemudian setelah berdiri membaca tasbih 15 kali begitu juga setelah selesai membaca fatihah sebelum membaca surat 15 kali. Apabila engkau mampu melakukan sholat tasbih tiap hari maka lakukan, bila tidak mampu boleh sebulan sekali, setahun sekali bahkan seumur hidup sekali, bila tidak berarti anda termasuk orang malas dalam menjalani agama,..”. Sebagaian ulama menyebutkan bahwa untuk menghidupkan malam nisfu Syakban yang lebih utama pada malam  nishfu  Sya’ban adalah dengan melaksanakan shalat tasbih sebagaimana yang diajarkan Nabi SAW kepada paman beliau Sayyidina ‘Abbas ra. (Syekh Al-Fasyani, Kitab Tuhfat al-Ikhwan Fi Qiraat al-Mi`ad Fi Rajab Wa Sya’ban, hal 66).

Ketiga Shalat Nisfu Syakban. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai shalat sunat Nisfu Syakban yang berjumlah 100 rakaat. Setelah al-fatihah di baca surat al-Ikhlas sebelas kali pada tiap rakaat atau shalat 11 rakaat dengan membaca tiap rakaat sesudah Al-Fatihah surat Al-Ikhlas 100 kali. Ada dua versi pendapat ulama : pertama, membolehkannya (disunatkan). Ulama yang membolehkan shalat ini adalah para ahli khasyaf seperti seperti Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Ihyaa’ (Juz 1 hal. 210) menyatakan bahwa shalat malam nisfu sya’ban adalah sunat dan hal itu dilakukan pula oleh para ulama salaf. Bahkan sebagaian ulama menamakan shalat tersebut dengan Shalat Khair (shalat yang baik). Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama lain seperti al-Allamah al-Kurdi. Selain dalam kitab al-Ihyaa’ juga dalam kitab-kitab lain seperti Khaziinah al-Asraar (hal. 36), al-’Iaanah (Juz 1 hal. 210), kitab al-Hawaasyi al-Madaniyyah (Juz 1 hal. 223), dan al-Tarsyiih al-Mustafiidiin (hal. 101). Kedua, Ada juga yang melarang melakukan shalat Nisfu Syakban dengan alasan bahwa shalat tersebut merupakan diantara bid’ah mungkar dan sandaran hadistnya juga merupakan diantara hadits yang derajatnya maudhu’ sebagaimana diterangkan oleh Imam al-Nawawi dan pendapat ini juga diutarakan oleh ulama lainnya seperti  Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam il-Taqi al-Subki, Imam al-Ramli dan lainnya.( Imam Nawawi, kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab:V: 65. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Kitab Tuhfat al-Muhtaj Bi Syarh al-Minhaj: II: 261, Imam Ramli, kitab Nihayat al-Muhtaj, juz. II: 124).

Melihat fenomena kontroversial diatas, ada baiknya kita mengutip perkataan Syekh Kurdi yang berbunyi: “Para ulama berbeda pendapat tentang shalat tersebut, sebagian mereka berpendapat bahwa hadits tersebut memiliki thariq yang bila dikumpulkan, mencapai derajat fadhail-a’mal. Sedangkan sebagian yang lain menghukumi hadist tersebut sebagai hadits maudhu’. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam al-Nawawi dan diikuti oleh pensyarihnya dalam kitab-kitabnya”.(Syekh Sulaiman al-Kurdy, Hawasyi al-Madaniyyah: 331). Ungkapan ini juga dinukilkan dalam kitab Ianah At-Thalibin, bunyinya: “Syeikh Al Kurdy berkata : Para Ulama berbeda pendapat mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan salat sunah malam Nishfu Sya’ban, diantara para ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut (meskipun Dloif) memiliki banyak jalur riwayat, yang secara keseluruhan (akumulasi) hadis tersebut boleh dilaksanakan dalam hal Fadlailul A’mal (naik peringkat menjadi hadis hasan lighairihi). Diantara ulama yang lain menghukuminya sebagai hadis palsu, seperti Imam Nawawi dan Syekh Zainuddin Al Malibary”. (kitab I'ánah al-Thálibín, I/271).

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa melaksanakan berbagai shalat sunat pada malam nisfu syakban adalah sesuatu ibadah yang dibolehkan dan mereka ada tempat pijakannya termasuk shalat Khair. Mereka yang mengganggap bid’ahpun ada hujjanya. Marilah dengan Nisfu Syakban ini kita tidak harus saling menyalahkan bahkan mengunjng diantara sesama muslim dalam beribadah. Mereka yang melaksanakannya silahkan beribadah dengan penuh ikhlas dan mengaharap ridha ilahi dan yang tidak sependapatpun juga menghargainya. Indahnya dalam kebersamaan menuju mardhatillah…!!!

*Helmi Abu Bakar el-Langkawi, Staf pengajar Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga, dan Sekretaris LP3M IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen.

Baca juga: