OLEH: THAYEB LOH ANGEN Penyair dari Sumatra, Aceh.
Kemungkinan pecahnya pandangan politik di kalangan ulama dayah pun ada. Belajar dari Partai Aceh, Partai PAS Aceh hendaknya berhati-hati. Partai PAS Aceh harus menyiapkan dirinya untuk itu.
2023 merupakan tahun penentu hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pemilu tersebut menjadi penentu politik Aceh selama 5 tahun setelahnya, sampai 2029. Ada partai politik yang sudah melihat upaya untuk memengaruhi hasil Pemilu, ada pula yang masih mengancang-ancang.
Pada tahun ini, di antara partai politik yang telah melihat upaya untuk itu adalah Partai Aceh (PA) dan Partai Adil Sejahtera (PAS). Dua partai politik lokal Aceh ini telah merencanakan hal penting untuk langkah mereka selanjutnya.
Mubes III Partai Aceh, 25 Februari 2023
Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri, Sabtu, 18 Februari 2023, menyampaikan kabar terbaru kepada portalsatu.com bahwa PA yang merupakan partai paling berkuasa di Aceh yang didirikan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) ini, menjadwalkan Musyawarah Besar (Mubes) III, pada 25 Februari 2023.
Partai dipimpin mantan Panglima GAM, H. Muzakir Manaf (Mualem), ini akan memilih ketua umum baru, atau mungkin saja menunjuk lagi tokoh yang sama bagi jabatan itu untuk periode baru.
Sebagai partai politik yang dikendalikan para ekskombatan GAM melalui organisasi KPA (Komite Peralihan Aceh), Partai Aceh, memiliki sebuah sistem (aturan dan cara kerja) yang militan, disiplin, terorganisir, dan taat pada komando pimpinan.
Budaya Ekskombatan GAM Memilih Pemimpin
Dalam budaya GAM, memilih seseorang untuk menjadi pemimpin mereka, sebenarnya, untuk jabatan seumur hidup. Kepercayaan penuh. Namun, jika yang dipilih dinilai bekerja tidak sesuai budaya yang disepakati, maka yang terjadi adalah sebaliknya, bahkan orang yang baru ditunjuk pun akan diturunkan segera. Bagi orang-orang perang ini, jabatan seumur hidup untuk seseorang adalah hal yang biasa, bukan masalah. Tidak ada yang perlu dipersoalkan tentang itu.
Misalnya, memilih Muzakir Manaf sebagai ketua Partai Aceh untuk seumur hidupnya, atau memilih Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh untuk seumur hidup, bagi ekskombatan GAM adalah hal biasa. Bahkan, jika aturan membenarkan, kombatan GAM akan menunjuk saja gubernur Aceh tanpa batas waktu, tanpa perlu pemilihan umum.
Dalam budaya GAM, pemilihan pemimpin dengan cara demokrasi (memilih suara terbanyak) ini tidak disukai sama sekali. Namun, karena aturan dalam Negara RI yang demokrasi demikian, mereka mengikutinya. Reintegrasi.
Terbentuknya Lembaga Wali Nanggroe Aceh adalah semacam menyatukan antara sistem monarki masa lalu dengan sistem pemerintahan demokrasi masa sekarang di Aceh.
Partai Aceh sebagai partai politik yang lahir dari sebuah konsensus GAM-RI (Republik Indonesia) di Helsinki, Finlandia (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005, memiliki garis lurus pada perang dan perdamaian Aceh.
Menurut gaya rekan-rekan kombatan GAM, niscaya, Muzakir Manaf akan ditunjuk kembali sebagai Ketua Umum Partai Aceh, sampai yang ditunjuk menolak keras untuk jabatan itu lagi.
Memang benar, bagi rekan-rekan ekskombatan GAM, memilih orang untuk jabatan seumur hidup, bukanlah masalah, tetapi yang tidak mereka sadari adalah, itu menjadi masalah bagi pengaderan Partai Aceh atau generasi penerus KPA itu sendiri.
Pengultusan orang memang menguatkan organisasi, tetapi di dalam dunia demokrasi, itu melemahkannya untuk jangka panjang.
Di dunia dunia demokrasi, yang perlu dikultuskan adalah sistem organisasi atau pemerintahan, bukan orang. Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Swedia, melakukan itu.
Syukuran Akbar Partai PAS Aceh
Sementara itu, pada Rabu, 22 Februari 2023, dua hari sebelum Musyawarah Besar Partai Aceh, sebuah partai baru yang dibentuk oleh para ulama dayah Aceh, Partai PAS Aceh, menjadwalkan syukuran atas keberadaan dan kelulusannya menjadi peserta Pemilu 2024.
Apabila dilihat dari kalangan pendiri dan pengikut, maka kedua partai lokal Aceh ini memiliki simpatisan yang tetap. Kedua partai politik ini terhubung secara kepentingan, tetapi tidak satu ideologi. Ada perbedaan yang mendasar dari kedua partai politik lokal tersebut.
Perbedaan Partai Aceh dengan Partai PAS Aceh
Pertama, Partai Aceh sudah melewati beberapa Pemilu dan selalu mendapatkan kursi terbanyak. Sementara Partai PAS Aceh berwujud sebuah partai baru yang baru belajar cara mengikuti Pemilu.
Apakah Partai PAS Aceh akan mendapatkan kursi di legislatif atau tidak, atau bahkan mendapatkan kursi terbanyak, belum ada yang tahu. Namun, semangat yang ada para partai pimpinan Tu Bulqaini Tanjungan ini hampir sama dengan semangat yang dimiliki Partai Aceh waktu pertama dibentuk, sebelum mengikuti Pemilu 2009.
