Oleh: Thayeb Loh Angen
KEMARIN, di sebuah Gampong Tak Bernama, Apa Maun Gampong Lon dan Apa Main berbincang-bincang.
“Basyah, kupi sikan!” teriak Apa Main.
“Maun, Dewan Gampong kita yang 80 orang itu banyak sekali bagi-bagi uang Gampong. Ada 1,5 ribu juta-juta. Mereka berfoya-foya dengan uang kita,” kata Apa Main.
“Mereka memang sudah seudee, tapi bukankah dewan itu tidak bisa mencairkan uang. Bukankah yang bisa cairkan uang itu adalah dinas di bawah geuchik?” Apa Maun menyeruput kupi yang hampir dingin.
“Kamu tahu apa. Mereka betul-betul meulanggeh sudah,” kata Apa Main, yang tahun lalu menerima kandang lubeng dari salah seorang anggota Dewan Gampong.
“Mereka berfoya-foya 1,5 ribu juta-juta bersama 80 orang mereka itu. Betulkah, Main?”
“Memang begitu itu,” jawab Apa Main seraya membusungkan dadanya yang kurus.
“Main, tahukah engkau, berapa semua uang rakyat gampong kita?”
“Mana kutahu. Kabar ini pun kudapatkan dari surat bocoran orang, entah darimana asalnya, pokoknya begitu,” Apa Main menggaruk-garuk kepala botaknya yang tidak gatal.
“Semuanya 11 ribu, Maun!” teriak Apa Seuman yang baru muncul.
“11 ribu juta-juta. Jadi, yang 9,5 ribu juta-juta lagi di mana?” Giliran Apa Maun sok berwibawa. Padahal, dia memang tidak tahu apa-apa tentang uang gampong.
“9,5 ribu juta-juta itu kan diatur oleh geuchik,” celetuk Apa Basyah seraya menyerahkan setengah cangkir kupi kepada Apa Main.
Apa Seuman memakan sepotong timpan, tidak memesan kopi. Dukun gampong melarangnya minum kopi, supaya anaknya nanti tidak berkulit sehitam kopi.
“Itu jauh lebih banyak daripada yang diatur oleh dewan gampong. Bersama siapa geuchik mengatur itu?” Apa Main menggaruk-garuk kepala botaknya lagi.
“Dengan bapakmu,” Apa Maun menjitak dahi Apa Main yang berkilat-kilat.
“Sudah tahu geuchik itu sendiri, tidak punya wakil, masih kautanya-tanya dengan siapa lagi,” Apa Maun meneguk kopinya sampai habis, lalu membayar kupinya dan kupi Apa Main dan timphan Apa Seuman.
“Engkau mahu ke mana, Maun, aku belum habis bicara.”
“Mahu ke sawah, menanam padi,” Apa Maun keluar menuju sepedanya.
“Aku juga, tunggu!” Apa Main mengejar Apa Maun yang sudah mendayung sepedanya ke arah sawah yang membentang di tengah gampong.
“Main, bukankah engkau tidak punya sawah?” teriak Apa Seuman seraya menelan sisa-sisa timpan.
“Nenekmu yang tidak punya!” Apa Main balas teriak, seraya berlari terbirit-birit.[]