Oleh Khairiah*
Mengenali lembaga penyelenggara pemilu bisa dengan berbagai cara, di antaranya mengunjungi langsung sekretariatnya, seperti yang saya dan teman-teman jurnalis warga lakukan. Pada Jumat, 28 Oktober 2022, kami mengunjungi Sekretariat Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, di Jalan Teuku Nyak Arief, Kompleks Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, di Banda Aceh.
Kehadiran kami untuk mengikuti kuliah pemilu disambut hangat oleh Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilihan, dan Partisipasi Masyarakat KIP Aceh, Akmal Abzal. Ia mengajak kami melihat Rumah Pintar Pemilu (RPP) di Sekretariat KIP Aceh. Lelaki yang biasa disapa Ustaz Akmal ini menjelaskan detail gambar dan tulisan ditempel di dinding: mulai dari sistem pemilihan umum, denah pemungutan suara, proses penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu, dan bagaimana cara menganalisis hasil pemilu.
Ustaz Akmal mengajak kami para jurnalis warga menganalisis hasil pemilihan presiden. Beberapa presiden menjabat lebih lama dibandingkan yang lain. Ternyata semua itu bisa diperhitungkan sebelumnya dan memiliki beberapa alasan.
Hal itu membuat saya tanpa sadar ikut menganggukkan kepala dan mencoba menganalisis pemilihan presiden di pemilu mendatang sesuai data yang ada. Menurut saya, untuk pemilihan presiden, daerah Jawa memegang kunci kemenangan pemilu, karena Pulau Jawa lebih padat penduduknya. Jika salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden menang di Pulau Jawa, dapat dipastikan menang mutlak dalam pemilu tersebut.
Selanjutnya, kami mendengar pemaparan dan berdiskusi mengenai pemilu yang telah berlangsung, baik di ranah nasional maupun lokal, dan juga keberadaan partai lokal di Aceh. Diskusi berlangsung di aula bersama Ustaz Akmal dan Anggota KIP Aceh lainnya, Muhammad. Ketika tiba giliran untuk bertanya, saya menanyakan beberapa hal yang selama ini belum mendapatkan jawaban memuaskan: mengapa penyelenggara pemilu di Aceh secara nomenklatur disebut KIP, bukannya KPU seperti di luar Aceh.
Komisi Independen Pemilihan Aceh, selanjutnya disebut KIP Aceh, adalah lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum yang diberikan tugas menyelenggarakan pemilihan umum dan kepala daerah berdasarkan ketentuan diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. “Berbeda dengan daerah lain, komisioner KIP dipilih oleh DPR Aceh, dan diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad hoc, dan menjabat selama lima tahun,” kata Akmal.
Akmal juga menjelaskan tentang perbedaan signifikan antara penyelenggaraan pemilu saat ini dengan tahun 2009. Saat itu, katanya, semua alat peraga atau material pemilu masih disosialisasikan dalam bentuk konvensional atau fisik dengan memasangnya di tempat-tempat strategis. Namun, 2019 hingga memasuki pemilu 2024, penggunaan alat peraga fisik mulai berganti dengan kampanye digital. Masyarakat saat ini bisa mengakses beberapa situs untuk mengetahui data pemilih yang sudah terdaftar dan juga parpol-parpol yang ikut memeriahkan pesta demokrasi di pemilu mendatang.
Peralihan semua akses tersebut sebagai tanggung jawab penyelenggara sesuai dengan instruksi KPU, juga merupakan upaya hijrah masif dari era manual ke era digital. Ini juga ada keuntungannya, jika semua sudah siap dengan sistem digital, pemilu ini juga akan move on dari mencoblos manual menjadi e-voting nantinya.
Mungkin ada yang berpikir kinerja KIP hanya berlangsung menjelang 14 Februari 2024, ketika pemilu dimulai. Padahal, ada proses panjang menjelang dan sesudah pemilu itu berlangsung. KIP tidak hanya mempersiapkan pemilu, tetapi juga pilkada yang pelaksanaannya hanya berselang bulan. “Kelelahan ketika pemilihan presiden belum selesai, persiapan pemilihan legistatif harus dilaksanakan, dilanjutkan dengan pilkada,” kata Akmal.
Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali dengan total waktu persiapan yang dibutuhkan selam 20 bulan, apalagi jika ditambah dengan persiapan pilkada serentak. Salah satu proses panjang harus dilalui KIP adalah menentukan data pemilih, proses penentuan badan penyelenggara, hingga mengawal proses pendaftaran partai peserta pemilu yang memakan banyak waktu dan energi.
Setiap lima tahun, partai politik yang mengikuti pemilu harus mendaftar kembali. Setelah Pemilu 2009 terjadi perubahan sistem, untuk verifikasi faktual keanggotan, berkas-berkas parpol harus diserahkan di level kecamatan, bukan di kabupaten seperti sebelumnya. Lalu, jika data telah sesuai, berarti syarat telah terpenuhi. Namun, apabila tidak sesuai, selanjutnya parpol mengisi form yang menyatakan jika itu tidak sesuai, tidak memenuhi syarat.
KIP bukan sekadar menyelenggarakan pemilu di hari-H, tetapi KIP juga bertugas mengawal, menindaklanjuti, termasuk mengeksekusi permintaan DPR (baik DPRA atau DPR RI) tentang proses Pergantian Antar-Waktu (PAW), misalnya, jika ada anggota DPR yang meninggal dunia.
KIP bukan lembaga ad hoc, melainkan sebuah lembaga yang mandiri sebagaimana KPU RI, KPU provinsi, KPU kota/kabupaten di luar Aceh. Sementara saat penyelenggaraan pemilu, ada PPK, PPS, dan KPPS.
“Pemilu akan menjadi pesta demokrasi yang menghadirkan sejuta senyuman tanpa tangisan, itu adalah misi KIP,” kata Akmal.
Sebelum lahir Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), penyelenggara pemilu di Aceh secara resmi masih bernama KPU yang lahir pada 2003 berdasarkan keputusan presiden saat itu, yaitu Megawati Soekarno Putri. Anggotanya dari berbagai unsur, seperti pemerintahan, kepolisian, maupun kejaksaan. UUPA yang lahir sebagai konsekuensi perjanjian damai antara RI dengan GAM, mengamanahkan adanya pemilihan langsung kepala daerah di Aceh. Selanjutnya, untuk mewujudkan pemilihan langsung kepala daerah, UUPA mengamanahkan agar lahirnya partai lokal dan dibentuknya penyelenggara pemilu bernama KIP.
Jadi, KIP di Aceh ini sangat unik: dilahirkan oleh UUPA, di-SK-kan oleh KPU RI, dan diresmikan atau dilantik oleh Gubernur Aceh. Adapun secara teknis proses seleksinya dilakukan oleh tim ad hoc, dan sejumlah nama yang lolos seleksi diberikan kepada DPRA untuk ditetapkan sebanyak tujuh orang komisioner.
Penyelenggara pemilu di Aceh pun sempat mengalami fase dualisme, karena selain ada KPU yang merujuk pada aturan di tingkat nasional, juga ada KIP di level provinsi dan kabupaten/kota yang menginduk pada UUPA. Namun, fase-fase itu telah usai, dan kini KIP menjadi penyelenggara tunggal pemilu dan pilkada di Aceh.
Uniknya lagi, kata Akmal, meski dilahirkan oleh UUPA, tetapi segala pembiayaan termasuk gaji para komisioner KIP Aceh menggunakan APBN, bukan APBA. “Inilah keistimewaan KIP di Aceh. Di provinsi lain tidak ada partai lokal seperti di Aceh, maka beban kerja dan amanah KIP sebagai penyelenggara pemilu di Aceh jadi lebih besar,” katanya.
Saya sebagai warga Aceh mendapatkan banyak wawasan dasar mengenai politik setelah mengikuti acara tersebut. Saya merasa hal ini pun penting untuk diketahui seluruh masyarakat Aceh agar turut mendukung suksesnya pesta demokrasi di 2024 mendatang.[]
*Penulis adalah warga Banda Aceh dan ibu rumah tangga.