BANDA ACEH – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, S.H., menilai Pemerintah Aceh sampai tahun 2022 lalu gagal mengesahkan peraturan yang mengakomodir hak korban kekerasan dan pelecehan seksual. Padahal, dalam empat tahun terakhir kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh tergolong sangat tinggi.
Berdasarkan data pada situs web Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (DPPPA), sepanjang tahun 2019-2022 mencapai 5.752 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Angka tersebut didominasi kasus kekerasan seksual.
“Sepanjang tahun 2022 terdapat 1.087 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 280 adalah kasus kekerasan seksual, 233 kekerasan seksual terhadap anak, dan 27 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” kata Syahrul kepada portalsatu.com di Banda Aceh, Jumat, 10 Maret 2023.
Syahrul menyebut data tersebut menunjukkan rata-rata perhari terjadi satu kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
Menurut Syahrul, sampai saat ini Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah peraturan berlaku untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Aceh.
Dia menilai peraturan tersebut terdapat kelemahan mendasar dalam penanganan kasus kekerasan seksual, yaitu tidak memuat tentang perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual. “Hukum bagi pelaku juga masih sangat menguntungkan pelaku,” ungkap Syahrul.
Syahrul menilai rumusan hukuman bagi pelaku kekerasan dan pelecehan seksual dalam qanun itu masih sangat rendah, dan berbentuk pilihan (alternatif) antara cambuk, atau denda ataupun penjara.
Dalam banyak kasus, kata Syahrul, pelaku dihukum cambuk. Setelah dicambuk maka akan bebas, dan kembali ke lingkungan korban atau kampung tempat tinggalnya. Sementara korban masih dalam keadaan trauma. “Yang lebih parah, terdapat kasus, setelah dicambuk dalam kurun waktu satu bulan pelaku kembali melakukan kekerasan seksual terhadap korban yang sama,” ungkapnya.
Syahrul mengatakan pada tahun 2022 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh telah melakukan pembahasan perubahan terhadap Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Perubahan dilakukan DPR Aceh fokus pada dua permasalah utama.
Pertama, kata Syahrul, merumuskan hukuman yang berat bagi pelaku. Karena rumusan sebelumnya, hukuman bagi pelaku dianggap rendah, dan berbentuk pilihan (alternatif) antara cambuk, atau denda atau juga penjara.
“Pada perubahan ini, hukuman bagi pelaku diperberat dan bentuknya akumulatif, yaitu pelaku akan dihukum cambuk atau denda ditambah dengan hukuman penjara,” tutur Syahrul.
Fokus kedua, kata Syahrul, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Pada rumusan sebelumnya, korban kekerasan seksual tidak mendapatkan hak atas restitusi dan hak atas pemulihan fisik maupun nonfisik.
Dalam perubahan ini, kata Syahrul, Komisi I DPR Aceh telah merumuskan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan hak atas restitusi dan wajib dipulihkan baik penderitaan fisik maupun nonfisik yang dialaminya.
Syahrul menjelaskan Rancangan Perubahan Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sudah difinalkan DPR Aceh pada 10 November 2022 setelah dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Lalu, pada 28 November 2022, Pemerintah dan DPR Aceh melakukan fasilitasi kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dengan harapan pada rapat paripurna DPRA akhir tahun 2022 dapat disahkan.
Namun, kata Syahrul, dalam rapat paripurna akhir tahun 2022, DPR Aceh tidak bisa mengesahkan Rancangan Perubahan Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang telah direvisi untuk mengakomodir hak korban kekerasan seksual di Aceh.
“Pengesahan ini gagal dilakukan karena pihak Gubernur Aceh melalui Biro Hukum tidak berhasil memperoleh hasil fasilitasi dari Kemendagri. Secara aturan, seharusnya Gubernur Aceh sudah mendapatkan hasil fasilitasi paling lama 15 hari setelah pengajuan fasilitasi dilakukan,” ujar Syahrul.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Pasal 89 ayat (1) menyebutkan hasil fasilitasi sudah harus diberikan paling lama 15 hari dihitung setelah diterima surat permohonan fasilitasi.
Jadi, kata Syahrul, jika merujuk pada peraturan tersebut seharusnya perubahan Qanun Jinayat Aceh sudah dilakukan. “Namun lemahnya Pemerintah Aceh dalam memperjuangkan hasil fasilitasi, maka setiap anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual, akan terus terabaikan haknya”.
“Ini menunjukkan bahwa keberpihakan Pemerintah Aceh terhadap korban kekerasan seksual masih sangat rendah,” pungkas Syahrul.[](Adam Zainal)