ACEH yang memiliki pengalaman pertama di Asia Tenggara dalam urusan mengirim kafilah dakwah sudah bisa meninjau ulang jalur yang pernah dilalui para muballigh.
Sultan Malikussaleh dari Negara Kesultanan Samudra Pasai, memiliki misi mengislamkan seluruh negeri berbahasa Melayu di Asia Tenggara.
Sekira pada pertengahan abad XIII Masehi, ia membentuk kafilah dakwah dan dikirim ke seluruh Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Timor, Maluku, Papua, Borneo, Tidore, Sulu, Mindanau, Melaka, Rohingya, Patani, dan lainnya. Kafilah ini berhasil dengan baik tanpa menyebabkan peperangan apapun.
Di Sumatra, satu kafilah melintasi jalur pantai barat dan selatan, dan satu lagi melintasi jalur pantai timur dan utara.
Kafilah-kafilah ini berdakwah dan menguatkan ekonomi negeri yang didatangi, menjadikan mereka sebagai saudara seiman yang dengan sendirinya mengibarkan bendera Samudra Pasai.
Ketika Portugis mulai mengembara keluar negerinya, dalam rangka merampas dan misi salibis, mereka mengarah ke timur dan menyerang negeri-negeri muslim yang ditemui, termasuk semua negeri yang telah diislamkan oleh Samudra Pasai.
Ada satu kelompok bajak laut Portugis yang tersesat ke negeri-negeri muslim di benua paling barat, yang kemudian disebut Amerika. Portugis mengira itu India dan menyebutnya Indian. Mereka membantai penduduk muslim di sana, persis muslim Andalusia, dan mengarang berita dusta seakan itu adalah orang yang primitif. Sementara penghuni benua itu berperadaban tinggi. Dongeng primitif itu terus diajarkan ke seluruh dunia dan pembantai jutaan orang disebut pahlawan, penemu Amerika.
Sementara di Asia Tenggara, Portugis menyerang negeri-negeri muslim, setelah Samudra Pasai tidak sanggup lagi membantu koalisinya, Portugis merebut mereka satu persatu. Puncaknya, Portugis menyerang langsung pusat Samudra Pasai, Lhokseumawe. Maka Samudra Pasai sebagai benteng negeri-negeri muslim Asia Tenggara pun runtuh. Lalu bajak laut Portugis yang disebut tentara berlayar lagi ke seberang utara, dan mendarat di Semenanjung, menaklukkan Melaka.
Setelah melihat Lhokseumawe ditaklukkan, seorang bangsawan yang berani dan ahli politik di Banda Aceh pun mendeklarasikan Kesultanan Aceh Darussalam, dengan ibu kotanya Bandar Darussalam, Banda Aceh. Ia kemudian dikenal dengan nama Sultan Ali Mughayatsyah. Ia menyatukan kembali negeri-negeri muslim yang telah dihancurkan serta menyiapkan serangan besar-besaran ke pos Portugis di Melaka.
Kesultanan Aceh Darussalam mampu menghubungkan kembali komunitas muslim di Asia Tenggara, tetapi tidak bisa memulihkan kedaulan mereka dari taklukan Portugis di Jawa, Maluku, Borneo, Sulu, dan lainnya akibat jarak, sementara Aceh harus bersiaga di Selat Melaka karena dekat dengan pusat kendali pos Portugis di Asia Tenggara, Melaka.
Namun Sultan Ali Mughhayatsyah berhasil memulihkan kedaulatan negeri-negeri di Sumatra dan memasukkannya di bawah bendera Aceh Darussalam.
Usaha-usaha merebut kembali Melaka terus dilakukan. Puncaknya, setelah Ali Mughayatsyah, selang satu pemimpin, Sultan Ali Riayatsyah Al Kahar, mengirim kafilah besar ke Istanbul, untuk bekerja sama dengan Sultan Turki Ottoman supaya berhasil merebut kembali Melaka. Kafilah ini dikenal kemudian dengan julukan Kafilah Lada Sicupak
Kerjasama itu pun berhasil. Beberapa tahun setelah itu, pada akhir abad XVI, di bawah pimpinan Laksamana Keumala Hayati, Sultan Aceh Darussalam mengirim armada angkatan laut secara besar-besaran untuk merebut Melaka.
Setelah beberapa kali menyerang Portugis, Laksamana meninggal karena usia tua, dan kemudian Sultan baru, Iskandar Muda, beberapa tahun setelah itu, pada awal abad XVII, mengirim lagi armada angkatan laut secara besar besaran, menaklukkan Portugis di Melaka.[]
Thayeb Loh Angen, Aktivis Kebudayaan.