Kedua, Partai Aceh berasal dari kumpulan orang-orang perang. Tujuan hidup mereka adalah menguasai politik di Aceh untuk mengangkat martabat Aceh–apakah sebagian dari rekan-rekan ini masih ingat pada tujuannya? Tidak ada yang lain.
Sementara Partai PAS Aceh berasal dari kalangan ulama dayah. Tujuan hidup mereka adalah untuk mengajarkan agama Islam kepada rakyat Aceh. Amar ma’ruf, nahi munkar. Kini, dengan mendirikan partai politik, mereka menambahkan tugas kepada dirinya, yakni, ingin menguasai politik demi menguatkan tujuan sebelumnya.
Ini adalah dua sumber ideologi paling besar di Aceh, yaitu keberadaan identitas-kekuasaan dan agama Islam. Secara umum, kedua hal ini sama penting bagi rakyat Aceh, tetapi kita tidak tahu, apakah itu akan dianggap sama pentingnya jika sudah berbentuk partai politik?
Sebagai contoh, orang Aceh ingin Aceh bermartabat, ada kekhasan, tetapi di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) lebih banyak dimiliki oleh partai politik nasional. Perihal itu menandakan bahwa minat ideologi secara umum akan berbeda dengan minat ideologi dalam pandangan politik.
Kenyataan inilah yang membuat Partai PAS Aceh harus bekerja lebih keras, jika ingin orang-orang yang menyukai dayah supaya memilih mereka. Di dalam dunia politik, sesuatu itu tidak selalu linier (berjalan sebaris di garis yang sama).
Risiko Bagi Ulama Dayah Aceh
Selain akan mendapatkan keuntungan secara ideologi dan lainnya, dengan mendirikan partai politik, kalangan dayah pun telah menempatkan dirinya pada risiko.
Di Indonesia, belum pernah ada perkumpulan ulama mendirikan partai politik, selain di Aceh. Ada dua arus pemikiran Islam di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU tidak menyatakan mendirikan partai politik, begitu pula Muhammadiyah.
Berbeda dengan itu, dalam Silaturahmi Ulama Aceh (SUA) yang berlangsung di Daroy Kameu, Darul Imarah, Aceh Besar, Kamis 11 November 2021, para ulama Aceh telah mengeluarkan rekomendasi tentang politik. Setelah itu, Partai PAS Aceh pun dibentuk.
Masuknya para ulama dayah secara langsung ke dalam politik praktis merupakan sebuah kemajuan di dalam cara pikir orang Aceh. Perihal tersebut merupakan sebuah perubahan sosial.
Sebelum ini, ulama menjauhkan diri dari dunia politik, tetapi para politisi dari berbagai partai politik selalu menyeret-nyeret ulama ke dalamnya. Para calon gubernur, bupati, wali kota, anggota dewan perwakilan rakyat berbagai tingkat, selalu datang kepada ulama, sebelum Pemilu.
Sekarang, para ulama telah memiliki partai politik sendiri. Apakah itu akan menguntungkan bagi keberadaan para ulama dayah atau malah sebaliknya?
Nasib Dinas Pendidikan Dayah Aceh
Para ulama yang mendirikan Partai PAS Aceh adalah dari kalangan dayah. Di Pemerintah Aceh ada Dinas Pendidikan Dayah. Sebelum ini, para anggota partai politik yang memiliki kursi di DPRA mendukung anggaran untuk dayah melalui Dinas Pendidikan Dayah Aceh. Mereka membutuhkan dukungan ulama.
Sekarang, ketika para ulama telah mendirikan partai politik sendiri, ceritanya akan berbeda. Ada berbagai kemungkinan, di antaranya, jika Partai PAS Aceh banyak pemilih dan memiliki kursi di DPRA, maka ulama Aceh dan Dinas Pendidikan Dayah Aceh akan didukung sebagaimana sebelumnya, atau bahkan lebih baik.
Jika yang terjadi sebaliknya, maka ada kemungkinan, penghormatan untuk para ulama yang terlibat di dalam Partai PAS Aceh akan berkurang karena sudah dianggap sebagai politisi. Akan ada kemungkinan pula, Dinas Pendidikan Dayah akan dikeringkan, atau malah dibubarkan.
Mencegah Perpecahan
Itulah risiko terbesarnya. Di dalam politik, hitam putih tidak selalu nyata. Kita telah melihat bagaimana pandangan politik para kombatan GAM terpecah. Sebagian yang tadinya anggota Partai Aceh, beralih ke PNA (Partai Nanggroe Aceh), beberapa orang malah melompat ke partai politik nasional.
Begitu pula ketika para ulama sudah mendirikan partai politik, maka perpecahan seperti itu berada di depan mata, jika tidak dicegah sejak sekarang.
Kemungkinan pecahnya pandangan politik di kalangan ulama dayah pun ada. Belajar dari Partai Aceh, Partai PAS Aceh hendaknya berhati-hati. Partai PAS Aceh harus menyiapkan dirinya untuk itu, yakni mencegah munculnya upaya memecahkan yang dilakukan oleh pihak lain.
Selain itu, jika semua harapan para ulama dayah Aceh yang bergabung ke dalam Partai PAS Aceh ini terjadi, maka sistem sosial politik di Aceh akan lebih islami di berbagai bidangnya. Semua akan terjadi, jika Allah SWT (Subhanahu Wa Ta’ala) menghendakinya demikian. Upaya ada pada manusia, ketetapan ada pada Allah Ta’ala.
Mubes III Partai Aceh dan syukuran akbar Partai PAS Aceh pada Februari 2023 ini merupakan peristiwa penting dalam dunia politik. Apapun yang terjadi setelahnya dipengaruhi oleh tindakan dari dua partai yang memiliki puluhan ribu orang simpatisan tetap ini.
Banda Aceh, 20 Februari 2023.[]