BANDA ACEH – Yayasan Asyraf Aceh Darussalam menggelar webinar bertajuk “Wakaf Orang Aceh di Mekkah”, Selasa, 27 Desember 2022. Peneliti menyebut nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah Haji Habib bin Buja’.
Webinar tersebut menampilkan tiga pemateri yakni Dr. Nazaruddin, M.A., Rektor IAI Al-Muslim Peusangan, Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M., Ketua Yayasan Wakaf Baitul Asyi, dan Hermansyah M.Th., M.Hum., Akademisi UIN Ar-Raniry/Ahli Filologi. Kegiatan tersebut dipandu Masykur, M.Hum., Direktur Pedir Museum.
Acara berlangsung dua jam itu memantik diskusi yang hangat serta menyajikan berbagai analisis, data, dan fakta-fakta menarik tentang sosok pewakaf Baitul Asyi, serta peran dan kontribusi wakaf orang Aceh di Mekkah.
Hasil kajian terhadap naskah, dokumen, manuskrip atau data-data otentik sejarah, Mizaj Iskandar dan Hermansyah sebagai peneliti mengungkapkan bahwa
nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah “Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi”, sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M). Namanya muncul dua kali dalam surat wakaf tersebut. Haji, Al-Asyi, dan Al-Jawi merupakan gelarnya (seorang bergelar haji berasal dari Aceh/Melayu). Sementara nama aslinya ialah Habib bin Buja’ (artinya: Habib anak dari Buja’).
Menurut kedua peneliti itu, dari namanya terindikasi bahwa Habib bin Buja’ bukan seorang sayed/habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW). Melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya (bin) bernama Buja’. Di daerah Arab dan juga banyak daerah lainnya di luar itu, biasa jika seseorang bernama Habib saja, walaupun dia bukan seseorang dari golongan habib/asyraf. Sejak masa Nabi dan setelahnya sudah ada yang bernama Habib, walau dia bukan dari keluarga Nabi. Misalnya Habib bin Nahar, Habib bin Zaid.
Di Aceh pun sampai sekarang ada nama orang Habib, tapi bukan seorang dari kaum Habaib. Bahkan di wilayah Arab, panggilan kehormatan “sayyid” (artinya “tuan”) juga sering ditujukan kepada yang bukan dari golongan sayyid/asyraf.
Bin Buja’ pada nama Habib bin Buja’ menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama “Al-Asyi” yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh.
Peneliti menemukan penulisan kata Buja’ dalam dokumen wakaf Baitul Asyi berbeda dengan kata Bugak. Buja’ di tulis dengan huruf ba-waw-jim-ain. Sementara Bugak dalam manuskrip ditemukan ditulis dengan huruf ba-waw-kaf-alif-hamzah.
Nama Haji Habib bin Buja’ ditemukan dalam dua dokumen. Pertama dalam dokumen wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H. Kedua, tertulis kembali dalam dokumen pembaharuan wakaf pada tahun 1991. Ini menandakan nama tersebut memang nama asli dari pewakaf.
Dalam mazhab Syafi’i (sebagaimana mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja’) mewajibkan wakaf dilakukan dengan nama asli. Bukan dengan nama palsu, nama samaran ataupun laqab (lakab) lainnya. Konon lagi, wakaf dilakukan secara legal, formal, detail, dan rapi di hadapan Qadhi Mahkamah Syariah Mekkah. Tentu seorang wakif harus mendaftarkan asetnya dengan nama asli (ismu dhahir). Karena itulah nama Haji Habib bin Buja’ adalah nama nyata dari pewakaf tersebut. Berbeda halnya dengan sedekah informal yang biasa menggunakan identitas “hamba Allah” atau lakab lainnya untuk menyembunyikan nama asli.
Orang Aceh banyak yang memiliki lakab. Tapi juga punya nama asli. Khususnya untuk manuskrip legal, itu digunakan nama aslinya. Teungku Syiah Kuala misalnya, itu lakab dalam tradisi tutur. Tapi dimana-mana dalam berbagai dokumen tertulis nama asli “Abdurrauf”.
Namun, menurut peneliti itu, tidak diketahui secara pasti di mana Haji Habib bin Buja’ wafat dan dimakamkan. Peneliti menduga beliau wafat dan dikebumikan di Mekkah. Dalam data pemerintah Arab Saudi memang ditemukan seseorang bernama Ibnul Buja’ yang pernah dimakamkan di pekuburan Al-Ma’la di dekat Masjidil Haram Mekkah. Boleh jadi itu adalah Habib bin Buja’. Namun perlu penelitian lebih lanjut.
Dari penelitian ini disimpulkan, Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi dan Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh berbeda. Nama Sayyid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi dalam berbagai dokumen sejarah ditulis sebagai Sayed, Teungku Sayed Abdurrahman ibnu Alwi (dok. 27 Safar 1206 H/1791 M), atau langsung disebut sebagai Habib Abdurrahman Al-Habsyi (dok.1877).
Tidak ditemukan manuskrip, sarakata ataupun dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi sebagai “Habib Bugak”. Bahkan sebuah dokumen lainnya menunjukkan jika namanya ditulis dalam lakab Peusangan (Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan), bukan dengan lakab Bugak. Juga tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi punya aset wakaf di Mekkah, kecuali menerima sejumlah aset wakaf di wilayah Peusangan dan sekitarnya.
Hasil kajian ini menyarankan masyarakat untuk kembali memahami kedua tokoh penting ini dalam dua konteks berbeda. Baik Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi maupun Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, keduanya adalah tokoh penting yang kebetulan hidup pada masa yang beririsan.[](*)